KABARBRSA.COM – Penetapan status bencana nasional atas bencana di Sumatera dapat menjadi instrumen strategis untuk memperkuat posisi tawar kerja sama dagang Indonesia-Uni Eropa melalui skema Indonesia–European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU-CEPA).
Ekonom Universitas Andalas, Syafruddin Karimi menilai, langkah pemerintah dapat menjadi sinyal kuat jika Indonesia serius menjalankan prinsip transparansi yang menjadi bagian penting dalam arsitektur IEU-CEPA.
“Gagasan menerbitkan keppres status bencana nasional untuk bencana di Sumatra dapat menjadi sinyal kuat bahwa Indonesia serius menjalankan transparansi dan ketertelusuran yang memang tertulis eksplisit dalam arsitektur IEU-CEPA,” ujarnya dalam keterangan resmi, Senin, 15 Desember 2025.
Ia menjelaskan, prinsip transparansi itu tercermin dalam sejumlah bab IEU-CEPA, mulai dari Good Regulatory Practices, Transparansi, Sanitary and Phytosanitary (SPS), Technical Barriers to Trade (TBT), hingga Trade and Sustainable Growth and Development serta Sustainable Food Systems.
Dengan merujuk pada Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, Syafruddin menilai Keppres bencana nasional dapat memberikan payung hukum yang kuat bagi koordinasi lintas lembaga, pembiayaan, serta kewenangan pemerintah dalam mengungkap penyebab dan pemicu bencana secara terbuka.
“Keppres memberi payung komando, pendanaan, dan kewenangan lintas-instansi agar pemerintah dapat mengungkap sebab utama dan pemicu bencana dengan data geospasial yang terbuka, metodologi yang diaudit, dan kanal pelaporan publik yang dapat ditelusuri end-to-end,” jelasnya.
Ia menambahkan, langkah tersebut akan berdampak langsung pada kesiapan industri nasional dalam menghadapi standar lingkungan Uni Eropa, termasuk kewajiban uji tuntas dan sistem ketertelusuran yang semakin ketat.
“Langkah ini akan memperkuat kesiapan industri menghadapi persyaratan jejak lingkungan UE—mulai dari due diligence hingga sistem traceability—sejalan dengan agenda EUDR yang saat ini sedang direvisi jadwalnya di Brussel,” kata Syafruddin.
Agar memiliki kredibilitas di mata mitra dagang, Syafruddin menekankan Keppres bencana nasional perlu disertai mandat operasional yang jelas, bukan sekadar deklarasi kebijakan.
“Agar kredibel, Keppres perlu memuat mandat operasional: panitia ahli independen, publikasi peta risiko dan root-cause analysis, integrasi MRV emisi dan tata guna lahan, serta joint implementation check-ins dengan UE,” tegasnya.
Menurut dia, pendekatan berbasis data dan verifikasi ini akan memastikan bahwa komitmen Indonesia dapat diuji langsung oleh otoritas kepabeanan dan pengawas pasar di Uni Eropa.
“Sehingga bukti kepatuhan tidak berhenti pada deklarasi, melainkan hadir sebagai data yang bisa diverifikasi di meja bea cukai dan pengawas pasar,” lanjutnya.
Syafruddin menilai, apabila dirancang secara tepat, Keppres bencana nasional tidak hanya relevan untuk penanganan krisis lingkungan, tetapi juga menjadi instrumen penting dalam membangun kepercayaan mitra dagang dan investor.
“Dengan desain seperti itu, Keppres tidak hanya menjawab tuntutan standar IEU-CEPA, melainkan juga memperkuat kepercayaan investor dan pemberi kerja bahwa Indonesia mengelola risiko lingkungan secara terukur dan transparan sampai IEU-CEPA efektif 1 Januari 2027,” tandasnya.(*)