Logo
>

Pengamat Kritisi Kampung Nelayan Merah Putih yang bisa Telan Dana Rp2,2 Triliun

Pakar kebijakan publik mengingatkan pembangunan 100 Kampung Nelayan Merah Putih dalam empat bulan berisiko jadi proyek mercusuar jika tanpa perencanaan dan partisipasi warga.

Ditulis oleh Dian Finka
Pengamat Kritisi Kampung Nelayan Merah Putih yang bisa Telan Dana Rp2,2 Triliun
Aktivitas perikanan di Kampung Nelayan Modern (KaLaMo) Desa Samber-Binyeri, Biak Numfor, Papua — salah satu proyek percontohan dalam program Kampung Nelayan Merah Putih (KNMP) yang digagas Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Foto: Dok. kkp.go.id.

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM – Ambisi pemerintah menyulap 100 Kampung Nelayan Merah Putih (KNMP) hanya dalam tempo empat bulan mendapat sorotan kritis. Program yang digadang sebagai langkah transformasi sosial-ekonomi masyarakat pesisir itu dinilai rawan menjadi proyek mercusuar.

    Pakar kebijakan publik dari Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, mengingatkan proyek besutan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) itu bisa gagal mencapai tujuan bila tidak ditopang perencanaan matang dan pelibatan aktif warga pesisir.

    “Secara makro, niat ini tentu baik. Tapi jika ditargetkan membangun 100 kampung dalam waktu hanya empat bulan, dengan anggaran Rp2,2 triliun dari ABT 2025, ini mengundang tanda tanya besar: apakah realistis dan tepat sasaran?” ujar Achmad dalam keterangan tertulis, Sabtu 21 Juni 2025.

    Dalam rencana KKP, pembangunan 1.100 KNMP ditargetkan rampung hingga 2027. Untuk tahap awal 2025, sebanyak 100 kampung akan dibangun hanya dalam rentang waktu empat bulan.

    Mengacu pada proyek percontohan di Biak Numfor, Papua, satu kampung nelayan diperkirakan menelan biaya Rp22 miliar. Maka, secara matematis, total kebutuhan untuk 100 kampung mencapai Rp2,2 triliun.

    Dalam skema yang disusun KKP, proyek pembangunan 1.100 Kampung Nelayan Merah Putih ditargetkan tuntas pada 2027. Pada tahap awal, sebanyak 100 kampung direncanakan selesai dalam waktu hanya empat bulan di tahun 2025.

    Jika mengacu pada simulasi biaya di lokasi percontohan Biak Numfor, Papua, satu kampung nelayan diperkirakan membutuhkan anggaran hingga Rp22 miliar. Dengan demikian, kebutuhan anggaran untuk 100 kampung bisa mencapai Rp2,2 triliun.

    Achmad menilai angka tersebut tergolong besar jika mencakup aspek fisik, pemberdayaan, dan penguatan sosial-ekonomi. Namun, ia mempertanyakan efektivitas penyerapan anggaran tersebut dalam menjawab kebutuhan paling mendesak nelayan miskin.

    Ia juga mengkritisi sumber dana program ini yang berasal dari Anggaran Biaya Tambahan (ABT) karena sifatnya yang tidak permanen bisa berisiko pada keberlanjutan program.

    Dengan pagu efektif KKP yang tinggal Rp3,58 triliun setelah pemangkasan belanja negara, lebih dari 60 persen dana tersebut berpotensi terserap hanya untuk program KNMP. Kondisi ini dikhawatirkan akan mengganggu jalannya program strategis lainnya di sektor kelautan dan perikanan.

    “Bagaimana dengan pelatihan wirausaha nelayan? Bantuan alat tangkap ramah lingkungan? Rehabilitasi ekosistem pesisir? Jangan sampai proyek besar ini justru mengorbankan inisiatif-inisiatif kecil yang lebih memberdayakan,” tegas Achmad.

    Menurutnya, pemerintah perlu berhati-hati dalam mengalokasikan anggaran agar tidak terjadi disinsentif terhadap kebijakan lain yang juga bersentuhan langsung dengan kehidupan nelayan.

    Achmad menyamakan program KNMP dengan membangun rumah dalam waktu terbatas dan dana pas-pasan. Rumah itu bisa saja selesai secara fisik, tapi belum tentu layak huni, apalagi menjawab kebutuhan penghuninya.

    “Kampung nelayan itu bukan sekadar bangunan. Yang dibutuhkan adalah ekosistem. Ada penyuluh, koperasi, akses pasar, lembaga keuangan mikro, hingga penguatan kelembagaan lokal. Tanpa itu, bangunan hanya akan jadi simbol kosong,” ujarnya.

    Ia pun mengingatkan percepatan pembangunan 100 kampung dalam 4 bulan memerlukan koordinasi lintas level yang luar biasa — dari pusat hingga desa. Berdasarkan pengalaman birokrasi di Indonesia, hambatan administratif dan teknis kerap menjadi penghambat realisasi proyek cepat.

    Achmad juga mendorong agar pendekatan yang digunakan dalam proyek KNMP bersifat partisipatif dan berbasis kebutuhan lokal. Ia menyarankan agar penentuan lokasi, desain kampung, dan pelibatan masyarakat dilakukan secara desentralistik, bukan hanya dikendalikan dari Jakarta.

    “Tanpa pendekatan dari bawah ke atas, program ini hanya akan menjadi proyek mercusuar yang indah dilihat tapi rapuh fondasinya. Ini harus jadi momentum refleksi: apakah kita ingin memberdayakan masyarakat pesisir secara berkelanjutan, atau sekadar membangun demi pencitraan jangka pendek?” ujarnya.

    Achmad menekankan program Kampung Nelayan Merah Putih seharusnya tidak hanya berfokus pada pembangunan fisik, tetapi juga menjawab persoalan-persoalan struktural yang selama ini membelenggu kehidupan nelayan. Di antaranya adalah ketimpangan kepemilikan aset, akses bahan bakar yang tidak pasti, serta lemahnya posisi tawar nelayan dalam rantai pasok.

    Ia juga mengingatkan pentingnya menjaga akuntabilitas dalam pelaksanaan program. Menurutnya, pemerintah perlu memastikan adanya mekanisme evaluasi dan pengawasan yang melibatkan pihak independen, termasuk kalangan akademisi, masyarakat sipil, dan organisasi nelayan, agar program ini benar-benar berdampak nyata bagi kelompok sasaran.

    “Uang Rp2,2 triliun bukan angka kecil. Jika tidak diawasi ketat dan dijalankan dengan partisipatif, kita berisiko mengulang kegagalan proyek-proyek sebelumnya yang besar di atas kertas tapi nihil dampak nyata,” katanya.(*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Dian Finka

    Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.