KABARBURSA.COM - Pengamat otomotif Yannes Martinus Pasaribu berpendapat, perang dagang Amerika Serikat (AS) dan China tidak hanya membawa dampak bagi sektor otomotif saja, tapi juga di sektor lainnya serta berpengaruh ke ekonomi Indonesia.
“Perang dagang AS-China dijamin akan meningkatkan ketidakpastian ekonomi global yang mengancam stabilitas ekonomi Indonesia melalui beberapa mekanisme,” kata Yannes kepada Kabar Bursa, Minggu, 1 Desember 2024.
Disrupsi perdagangan dan investasi, kata Yannes, berpotensi memperlambat pertumbuhan ekonomi Indonesia yang sangat rentan terhadap penurunan permintaan ekspor dari China dan AS. Menurutnya, kedua negara ini merupakan mitra dagang utama Indonesia di berbagai sektor, termasuk otomotif.
Akademisi dari Institut Teknologi Bandung (ITB) ini mengungkapkan bahwa ketergantungan Indonesia kepada ekspor komoditas batu bara, minyak kelapa sawit ke dua negara tersebut cukup tinggi.
“Ketergantungan yang tinggi pada ekspor komoditas ke China membuat Indonesia rentan terhadap goncangan ekonomi eksternal, terutama yang berasal dari China. Hal ini akan meningkatkan kerentanan terhadap penurunan permintaan,” jelasnya.
Penurunan permintaan dari China dapat berdampak negatif ke Indonesia karena mengancam devisa negara. Pelambatan ekonomi China mempengaruhi tingkat permintaannya kepada komoditas dari Indonesia.
“Ketergantungan nyaris semua industri yang ada di Indonesia pada komponen impor dipastikan akan semakin menciptakan kerentanan serius yang berpotensi fatal,” ujarnya.
Efek Gangguan Rantai Pasok
Perang dagang AS-Tiongkok, kata dia, mengakibatkan gangguan rantai pasok global dan menghambat pasokan komponen vital banyak pabrik atau pusat produksi yang ada di Indonesia.
Masalah yang ditimbulkan akibat perang dagang adalah gangguan produksi industri domestik di sektor manufaktur. Selain itu, kelangkaan komponen menghambat penghentian produksi, kenaikan biaya dan berkurangnya daya saing. Masalah tersebut, kata dia, menghambat pertumbuhan ekonomi dan keberlanjutan industri dalam negeri.
“Ketidakpastian dan gejolak pasar keuangan global mengancam stabilitas ekonomi Indonesia. Fluktuasi nilai tukar yang tajam dapat memicu depresiasi rupiah, meningkatkan biaya impor dan memicu inflasi yang serius,” ujarnya.
Efek domino dari perang dagang AS-Tiongkok juga mengakibatkan ketidakpastian ekonomi global dan mengurangi minat investor sehingga menghambat arus modal masuk serta menekan investasi.
“Kondisi ini berpotensi memperlambat pertumbuhan ekonomi dan menciptakan ketidakstabilan makroekonomi yang berdampak serius bagi kesejahteraan dan kemajuan Indonesia. Pertumbuhan ekonomi terhambat, investasi menurun, dan pengangguran meningkat. Inflasi meninggi mengikis daya beli, memperburuk kemiskinan, dan memicu berbagai ketimpangan sosial,” jelasnya.
Peluasan Pasar Ekspor
Yannes menilai, Indonesia tidak dapat tinggal diam menghadapi ancaman perang dagang kedua negara. Menurutnya, pemerintah harus mengambil langkah dengan memperluas pasar ekspor ke negara-negara baru.
Kemudian hal yang tidak kalah penting adalah mencari komoditi alternatif yang dapat diekspor ke negara-negara baru. Hal ini dilakukan untuk mengurangi ketergantungan ekspor ke AS dan China.
Selain itu, hal lain yang perlu dilakukan adalah melakukan hilirisasi industri untuk meningkatkan nilai tambah dan mengurangi ketergantungan.
“Indonesia harus segera memperkuat industri komponen dalam negeri untuk menyuplai kebutuhan industri dalam negeri dan memperkuat industri dalam negeri untuk membangun pasar sirkular dalam negeri,” ujarnya.
Karena, menurutnya, stabilitas makroekonomi harus dijaga dengan mengendalikan inflasi dan menarik investasi. Kerja sama internasional dengan negara lain yang memiliki potensi ekonomi baru dapat menjamin akses pasar dan pasokan dan menjaga stabilitas ekspor-impor serta mendorong ekonomi Indonesia yang berbasis industri dalam negeri.
Ancaman PPN 12 Persen
Selain perang dagang, masalah ekonomi yang dihadapi Indonesia adalah ketika pemerintah resmi menerapkan PPN 12 persen. Menurutnya, peningkatan PPN 12 persen pada 2025 bakal mengakibatkan dampak yang kompleks.
“Kompleksitas interaksi antara kebijakan penahanan suku bunga dan kenaikan PPN terhadap industri otomotif nasional terletak pada dinamika yang saling memengaruhi antara faktor makro ekonomi dan mikro ekonomi,” kata Yannes kepada Kabarbursa.com, beberapa waktu lalu.
Menurutnya, penurunan suku bunga berpotensi meningkatkan daya beli masyarakat. Sementara, untuk kenaikan PPN 12 persen, justru menggerus daya beli.
Sedangkan untuk faktor lain seperti tingkat inflasi, ketersediaan komponen dan harga bahan bakar berperan menentukan kinerja industri otomotif. Menurutnya, dampak akhir dari kedua kebijakan tersebut membuat kinerja industri otomotif sulit diprediksi dan bergantung kepada kombinasi dari berbagai variabel.
“Secara lebih spesifik, kompleksitas ini muncul karena sisa konsumen middle income class yang masih memiliki daya beli dan preferensi yang beragam serta responsif terhadap perubahan kondisi ekonomi,” jelasnya.
Sementara itu, kenaikan harga produk otomotif mendorong konsumen mencari alternatif, namun suku bunga yang rendah justru mendorong masyarakat berkeinginan membeli mobil baru.
Terlebih lagi, industri otomotif masih harus dihadapkan kepada perkembangan ekonomi global, konflik geopoliti dan fluktuasi nilai tukar memberi dampak tidak langsung kepada industri otomotif dalam negeri.
“Ketika PPN naik, secara otomatis harga jual kendaraan juga akan meningkat. Hal ini akan berdampak langsung kepada daya beli konsumen. terutama bagi konsumen dengan anggaran terbatas, kenaikan harga yang cukup signifikan membuat mereka (konsumen) menunda atau membatalkan niat beli kendaraan baru,” jelasnya. (*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.