Logo
>

Pengamat: Oplos Beras Itu Biasa, Asal Tak Menipu

Isu beras oplosan memicu kepanikan publik, mengganggu psikologi konsumen, hingga mengancam stabilitas pasar. Pakar sebut perlu edukasi, bukan represi.

Ditulis oleh Ayyubi Kholid
Pengamat: Oplos Beras Itu Biasa, Asal Tak Menipu
Ilustrasi beras oplosan yang meningkatkan kecemasan konsumen. Foto: doc KabarBursa.com

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Polemik beras oplosan yang mencuat sejak awal Juli 2025 terus menyebar bak bola salju. Sorotan media yang intens memantik keresahan di tengah masyarakat, dan mengganggu stabilitas pasar komoditas pangan.

    Pengamat Pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Khudori, menilai kegaduhan ini tidak hanya berdampak pada psikologi konsumen, tetapi juga menimbulkan ketidakpastian usaha bagi para pelaku di sektor perberasan.

    “Pemberitaan yang mengaitkan beras oplosan dengan risiko kesehatan membuat konsumen makin waswas,” ujar Khudori dalam keterangannya, Minggu, 20 Juli 2025.

    Ia menyebut, keresahan konsumen berujung pada penurunan penjualan beras bermerek di sejumlah daerah. Bahkan, sebagian pedagang menghentikan penjualan produk tertentu karena takut disalahkan, meski belum ada verifikasi atas tuduhan pencampuran beras pemerintah atau SPHP ke dalam beras premium.

    Menurutnya, pernyataan Menteri Pertanian terkait dugaan 80% beras SPHP dioplos menjadi pemicu utama kekacauan ini. Padahal, jika benar angka tersebut terjadi, maka volume yang dicurigai mencapai 1 juta ton dari 1,4 juta ton beras SPHP yang disalurkan pada 2024.

    “Satu juta ton dikalikan Rp2.000 (per kg), jadi Rp2 triliun. Itulah kerugian negara dalam satu tahun akibat kecurangan ini,” kata Khudori.

    Kendati demikian, ia menekankan pentingnya penjelasan rinci soal waktu kejadian dan metodologi penghitungan. Tanpa kejelasan itu, ruang interpretasi publik menjadi liar dan memperkeruh situasi pasar.

    Dari sisi teknis, Khudori juga menyentil pemahaman publik yang masih keliru soal istilah “oplosan”. Ia menjelaskan bahwa mencampur beras dalam proses produksi bukan hal tabu, bahkan telah menjadi praktik umum untuk memenuhi standar mutu dan preferensi konsumen.

    “Oplos-mengoplos adalah bagian dari proses bisnis. Hanya saja, kata 'oplos' sudah kadung bercitra negatif dan buruk,” jelasnya.

    Ia menjelaskan bahwa proses pencampuran dalam industri beras dilakukan untuk mencapai kualitas tertentu, termasuk dari sisi tekstur, rasa, hingga standar derajat sosoh dan kadar patahan. Bahkan sejak di hulu, bahan baku beras umumnya sudah berasal dari varietas yang beragam dan tidak murni satu jenis.

    Dalam pandangannya, kekhawatiran publik seharusnya tidak diarahkan pada aktivitas teknis mencampur, tetapi pada niat menipu di baliknya. Misalnya, saat beras kualitas rendah dijual seolah premium, atau ditambahkan zat berbahaya.

    “Mencampur atau mengoplos yang dilarang adalah untuk menipu,” tegas Khudori.

    Lebih jauh, ia mengkritik pendekatan keamanan yang selama ini diambil pemerintah dalam merespons isu beras oplosan. Menurutnya, pelibatan Satgas Pangan yang bersifat represif justru menciptakan suasana ketidakpercayaan terhadap pelaku usaha.

    “Pendekatan keamanan ini sudah dilakukan sejak 1950-an dan tidak berhasil,” ujarnya.

    Sebagai solusi, Khudori mendorong agar edukasi publik menjadi strategi utama. Ia menyarankan agar Ditjen Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga di Kementerian Perdagangan berada di garda terdepan.

    Penegakan hukum, menurutnya, sebaiknya menjadi langkah lanjutan jika ditemukan indikasi pelanggaran.(*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Ayyubi Kholid

    Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.