KABARBURSA.COM – Kinerja penerimaan negara dari sektor kepabeanan dan cukai mencatat hasil yang cukup menggembirakan pada paruh pertama tahun ini. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) melaporkan penerimaan hingga akhir Juni 2025 telah mencapai Rp147,5 triliun. Angka itu setara 48,9 persen dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025.
Direktur Jenderal Bea dan Cukai, Djaka Budi Utama, menyebut capaian ini mencerminkan tren pertumbuhan yang stabil. Dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, terjadi kenaikan 9,9 persen secara tahunan (year on year).
“Realisasi ini didorong oleh penerimaan bea keluar dan cukai yang tumbuh meskipun bea masuk sedikit terkontraksi,” ujar Djaka dalam rapat kerja bersama Komisi XI DPR RI di Senayan, Jakarta, Senin, 14 Juli 2024.
Sektor cukai tetap menjadi penopang utama dalam struktur penerimaan DJBC. Hingga pertengahan tahun, penerimaan dari cukai tercatat sebesar Rp109,2 triliun atau naik 7,3 persen dibanding tahun sebelumnya. Pertumbuhan tarif dan penguatan pengawasan distribusi barang kena cukai menjadi faktor utama penggeraknya.
Di sisi lain, bea keluar justru mencatat pertumbuhan paling agresif. Sampai akhir Juni, sektor ini menghasilkan penerimaan sebesar Rp14 triliun, melonjak 81,1 persen dari semester pertama tahun lalu. Djaka menjelaskan, lonjakan ini tak lepas dari tingginya harga komoditas kelapa sawit serta adanya kelonggaran ekspor konsentrat tembaga.
“Lonjakan sangat signifikan pada bea keluar terutama ditopang oleh kenaikan harga CPO dan kebijakan relaksasi ekspor konsentrat tembaga,” jelasnya.
Bea Masuk Terpangkas Kebijakan Ketahanan Pangan
Berbeda dengan dua pos sebelumnya, bea masuk justru mengalami pelemahan. Hingga akhir Juni, realisasinya mencapai Rp23,6 triliun atau 44,6 persen dari target tahunan. Nilai ini mengalami kontraksi 2,8 persen secara tahunan.
Menurut Djaka, turunnya penerimaan bea masuk dipengaruhi oleh strategi pemerintah menjaga stabilitas pangan nasional. Meski impor bahan baku dan barang modal masih tumbuh, tidak adanya impor pangan utama seperti beras dan jagung berdampak pada turunnya bea masuk.
“Impor bahan baku dan barang modal memang mengalami kenaikan, namun bea masuk terkoreksi karena tidak adanya impor bahan pangan strategis seperti beras dan jagung, sebagai bagian dari upaya swasembada pangan,” katanya.
Djaka juga menyoroti performa jangka menengah DJBC sejak 2021. Ia mencatat tren penerimaan selama empat tahun terakhir secara umum menunjukkan arah yang positif, meski sempat mengalami penurunan pada 2023. Capaian tertinggi terjadi pada 2022, saat total penerimaan menembus Rp317,6 triliun, tumbuh 18,6 persen dibanding tahun sebelumnya.
“Selama periode 2021 sampai 2024, pertumbuhan penerimaan kepabeanan dan cukai relatif aktif namun tetap dalam tren positif,” ungkap Djaka.
Sebagai salah satu pengumpul penerimaan utama selain Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Anggaran, DJBC menegaskan komitmennya untuk terus mengoptimalkan potensi penerimaan negara. Di saat yang sama, mereka berusaha menjaga keseimbangan antara fasilitasi perdagangan, perlindungan masyarakat, dan akuntabilitas pengawasan fiskal.(*)