Logo
>

Utang Pemerintah Tekan Sektor Likuiditas Perbankan

Ditulis oleh Deden Muhammad Rojani
Utang Pemerintah Tekan Sektor Likuiditas Perbankan
lustrasi utang pemerintah.

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Director PT Reliance Sekuritas Indonesia Tbk Reza Priyambada, menyebut proyeksi rasio utang pemerintah dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 12 Tahun 2025 yang berada di kisaran 39,01 persen - 39,10 persen dari PDB dapat berdampak pada sektor perbankan. Kondisi ini berpotensi mempengaruhi likuiditas serta permintaan kredit, terutama jika penerimaan negara mengalami pelemahan.

    Reza menjelaskan, dampak terhadap likuiditas perbankan sangat bergantung pada tingkat permintaan kredit di masyarakat. Jika daya beli masyarakat meningkat, permintaan kredit juga diperkirakan akan tumbuh. Namun, faktor lain seperti kebijakan suku bunga kredit oleh perbankan juga memainkan peran penting.

    “Jika bank menahan tingkat suku bunga kreditnya atau justru melonggarkan kebijakan kredit, maka akan berpengaruh pada likuiditas di masyarakat,” kata Reza kepada Kabarbursa.com melalui sambungan telepon, Senin, 3 Maret 2025.

    Dampak lainnya adalah pada efektivitas belanja negara. Jika alokasi belanja diarahkan pada proyek infrastruktur dan manufaktur yang berdampak langsung terhadap perekonomian masyarakat, maka daya beli masyarakat bisa meningkat. 

    Dengan meningkatnya konsumsi dan aktivitas ekonomi, pemerintah juga dapat mengoptimalkan penerimaan pajak yang kemudian dapat memperkuat APBN.

    Dampak terhadap Profitabilitas dan Risiko Kredit Macet

    Sementara itu, tekanan fiskal yang meningkat dan potensi kebijakan pajak yang lebih agresif untuk meningkatkan penerimaan negara bisa berdampak pada profitabilitas perbankan. Beban pajak yang lebih tinggi dapat menekan daya beli masyarakat dan sektor usaha, yang berpotensi meningkatkan risiko kredit macet (NPL) di sektor riil.

    Namun, kata Reza, jika belanja pemerintah disalurkan ke bank-bank BUMN untuk pendanaan kredit bagi masyarakat dan sektor usaha, maka dampaknya bisa lebih positif. 

    “Jika belanja pemerintah digunakan untuk mempercepat penyaluran kredit produktif, maka potensi risiko kredit macet dapat ditekan karena akan mendukung pertumbuhan ekonomi,” jelasnya.

    Meski demikian, perbankan tetap harus melakukan mitigasi risiko dengan memperhitungkan potensi ketidakpastian dalam pencairan anggaran proyek pemerintah. 

    Keterlambatan pembayaran termin proyek dapat mengganggu arus kas perbankan, sehingga bank-bank yang memiliki eksposur besar terhadap proyek-proyek pemerintah harus memiliki strategi pengelolaan risiko yang matang.

    Diberitakan Kabarbursa.com, kondisi utang Indonesia setiap tahunnya semakin bertambah, bahkan meski ganti kepemimpinan persoalan tentang pembengkakan utang ini tak kunjung surut.

    Ekonom Bright Institute Awalil Rizky, menjelaskan hutang pemerintah Indonesia saat ini telah mencapai Rp8.801,09 triliun pada akhir 2024 berdasarkan data Statistik Sistem Keuangan Indonesia (SSKI) Bank Indonesia.

    Menurut dia, persoalan utama bukan hanya pada besarnya angka utang, tetapi lebih pada beratnya beban pembayaran.

    “Masalah utang pemerintah Indonesia terutama bukan pada besarnya posisi utang atau rasionya terhadap Produk Domestik Bruto atau PDB, tetapi lebih pada beratnya beban utang yang harus dibayar,” ujar Awalil.

    Menurutnya, beban pembayaran utang semakin meningkat, baik dari sisi pokok maupun bunga. Rasio pembayaran bunga utang terhadap pendapatan negara mencapai 17,80 persen pada 2024, jauh di atas rekomendasi International Monetary Fund atau IMF yang berkisar 7 sampai 10 persen.

    Sementara itu, rasio total beban utang terhadap pendapatan negara mencapai 45,65 persen, hampir dua kali lipat dibandingkan 2014 yang hanya 18,99 persen.

    Faktor utama penambahan utang, lanjut Awalil, disebabkan oleh defisit anggaran yang pada realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau APBN 2024 mencapai Rp507,80 triliun, pengeluaran pembiayaan pemerintah, serta perubahan nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing.

    Awalil menyoroti produktivitas utang yang rendah. Ia menjelaskan bahwa kenaikan utang tidak sebanding dengan peningkatan pendapatan negara maupun pertumbuhan ekonomi. 

    “Laju pertumbuhan ekonomi pada era pemerintahan saat ini hanya rata-rata 4,13 persen per tahun, lebih rendah dibandingkan era sebelumnya yang mencapai 5,69 persen,” ucap dia.

    Selain itu, nilai aset tetap pemerintah juga tidak bertambah secara signifikan meskipun utang terus meningkat. Data menunjukkan bahwa sejak 2019, aset tetap pemerintah hampir stagnan, hanya bertambah 0,11 persen dalam empat tahun.

    "Jika utang digunakan untuk pembangunan, seharusnya ada peningkatan aset yang lebih besar,” kata Awalil.

    Dengan tren ini, Awalil mengingatkan bahwa pemerintah perlu lebih berhati-hati dalam mengelola utang, terutama dalam menjaga keseimbangan antara utang, pendapatan negara, dan pertumbuhan ekonomi.

    “Jika beban utang semakin berat sementara manfaatnya tidak sebanding, maka keberlanjutan fiskal bisa menjadi tantangan besar ke depan,” ujar dia.

    Dia khawatir beban hutang mulai 2025 ini juga akan mempengaruhi kinerja ekonomi di Indonesia, jika tidak seimbang maka akan memicu permasalahan di masa mendatang. 

    Selain hutang, permasalahan seperti sentimen global, perang dagang antara Amerika Serikat dan China, pelemahan suku bunga, hingga rupiah yang terus melemah juga dikhawatirkan memperparah kondisi Indonesia. (*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Deden Muhammad Rojani

    Vestibulum sagittis feugiat mauris, in fringilla diam eleifend nec. Vivamus luctus erat elit, at facilisis purus dictum nec. Nulla non nulla eget erat iaculis pretium. Curabitur nec rutrum felis, eget auctor erat. In pulvinar tortor finibus magna consequat, id ornare arcu tincidunt. Proin interdum augue vitae nibh ornare, molestie dignissim est sagittis. Donec ullamcorper ipsum et congue luctus. Etiam malesuada eleifend ullamcorper. Sed ac nulla magna. Sed leo nisl, fermentum id augue non, accumsan rhoncus arcu. Sed scelerisque odio ut lacus sodales varius sit amet sit amet nibh. Nunc iaculis mattis fringilla. Donec in efficitur mauris, a congue felis.