KABARBURSA.COM - Pengamat pasar mata uang dan komoditas Ibrahim Assuaibi menilai kucuran dana Rp200 triliun untuk perbankan menjadi kredit berpotensi melanggar konstitusi.
“Ada tiga undang-undang sekaligus berbau politis agar mendapat simpati publik,” kata Ibrahim dalam keterangannya, Selasa, 16 September 2025.
Ibrahim menjelaskan, gebrakan Menteri Keuangan (Menkeu) dengan mengucurkan dana Rp200 triliun dana yang mengendap di Bank Indonesia untuk disalurkan ke perbankan menjadi kredit awalnya direspons positif oleh pasar.
Ia mengkhawatirkan kredit yang akan digelontorkan oleh perbankan ke perusahaan rawan disalahgunakan. Terlebih lagi, kata dia, kondisi ekonomi global sedang tidak baik-baik saja dan berpotensi berimbas terhadap ekonomi domestik.
Menurutnya, saat ini pihak perbankan juga sedang mengupayakan agar kredit yang dicairkan tidak menimbulkan gagal bayar dan meningkatkan Non-Performing Loan (NPL).
“Saat ini banyak projek-projek yang mangkrak akbibat daya beli masyarakat yang terus menurun, apalagi banyak nantinya yang akan menyalahgunakan dana projek tersebut, misal kasus kredit fiktif eddy tansil sebesar Rp1,3 triliun pada era 90-an jangan sampai terulang lagi,” ujarnya.
Harus Melalui Proses Legislasi
Ibrahim menilai, proses pengucuran dana harusnya dimulai dari proses legislasi yang baik atau melalui APBN. Pengajuannya juga harus dilakukan secara sistematis, baik menyangkut jumlah yang diperlukan dan program apa saja yang dijalankan.
Karena, proses penyusunan, penetapan dan alokasi APBN diatur oleh UUD 1945 Pasal 23, UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara, dan UU APBN setiap tahun.
“Prosedur resmi dan aturan main ketatanegaraan harus dijalankan karena anggaran negara masuk ke dalam ranah publik, bukan anggaran privat atau perusahaan. Proses kebijakan yang benar harus dijalankan berdasarkan aturan main, sebab jika tidak akan menjadi preseden anggaran publik dipakai seenaknya di masa mendatang,” ujarnya.
Ia meminta para pejabat negara harus menaati aturan dan menjalankan kebijakan sesuai rencana kerja pemerintah (RKP), yang datang dari Kementerian Lembaga dan pemerintah daerah, sehingga tidak ada program yang datang di tengah-tengah semaunya. (*)