KABARBURSA.COM - Pekan lalu, aliran dana asing yang masuk ke pasar keuangan domestik kembali mencatatkan lonjakan signifikan. Hal ini didorong oleh instrumen investasi yang menawarkan imbal hasil lebih tinggi dibandingkan opsi lain.
Direktur Next Policy, Yusuf Wibisono berpendapat fenomena arus dana yang masuk ke pasar keuangan domestik harus segera diakhiri.
“Menurut saya ini fenomena yang tidak sehat dan harus secepatnya diakhiri,” kata Yusuf saat dihubungi Kabar Bursa, Rabu, 24 Juli 2024.
Adapun arus dana asing yang kembali mengalir ke pasar keuangan domestik pekan lalu, memicu perdebatan seputar dampaknya bagi stabilitas pasar.
Bank Indonesia (BI) telah memperkenalkan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) sejak September 2023 sebagai instrumen moneter untuk mengendalikan volatilitas rupiah.
“Dengan volatilitas rupiah yang mengkhawatirkan, dan rendahnya pasokan dolar AS di pasar valas terutama akibat tingkat bunga The Fed yang masih terus tinggi, maka return dari SRBI cenderung tinggi,” jelas Yusuf.
Dengan tingkat bunga yang tinggi di pasar global, terutama karena kebijakan tingkat bunga Federal Reserve (The Fed) yang masih cenderung tinggi, SRBI menawarkan tingkat return yang mencapai kisaran 7,3 persen.
Ini lebih tinggi dibandingkan dengan return Surat Berharga Negara (SBN) yang hanya sekitar 6,8 persen. Kondisi ini membuat SRBI menjadi pilihan menarik bagi investor, baik dalam negeri maupun asing, yang mencari keuntungan lebih dari investasi jangka pendek.
Namun, ada yang mengkhawatirkan bahwa popularitas SRBI dapat menyebabkan efek crowding out di pasar keuangan. Crowding out terjadi ketika dana yang seharusnya masuk ke pasar saham atau SBN, berpindah ke instrumen investasi seperti SRBI.
Hal ini bisa mempengaruhi likuiditas dan dinamika pasar lainnya, serta meningkatkan biaya pembiayaan defisit anggaran pemerintah.
“Stabilisasi rupiah berbasis intervensi operasi pasar melalui SRBI ini mahal dan terjadi persaingan yang keras dalam memperebutkan dana dengan SBN,” paparnya.
Sebelum adanya SRBI, terjadi crowding out dari pasar saham dan pasar obligasi korporasi ke pasar SBN, terutama setelah pandemi yang meningkatkan defisit anggaran hingga lebih dari 6 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), melampaui batas atas defisit sebesar 3 persen dari PDB.
Dengan SRBI, ada potensi bahwa fenomena ini dapat memperburuk beban pembiayaan defisit anggaran yang sudah tinggi.
“Bila fenomena ini dibiarkan, maka pendanaan untuk sektor swasta ke depan akan semakin sulit dan mahal, dan akan semakin bergantung pada perbankan,” imbuhnya.
Tantangan Stabilitas Ekonomi Indonesia
Fenomena meningkatnya minat terhadap SRBI dan SBN belakangan ini menimbulkan kekhawatiran terhadap stabilitas ekonomi nasional.
Arus dana yang mengalir ke SRBI, didorong oleh tingginya tingkat return hingga mencapai 7,3 persen, telah menggeser fokus pendanaan dari sektor riil, seperti sektor swasta, menuju investasi yang lebih menguntungkan secara jangka pendek.
“Dengan tenor yang relatif pendek dan tingkat return hingga kisaran 7,3 persen yang bahkan lebih tinggi dari return SBN yang hanya di kisaran 6,8 persen, maka tidak mengherankan bila SRBI mampu menarik dana yg sangat besar,” jelas Yusuf
Dampak dari fenomena ini tidak hanya berdampak pada sektor swasta yang menghadapi tantangan mendapatkan pendanaan yang murah dan mudah, tetapi juga pada perbankan yang cenderung lebih memilih untuk menempatkan dana mereka di SBN dan SRBI yang menjanjikan return tinggi.
“Stabilisasi Rupiah berbasis intervensi operasi pasar melalui SRBI ini mahal dan terjadi persaingan yang keras dalam memperebutkan dana dengan SBN, Dengan tenor yang pendek, SRBI bahkan juga telah menarik investor di pasar saham,” ujarnya.
Lanjutnya, dampak negatifnya, dengan operasi fiskal dan moneter yang memerlukan biaya yang semakin tinggi. Biaya ini pada akhirnya akan harus ditanggung oleh publik melalui pajak yang lebih tinggi di masa depan, memperburuk beban ekonomi masyarakat umum.
“Terjadi nya crowding out effect ini, dimana dana berpindah dari pasar saham dan pasar SBN ke pasar SRBI sehingga stabilisasi dan penguatan rupiah membuat beban pembiayaan defisit anggaran pemerintah menjadi semakin mahal, adalah ironis,” kata Yusuf
Sebagai informasi, Bank Indonesia (BI) merilis data transaksi 15-18 Juli 2024 di mana investor asing tercatat beli neto Rp0,69 triliun terdiri dari beli neto Rp0,67 triliun di saham dan beli neto Rp0,40 triliun di Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI), serta jual neto Rp0,38 triliun di Surat Berharga Negara (SBN).
Adapun Total net foreign buy lebih dari Rp34.31 triliun dalam empat pekan terakhir tentu memberikan angin segar bagi Indonesia terkhusus SRBI yang semakin diminati asing dengan catatan net foreign buy selama 12 pekan beruntun dengan total lebih dari Rp60 triliun.
Lebih lanjut, berdasarkan data setelmen sampai dengan 18 Juli 2024, investor asing tercatat jual neto Rp31,10 triliun di pasar SBN, jual neto Rp2,98 triliun di pasar saham, dan beli neto Rp162,15 triliun di SRBI.
Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo menyampaikan bahwa aliran dana asing mulai kembali masuk ke sejumlah portofolio aset keuangan RI, termasuk ke saham lewat pasar modal. (ian/*)