KABARBURSA.COM - Ekonom senior Universitas Paramadina Wijayanto Samirin mempertanyakan strategi jangka panjang pemerintah setelah kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen yang berlaku pada 2025.
Wijayanto menyampaikan bahwa kenaikan tarif PPN memang diproyeksikan dapat meningkatkan penerimaan pajak hingga Rp80 triliun. Namun, terdapat biaya insentif diperkirakan mencapai Rp25 triliun.
"Memang, secara hitungan terdapat surplus yang cukup besar bagi pemerintah. Namun, pertanyaannya adalah, apakah pemerintah memiliki strategi jangka panjang untuk menjaga keseimbangan antara pengeluaran negara dan penerimaan pajak? Defisit anggaran tetap menjadi kekhawatiran yang nyata,” ujarnya saat dihubungi Kabarbursa.com, Kamis, 19 Desember 2024.
Wijayanto juga mengkritisi pendekatan diskresi yang dilakukan pemerintah dalam beberapa bulan terakhir. Menurutnya, solusi yang bersifat parsial seperti pemberian insentif ini hanya memberikan manfaat jangka pendek tanpa mengatasi masalah struktural ekonomi.
“Kebijakan insentif mungkin dapat membantu menahan penurunan daya beli masyarakat akibat kenaikan harga barang dan jasa. Namun, sifatnya temporer. Dalam jangka panjang, ini tidak akan menyelesaikan masalah ketimpangan pendapatan atau pengangguran yang menjadi tantangan utama perekonomian Indonesia,” jelasnya.
Ia menambahkan, kebijakan fiskal yang komprehensif dan terintegrasi sangat diperlukan untuk menghindari dampak negatif yang lebih besar.
“Jika langkah-langkah pemerintah terus terkesan sepotong-sepotong, ini justru berpotensi memperburuk masalah struktural yang ada. Pemerintah perlu menunjukkan komitmen terhadap kebijakan yang lebih terencana dan berkelanjutan,” tegas Wijayanto.
Dalam pandangannya, pemerintah tidak hanya perlu fokus pada kebijakan populis yang bersifat jangka pendek, tetapi juga harus mempertimbangkan reformasi struktural yang dapat mendorong stabilitas fiskal dan pertumbuhan ekonomi yang inklusif.
“Insentif dan kenaikan PPN ini memang bisa membantu fiskal dalam jangka pendek. Namun, tanpa langkah komprehensif, kita hanya menunda persoalan yang lebih besar di masa depan,” pungkasnya.
Senada, Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia masih meragukan efektivitas insentif dalam paket kebijakan ekonomi pemerintah sebagai respons kenaikan PPN 12 persen.
Muhammad Faisal, ekonom senior CORE Indonesia, menilai bahwa insentif tidak menyelesaikan masalah utama pada sebagian besar industri dalam negeri yang tengah terpukul.
Menurut Faisal, sebagian besar industri Indonesia masih sangat bergantung pada impor bahan baku dan barang konsumsi, yang menjadi salah satu hambatan utama dalam meningkatkan daya saing.
“Dibutuhkan insentif yang lebih signifikan untuk mendorong peningkatan kapasitas produksi tanpa memperburuk ketergantungan pada impor,” ujar Faisal, dalam acara CORE Media Discussion (CMD) di Gedung CORE Indonesia, Tebet, Jakarta Selatan, Rabu, 18 Desember 2024.
Faisal juga mengkritik kebijakan insentif yang diterapkan pemerintah, yang menurutnya belum cukup untuk mengatasi masalah struktural yang dihadapi oleh sektor industri.
“Masalah yang muncul tidak hanya terkait dengan kenaikan PPN, tetapi juga ketidakharmonisan kebijakan di sektor keuangan, perdagangan, perindustrian, energi, dan investasi yang saling bertentangan,” jelasnya.
Salah satu sektor yang paling terpengaruh oleh kondisi ini adalah industri tekstil. Faisal menyebutkan bahwa banyak perusahaan tekstil yang terpaksa tutup, sebagian besar karena ketidakharmonisan kebijakan dan ketidakmampuan bersaing dengan produk impor, terutama dari China.
“Banyak perusahaan tekstil yang terpaksa tutup, sebagian karena ketidakharmonisan kebijakan dan juga kesulitan dalam bersaing dengan produk impor, terutama dari China. Barang-barang impor yang masuk dengan harga jauh lebih murah, bahkan diduga ada praktik subsidi dan dumping, yang menyebabkan industri lokal kesulitan,” ungkap Faisal.
