KABARBURSA.COM – Peneliti Ekonomi Center of Economic and Law Studies (Celios), Bakhrul Fikri, menilai pengawasan terhadap Danantara tidak bisa hanya mengandalkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Menurutnya, perlu ada lembaga audit independen untuk memastikan akuntabilitas holding investasi tersebut.
“BPK dan KPK masuk dalam struktur pengawasan, sehingga ada potensi bias. Maka, harus ada lembaga independen dari luar yang mengawasi kinerja Danantara,” ujar Bakhrul kepada kabarbursa.com di Jakarta, Jumat, 28 Maret 2025.
Selain itu, ia juga menekankan pentingnya peran publik, termasuk media, akademisi, dan organisasi masyarakat sipil, dalam melakukan pengawasan. “Sebagai pengelola Sovereign Wealth Fund, Danantara wajib menyampaikan laporan berkala dan laporan tahunan yang detail, terutama terkait keuangan dan kinerja masing-masing BUMN di bawahnya,” tambahnya.
Bakhrul juga menyoroti skema inbreng yang digunakan dalam pembentukan Danantara. Menurutnya, pengalihan kepemilikan saham BUMN strategis ke satu entitas dapat menyulitkan pemantauan publik.
“Semua BUMN strategis kini berada di bawah satu holding yang tidak tunduk langsung pada mekanisme politik, seperti pengawasan DPR terhadap aksi korporasi besar. Ini memang meningkatkan fleksibilitas bisnis, tetapi juga membuka celah tata kelola yang kurang transparan,” jelasnya.
Ia menilai, tanpa pengawasan yang ketat, ada risiko kebijakan strategis di sektor perbankan, energi, dan infrastruktur lebih banyak ditentukan oleh manajemen Danantara tanpa keterlibatan DPR.
Ia juga mengingatkan bahwa banyak BUMN yang selama ini bermasalah dan merugi. Dengan masuknya seluruh BUMN ke dalam satu holding, ada kekhawatiran bahwa perusahaan-perusahaan sehat akan menanggung beban perusahaan yang sedang sakit.
“Banyak BUMN yang kondisinya sudah sakit-sakitan selama lebih dari satu dekade. Jika disatukan dengan BUMN kategori blue chip, ini bisa menimbulkan ketidakseimbangan dalam pengelolaan aset negara,” ujarnya.
Pengawasan DPR Berpotensi Melemah
Peneliti Ekonomi Center of Economic and Law Studies (Celios) Bakhrul Fikri, menyoroti dampak pembentukan holding Danantara terhadap mekanisme pengawasan DPR.
Menurutnya, pengalihan kepemilikan saham BUMN strategis ke PT Biro Klasifikasi Indonesia (BKI) sebagai induk holding berisiko melemahkan fungsi kontrol parlemen terhadap aset negara.
“Dari sisi kebijakan publik dan good governance, langkah ini bisa mengurangi peran DPR dalam mengawasi BUMN strategis. Sebelumnya, pengawasan bisa dilakukan secara langsung melalui Kementerian BUMN, namun sekarang mekanismenya menjadi lebih tidak langsung atau indirect,” ujar Bakhrul kepada Kabarbursa.com, di Jakarta, Jumat, 28 Maret 2025.
Sebelum adanya holding Danantara, DPR memiliki kontrol langsung terhadap BUMN strategis melalui berbagai mekanisme, seperti rapat kerja dengan Kementerian BUMN atau Panja BUMN. Namun, dengan pengalihan saham ke BKI, mekanisme pengawasan kini hanya bisa dilakukan secara agregat melalui holding.
“Dulu DPR bisa langsung memanggil direksi tiap BUMN jika ada masalah. Sekarang, mereka hanya bisa mengawasi secara keseluruhan melalui Danantara, bukan masing-masing perusahaan. Ini bisa mengurangi transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan aset negara,” tambahnya.
Ia menilai, jika DPR tidak lagi memiliki kontrol langsung terhadap BUMN yang masuk ke dalam holding, maka risiko penyalahgunaan aset negara bisa meningkat.
Untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas tetap terjaga, Bakhrul menekankan pentingnya memperkuat mekanisme pengawasan di lembaga lain.
“Kalau DPR kehilangan peran sebagai watchdog utama, maka harus ada mekanisme baru. Bisa melalui penguatan peran BPK atau KPK, atau bahkan revisi regulasi agar pengawasan terhadap Danantara tetap ketat,” jelasnya.
Menurut Bakhrul, tanpa pengawasan yang jelas, dikhawatirkan tata kelola Danantara justru menjadi semakin tertutup. “Holding ini harus tetap dalam kontrol negara secara transparan, agar tidak menimbulkan celah dalam pengelolaan aset BUMN,” jelasnya.
Menanggapi potensi pelemahan pengawasan DPR terhadap Danantara, Anggota Komisi VI DPR RI, Herman Khaeron, menilai kekhawatiran itu berlebihan. Ia memastikan fungsi kontrol DPR terhadap perusahaan pelat merah tetap kuat, meski kini banyak yang digabungkan di bawah PT Biro Klasifikasi Indonesia (BKI) sebagai induk holding.
Menurut Herman, perubahan ini tak banyak mengubah mekanisme pengawasan karena seluruh struktur BUMN tetap berada di bawah regulasi Kementerian BUMN. Justru sekarang, kata dia, tanggung jawab tiap BUMN lebih tegas: harus sehat secara finansial dan mampu menyetor dividen ke Danantara, yang kemudian digunakan untuk investasi lintas sektor.
“Semua BUMN tetap dalam pengelolaan Danantara dengan regulasi Kementerian BUMN, tidak jauh berbeda dari sistem sebelumnya. Hanya saja, sekarang semua BUMN harus sehat dan mampu menyetor dividen ke Danantara, yang nantinya digunakan untuk investasi di berbagai sektor,” ujarnya kepada kabarbursa.com, di Jakarta, Kamis 27 Maret 2025.
Herman bilang DPR tidak kehilangan akses terhadap BUMN. Bahkan, ia menyebut pengaturan dalam UU BUMN yang baru justru memperluas wewenang pengawasan legislatif, termasuk terhadap anak usaha yang sebelumnya sulit disentuh.
“Justru dengan pengaturan dalam UU BUMN yang baru, DPR kini memiliki peran pengawasan yang lebih dalam, bahkan hingga ke anak perusahaan BUMN,” katanya.
Ia mengingatkan, dalam skema superholding seperti ini, penting bagi DPR dan masyarakat untuk aktif mengawal agar fungsi transparansi dan tata kelola tetap berjalan. Terutama dalam mengevaluasi efektivitas investasi Danantara terhadap pembangunan nasional.
“Dengan skema ini, penting bagi DPR dan masyarakat untuk terus mengawasi efektivitas investasi dan kontribusi Danantara terhadap perekonomian nasional,” katanya.
Namun, di balik keyakinan DPR, banyak pihak masih menyoroti bagaimana Danantara akan dikelola. Superholding ini bukan cuma menyatukan puluhan BUMN strategis, tapi juga membawa misi besar, yakni mempercepat investasi, memaksimalkan dividen, dan menyeimbangkan peran negara di sektor bisnis yang makin kompetitif. (*)