KABARBURSA.COM – Di tengah suhu geopolitik yang makin hangat dan perang tarif antara dua raksasa dunia belum reda, pemerintah Indonesia memilih langkah diplomasi yang lebih kalem. Bukan ikut-ikutan pasang tarif atau ancam balas dendam, melainkan mempertimbangkan opsi pembelian produk asal Amerika Serikat (AS) sebagai bagian dari diskusi dagang yang sedang berlangsung.
Dirjen Perundingan Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan, Djatmiko Bris Witjaksono, bilang mekanisme pembelian produk dari AS—mulai dari gandum, LPG, crude oil, sampai bahan bakar—masih dalam tahap pembahasan. Belum ada keputusan final, tapi arah pembicaraannya sudah jelas, yakni meredakan ketegangan sambil tetap jaga kepentingan dalam negeri.
“Terkait isu defisit, kami paham ini jadi perhatian utama pemerintah AS. Tapi karena ini masih dalam proses diskusi, saya belum bisa menjelaskan secara rinci mekanismenya,” ujar Djatmiko saat konferensi pers di kantor Kemendag, Jakarta, Senin, 21 April 2025.
Djatmiko mengatakan Indonesia telah mengidentifikasi sejumlah produk dan sektor yang dianggap relevan untuk ditindaklanjuti dalam diskusi bilateral. Namun, pelaksanaannya masih menunggu hasil dari proses negosiasi lebih lanjut antara pemerintah Indonesia dan Amerika Serikat. Menurutnya, praktik konkretnya baru bisa terlihat setelah pembicaraan antarpemerintah membuahkan hasil.
Sementara itu, soal hubungan dagang dengan China, sejauh ini belum ada dinamika signifikan yang mempengaruhi sektor perdagangan nasional. Namun pemerintah tetap siaga dan mengikuti perkembangan secara saksama—apalagi mengingat posisi Indonesia yang punya hubungan baik dengan kedua kutub. “Kami tetap menjaga relasi yang konstruktif dengan semua mitra dagang utama, termasuk China,” kata Djatmiko.
Surplus Dagang Naik, Angin Segar untuk Ekonomi
Neraca dagang Indonesia kembali mencatatkan hasil positif. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan pada Maret 2025, surplus neraca perdagangan RI mencapai USD4,33 miliar, naik signifikan dibanding bulan sebelumnya yang berada di angka USD3,10 miliar.
Kabar ini disambut positif oleh Bank Indonesia. Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI, Ramdan Denny Prakoso, mengatakan bahwa tren surplus ini memperkuat daya tahan eksternal ekonomi nasional. “Bank Indonesia memandang surplus neraca perdagangan ini positif untuk menopang ketahanan eksternal perekonomian Indonesia lebih lanjut,” ujarnya dalam keterangan resmi yang diterima KabarBursa, Senin, 21 April 2025.
Ia menjelaskan, surplus kali ini terutama didorong oleh neraca perdagangan nonmigas yang mencatat kenaikan tajam. Per Maret 2025, sektor nonmigas menyumbang surplus sebesar USD6 miliar, didorong oleh ekspor yang naik jadi USD21,80 miliar.
Kontributor terbesar tetap datang dari komoditas andalan berbasis sumber daya alam seperti bijih logam, terak, abu, serta nikel dan turunannya. Di sisi lain, produk manufaktur seperti besi dan baja, serta mesin dan perlengkapan elektrik juga mencatat performa ekspor yang kuat.
Ramdan menambahkan, “Ke depan, Bank Indonesia terus memperkuat sinergi kebijakan dengan Pemerintah dan otoritas lain guna meningkatkan ketahanan eksternal dan mendukung pertumbuhan ekonomi nasional yang berkelanjutan.”
Dari sisi negara tujuan, ekspor nonmigas Indonesia masih didominasi oleh Tiongkok, Amerika Serikat, dan India — tiga pasar utama yang menopang neraca dagang RI selama ini.
Sementara itu, defisit di sektor migas juga tercatat menurun. Pada Maret 2025, defisit migas berada di angka USD1,67 miliar, lebih rendah dibandingkan bulan sebelumnya. Penurunan ini terjadi karena kenaikan impor migas tidak sebesar kenaikan ekspor, memberikan ruang napas tambahan di sektor energi.