Faisal juga mengkritisi kontrol barang impor yang masuk ke Indonesia, termasuk produk ilegal yang tidak terdeteksi. “Masalahnya bukan hanya barang impor legal, tetapi juga barang ilegal yang masuk tanpa pengawasan yang memadai. Ini semakin memperburuk daya saing industri lokal,” tambah peneliti yang tengah mengenakan batik berwarna krem-cokelat.
Di sisi lain, Faisal mengapresiasi adanya insentif khusus untuk sektor padat karya. Namun, ia menekankan bahwa insentif yang diberikan harus lebih lama dan lebih spesifik.
“Insentif yang hanya berlaku dua bulan jelas tidak cukup. Terlebih lagi, industri saat ini menghadapi banyak tantangan, termasuk terbatasnya akses pasar dan penjualan,” katanya.
Sebagai solusi, Faisal menyarankan agar pemerintah memperbaiki kebijakan perdagangan, meningkatkan pengawasan terhadap impor, dan memberikan insentif yang lebih komprehensif dan berjangka panjang.
“Industri perlu diberi ruang untuk tumbuh, bukan hanya dengan insentif jangka pendek, tetapi dengan kebijakan yang mendukung daya saing jangka panjang dan pengendalian impor,” pungkas Faisal.
Dampak Pemberian Insentif Pajak
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati membeberkan dampak dari pemberian insentif seiring diberlakukannya Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen.
Sri Mulyani mengungkapkan, berdasarkan proyeksi pemberian insentif PPN, negara kehilangan pendapatan sekitar Rp265,6 triliun.
“Proyeksi insentif PPN yang dibebaskan pada tahun 2025 sebesar Rp265,6 triliun,” kata Sri Mulyani dalam acara konferensi pers bertajuk ‘Paket Kebijakan Ekonomi: Akselerasi Pertumbuhan Ekonomi Inklusif dan Berkelanjutan’ di Kantor Kementerian Koordinator Perekonomian, Jakarta.
Dia menjelaskan, pemberian insentif tersebut akan mencakup sejumlah sektor strategis, yaitu bahan makanan, UMKM, transportasi, pendidikan, kesehatan, jasa keuangan, otomotif, properti, serta layanan dasar.
Untuk sektor makanan, diperkirakan mencapai Rp77,1 triliun. Dari jumlah tersebut, Rp50,5 triliun akan dialokasikan untuk pembebasan PPN pada barang kebutuhan pokok seperti beras, jagung, kedelai, gula, susu segar, kacang-kacangan, dan unggas.
Dia menjelaskan, pemberian insentif tersebut akan mencakup sejumlah sektor strategis, yaitu bahan makanan, UMKM, transportasi, pendidikan, kesehatan, jasa keuangan, otomotif, properti, serta layanan dasar.
Barang kebutuhan pokok
Untuk sektor makanan, diperkirakan mencapai Rp77,1 triliun. Dari jumlah tersebut, Rp50,5 triliun akan dialokasikan untuk pembebasan PPN pada barang kebutuhan pokok seperti beras, jagung, kedelai, gula, susu segar, kacang-kacangan, dan unggas.
“Untuk sektor transportasi, total insentif mencapai Rp34,4 triliun. Jasa angkutan umum akan dibebaskan dari PPN dengan nilai Rp23,4 triliun. Selain itu, tarif khusus akan diberlakukan untuk jasa pengiriman paket dan freight forwarding dengan alokasi masing-masing Rp2,6 triliun dan Rp7,4 triliun,” kata mantan Direktur World Bank (Bank Dunia) ini.
Dan, untuk sektor pendidikan dan kesehatan diperkirakan mendapatkan insentif sebesar Rp30,8 triliun. Dengan rincian, PPN atas jasa pendidikan akan dibebaskan dengan nilai Rp26 triliun, dan pembebasan PPN untuk layanan kesehatan medis mencapai Rp4,3 triliun.
Sementara, untuk jasa keuangan dan asuransi, total insentif yang didapat mencapai Rp27,9 triliun, terdiri dari pembebasan PPN jasa keuangan senilai Rp19,1 triliun dan jasa asuransi Rp8,7 triliun.
Lalu, sektor otomotif dan properti akan memperoleh insentif senilai Rp15,7 triliun. Insentif ini terdiri dari Rp11,4 triliun untuk sektor otomotif dan Rp2,1 triliun untuk sektor properti melalui skema PPN Ditanggung Pemerintah (DTP). (*)