KABARBURSA.COM - Keputusan Indonesia untuk bergabung dengan blok ekonomi BRICS, disambut baik oleh para pengamat perbankan. Mereka menilai, keterlibatan Indonesia ini dapat mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap pergerakan ekonomi Amerika Serikat dan menguatkan rupiah karena tidak lagi tertekan fluktuasi dolar AS.
BRICS diisi oleh beberapa negara seperti Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan. Indonesia sendiri adalah anggota kesepuluh dari BRICS. Bergabungnya Indonesia diumumkan oleh pemerintahan Brasil selaku pemegang kepemimpinan blok, setelah sebelumnya mendapatkan persetujuan anggota lainnya.
Pengamat perbankan Paul Sutaryono, mengatakan langkan yangbdiambil pemerintah sangat strategis untuk mengurangi ketergantungan pada mata uang dolar AS dalam perdagangan internasional.
BRICS mendorong anggotanya untuk menggunakan mata uang lokal dalam berbagai transaksi perdagangan melalui mekanisme Local Currency Transactions (LCT).
“Dengan LCT, negara-negara anggota tidak perlu melakukan konversi mata uang lokal ke dolar AS, sehingga dapat lebih hemat dan efisien,” kata Sutaryono kepada Kabarbursa.com saat dihubungi melalui sambungan seluler di Jakarta, Rabu, 8 Januari 2025.
Sebelumnya, Indonesia telah menjalin kerja sama serupa dengan Thailand, Jepang, Malaysia, China, dan Korea Selatan.
Namun, transisi penuh dari dolar AS ke mata uang lokal tidak bisa dilakukan dalam waktu dekat. Menurut Sutaryono, masih ada beberapa tekanan, seperti tekanan geopolitik yang cukup besar.
Salah satunya adalah ancaman dari Presiden AS Donald Trump, yang berencana memberlakukan tarif impor hingga 100 persen pada barang-barang dari negara anggota BRICS, terhitung sejak ia dilantik menjadi jikaPresiden AS, yaitu pada 20 Januari 2025.
“Jika ancaman ini terwujud, ekspor negara-negara BRICS, termasuk Indonesia bisa tertekan secara signifikan,” ujar dia.
Sementara itu, pengamat dan praktisi sistem pembayaran Arianto Muditomo, berharap akan banyak inovasi di bidang sistem pembayaran lintas negara saat Indonesia bergabung dengan BRICS.
Koordinasi kebijakan moneter antar anggota BRICS akan menjadi tantangan, karena perbedaan prioritas ekonomi domestik masing-masing negara.
“Meski demikian, Indonesia dapat mengambil peran strategis dengan mendorong peningkatan volume perdagangan antar anggota melalui mekanisme pembayaran bilateral atau multilateral yang lebih efisien,” jelas Arianto.
Strategi de-dolarisasi yang diusung BRICS juga menjadi perhatian penting. Penggunaan mata uang lokal dalam transaksi internasional diyakini dapat mengurangi tekanan terhadap nilai tukar rupiah akibat fluktuasi dolar AS.
Namun, Arianto menekankan bahwa proses ini harus dilakukan secara bertahap dan hati-hati.
“Diperlukan infrastruktur finansial yang memadai dan mekanisme penyeimbang untuk menjaga stabilitas ekonomi domestik selama transisi ini,” jelasnya.
Sebagai bagian dari upaya integrasi ekonomi, Indonesia juga memiliki peluang untuk mengadopsi sistem pembayaran lintas batas yang lebih terintegrasi dalam kerangka kerja BRICS. Hal ini sejalan dengan visi Blueprint Sistem Pembayaran Indonesia 2030 (BSPI 2030), yang menekankan pengembangan sistem pembayaran berbasis teknologi digital yang efisien dan inklusif.
Melalui kerja sama ini, Indonesia dapat mengambil inspirasi dari keberhasilan sistem pembayaran seperti RuPay (India), UnionPay (China), dan MIR (Rusia).
“Jika Indonesia mampu mengembangkan dan memperluas penggunaan GPN (Gerbang Pembayaran Nasional) ke tingkat global, ini tidak hanya akan meningkatkan efisiensi transaksi lintas negara tetapi juga memperkuat posisi Indonesia dalam arsitektur sistem pembayaran global,” kata Arianto.
Sementara, Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Yuliot Tanjung merespon terkait pengakuan resmi Indonesia sebagai anggota penuh BRICS atau singkatan dari Brazil, Russia, India, China, dan South Africa. Dia menyatakan bahwa keputusan Indonesia untuk bergabung dengan BRICS merupakan langkah strategis yang bertujuan memanfaatkan potensi pasar.
“Kami lagi pelajari dampaknya. Tapi, dengan keputusan kita (Indonesia) masuk BRICS itu adalah dalam rangka pemanfaatan pasar,” ujar Yuliot saat ditemui usai acara peresmian Perizinan Air Tanah di Gedung Kementerian ESDM, di Jakarta, Rabu 8 Januari 2025.
Yuliot menyebut negara-negara seperti India dan China yang memiliki populasi besar dan pasar yang potensial menjadi salah satu acuan Indonesia untuk masuk dalam pasar ekspor BRICS. “Tapi dampaknya itu nanti ini pemerintah secara komprensif sudah memikirkan,” katanya.
Pernyataan tersebut hampir senada dengan Wakil Ketua Komisi I DPR RI Ahmad Heryawan. Ia menilai keikutsertaan Indonesia dalam BRICS memberi peluang strategis untuk memperluas ruang peran internasional.
Ia menyoroti potensi organisasi antarpemerintah yang terdiri atas Brasil, Rusia, India, China, Afrika Selatan, Iran, Mesir, Etiopia, Uni Emirat Arab, dan Indonesia itu, sebagai kekuatan ekonomi yang sangat besar. Negara-negara anggota BRICS memiliki lebih dari 3,27 miliar penduduk dan pada tahun 2023, porsi ekonomi mereka mencapai sekitar 35 persen dari produk domestik bruto (PDB) dunia.
Dengan latar belakang ini, ia menilai bahwa Indonesia bisa memanfaatkan hubungan ini untuk memperluas pasar dan menarik investasi guna mendukung pertumbuhan ekonomi.(*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.