Secara keseluruhan, tren ini memberi sinyal bahwa struktur ekspor Indonesia masih bertumpu pada kekuatan komoditas dan sektor manufaktur berbasis SDA. Namun di tengah dinamika global dan tekanan geopolitik, capaian surplus dagang tetap jadi modal penting untuk menjaga stabilitas rupiah dan ketahanan eksternal ke depan. (*)
RI Siap Beli Produk AS hingga Rp318 Triliun
Pemerintah sebelumnya menyatakan kesiapannya membantu memangkas defisit neraca dagang AS terhadap Indonesia dengan cara melakukan pembelian produk asal Negeri Paman Sam. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, mengungkapkan pemerintah Indonesia berjanji akan melakukan pembelian produk.
Untuk diketahui, nilai pembelian produk dari AS yang direncanakan pemerintah berkisar antara USD18 miliar hingga USD19 miliar atau sekitar Rp318,6 triliun dengan asumsi kurs Rp16.770 per dolar AS. "Indonesia akan beli barang dari Amerika sesuai dengan kebutuhan Indonesia. Senilainya (defisit negara) mendekati,” tutur Airlangga dalam konferensi pers, Perkembangan dan Persiapan Pertemuan dengan Pemerintah Amerika Serikat Terkait Tarif Perdagangan.
Menurutnya, transaksi ini bukan semata-mata untuk meredakan ketegangan akibat kebijakan tarif resiprokal AS, melainkan juga demi menyeimbangkan hubungan dagang kedua negara. “Indonesia akan beli barang dari Amerika sesuai dengan kebutuhan Indonesia,” ujar Airlangga.
Meski belum merinci secara detail komoditas apa saja yang akan dibeli dalam kerangka negosiasi dengan Amerika Serikat, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menegaskan bahwa komoditas yang diimpor Indonesia mayoritas berasal dari sektor pertanian atau agri-culture.
Hubungan Dagang AS-Indonesia
Pada tahun 2024, hubungan dagang antara Amerika Serikat dan Indonesia menunjukkan dinamika yang menarik dan semakin intensif. Berdasarkan data terbaru, impor barang Amerika Serikat dari Indonesia mencapai angka sebesar 28,1 miliar dolar AS.
Angka tersebut mengalami kenaikan sebesar 4,8 persen atau setara dengan 1,3 miliar dolar dibandingkan tahun sebelumnya. Peningkatan ini mencerminkan adanya permintaan yang stabil, bahkan cenderung meningkat, terhadap produk-produk buatan Indonesia di pasar Amerika.
Namun, di balik tren ekspor yang positif bagi Indonesia, terdapat fakta lain yang patut dicermati, yakni AS mengalami defisit perdagangan barang dengan Indonesia yang cukup besar. Defisit ini tercatat sebesar 17,9 miliar dolar AS pada tahun 2024, meningkat 5,4 persen atau sekitar 923 juta dolar dibandingkan dengan tahun 2023.
Ini berarti AS mengimpor jauh lebih banyak barang dari Indonesia dibandingkan dengan yang diekspornya ke negara tersebut. Defisit perdagangan ini pada dasarnya menggambarkan kondisi di mana neraca perdagangan AS dengan Indonesia terus berada dalam posisi negatif.
Defisit perdagangan seperti ini bukan hal baru dalam hubungan bilateral kedua negara. Fenomena tersebut mencerminkan bahwa produk-produk Indonesia memiliki daya saing yang kuat di pasar Amerika, mulai dari produk manufaktur hingga komoditas agrikultur. Dari sektor pertanian misalnya, Indonesia terus memperkuat posisinya sebagai pemasok utama berbagai produk unggulan ke Negeri Paman Sam. Kopi, minyak kelapa sawit, dan kakao menjadi komoditas utama yang diekspor Indonesia ke Amerika Serikat. Bahkan pada tahun 2023, total ekspor produk pertanian Indonesia ke Amerika mencapai sekitar 215,5 juta dolar AS.(*)