KABARBURSA.COM - Tumpang tindih regulasi dalam pengangkutan barang masih menjadi persoalan krusial dalam reformasi sistem logistik nasional. Akademisi Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata sekaligus Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat, Djoko Setijowarno menilai, tarik-menarik kepentingan antar kementerian dan lembaga menjadi batu sandungan utama dalam upaya harmonisasi kebijakan.
Menurut Djoko, hingga kini belum ada ketegasan sikap pemerintah pusat untuk menyatukan persepsi antarinstansi terkait penanganan truk over dimension and over loading (ODOL).
“Ketidaksinkronan kebijakan masih sangat mencolok, padahal semua kementerian dan lembaga seharusnya berada dalam satu barisan mendukung kebijakan penertiban ODOL,” kata Djoko dalam keterangan tertulis, Kamis, 7 Agustus 2025.
Ia menyoroti kondisi di lapangan yang menunjukkan masih kuatnya ego sektoral. Kementerian Perhubungan misalnya, fokus pada aspek keselamatan dan ketertiban lalu lintas. Sementara Kementerian PUPR berkonsentrasi pada perlindungan infrastruktur jalan, dan Kementerian Perindustrian cenderung memperhatikan kelangsungan industri. Hal ini menyebabkan pendekatan kebijakan sering berjalan sendiri-sendiri.
“Deregulasi bukan berarti membiarkan aturan menjadi longgar. Yang dibutuhkan justru harmonisasi agar tidak saling tumpang tindih dan kontradiktif,” ujar Djoko.
Ia juga menyatakan bahwa tumpang tindih regulasi kerap dimanfaatkan oleh oknum tertentu untuk mencari celah dalam sistem pengawasan. Situasi ini semakin diperparah dengan praktik pungutan liar yang marak terjadi di sepanjang jalur logistik.
Djoko mendorong agar pemerintah segera membentuk satuan tugas lintas kementerian dan lembaga untuk menyusun peta jalan reformasi pengangkutan barang secara komprehensif. Tanpa harmonisasi regulasi, program penertiban ODOL, peremajaan angkutan barang, dan peningkatan keselamatan jalan hanya akan menjadi jargon.
“Pemerintah perlu menunjukkan komitmen politik yang kuat untuk menegakkan aturan dan mengeliminasi ego sektoral,” pungkasnya.
Harus Bebas dari Pungli
Djoko menilai, pungli merupakan penyakit kronis yang sudah berlangsung lama dan menghambat reformasi distribusi barang.
Menurutnya, praktik pungutan liar dalam sistem logistik Indonesia menjadi batu sandungan serius bagi upaya penertiban kendaraan over dimension over loading (ODOL).
“Kalau bisa bayar, maka bisa lewat. Praktik ini terjadi bertahun-tahun dan dianggap biasa. Inilah salah satu bentuk pungli yang sudah menjadi budaya dalam sistem logistik kita,” tegas Djoko.
Pungli ini tidak hanya terjadi di jalan, tetapi juga menyusup hingga ke pusat-pusat distribusi logistik. Oknum-oknum yang terlibat kerap melakukan pembiaran terhadap kendaraan ODOL selama ada imbalan, baik dalam bentuk uang tunai maupun bentuk lain. Imbasnya, regulasi menjadi lumpuh di lapangan.
Penertiban ODOL Tak Akan Efektif Tanpa Bersih-bersih Sistem
Djoko menilai, jika pemerintah serius menertibkan ODOL, langkah pertama yang harus dilakukan adalah membersihkan praktik pungli di jalur logistik. Penegakan hukum yang adil dan bebas dari transaksi gelap akan membuat aturan berjalan efektif.
“Banyak kendaraan yang seharusnya tidak lolos uji KIR, tapi karena membayar, tetap bisa jalan. Sistem pengawasan kita bocor karena mentalitas pungli masih subur,” ujarnya.
Ia juga menambahkan bahwa selama sistem ini dibiarkan, para pengusaha dan sopir akan terus memilih jalan pintas. “Dengan membayar, mereka bisa hindari sanksi, padahal jelas-jelas melanggar. Ini membunuh semangat penegakan hukum dan merugikan negara dalam jangka panjang,” tutur Djoko.(*)