KABARBURSA.COM - Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto mengatakan, kolaborasi yang inklusif menjadi landasan utama Indonesia dalam membangun kerja sama global, termasuk dengan OECD dan CPTPP.
Menurutnya, Indonesia terus menunjukkan peran strategisnya di panggung internasional melalui berbagai kerja sama ekonomi global.
Sebagai negara non-blok, pendekatan Indonesia dalam memperkuat posisi ekonomi kian menonjol, termasuk melalui kemitraan dengan negara-negara BRICS, Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), hingga Comprehensive and Progressive Agreement for Trans-Pacific Partnership (CPTPP).
“Indonesia sendiri adalah negara non-aliansi, oleh karena itu, sebenarnya dengan negara BRICS. Kami telah bekerja dengan China, dengan Brasil, dengan India, termasuk beberapa SEPA dan FDA Eurasia. FTA juga sedang dalam proses. Jadi tidak ada hal baru bagi semua negara BRICS bahwa mereka dekat dengan Indonesia,” kata Airlangga dalam acara Business Competitiveness Outlook 2025 di Jakarta, Senin, 13 Januari 2025.
Dukungan Jepang dan AS
Salah satu pencapaian penting dalam diplomasi ekonomi adalah dukungan dari Amerika Serikat dan Jepang terkait upaya Indonesia untuk bergabung dengan OECD dan CPTPP. Menurut Airlangga, langkah ini akan membuka peluang lebih besar bagi Indonesia untuk terlibat dalam perdagangan global dan memperkuat stabilitas ekonomi domestik.
“Indonesia sendiri sedang dalam proses untuk bergabung dengan OECD, dan bahkan selama pertemuan Presiden di Washington, AS mendukung keanggotaan Indonesia di OECD, serta dalam memulai CPTPP. Pemerintah Jepang juga mendukung kedua inisiatif tersebut untuk memastikan bahwa Indonesia dapat menjadi anggota CPTPP, serta anggota OECD,” ungkapnya.
Namun, Airlangga mengakui, proses ini penuh tantangan, terutama dalam memenuhi standar internasional seperti transparansi ekonomi dan penyesuaian kebijakan domestik agar sejalan dengan persyaratan global. Meski demikian, pemerintah optimis bahwa Indonesia mampu memenuhi standar tersebut.
Indo-Pasifik dan Stabilitas Regional
Selain itu, Indonesia juga aktif dalam kerangka kerja ekonomi Indo-Pasifik, yang menegaskan komitmen negara dalam menjaga stabilitas dan menarik investasi di kawasan tersebut.
“Kita telah menandatangani tiga dari empat pilar kerangka kerja ekonomi Indo-Pasifik dan Presiden telah menandatangani ratifikasi tersebut,” jelas Airlangga.
Dalam pandangan Airlangga, stabilitas kawasan Indo-Pasifik dan ASEAN menjadi faktor kunci dalam mendorong investasi global, terutama di tengah ketidakpastian geopolitik dunia.
“Jika melihat geopolitik, kawasan mana yang memberikan kedamaian dan stabilitas di luar ASEAN atau Indo-Pasifik? Anda lihat Eropa, mereka memiliki banyak, masih memiliki banyak masalah dengan Ukraina. Dan, tentu saja, di Timur Tengah, sejauh ini tidak ada perdamaian,” tuturnya.
Ketergantungan Terhadap China
Sementara itu, Peneliti Ekonomi dari Center for Economic and Law Studies (CELIOS) Bakhrul Fikri melihat ada ketergantungan Indonesia dengan China dalam hal ekonomi di balik upaya bergabung dengan BRICS. Menurutnya, ketergantungan ini bukan tanpa risiko jika Donald Trump kembali terpilih menjadi Presiden Amerika Serikat.
Menurutnya, kebijakan proteksionisme yang sering diterapkan oleh Trump dapat berimbas negatif bagi negara-negara anggota BRICS, termasuk Indonesia.
“Ketergantungan yang semakin besar pada China harus diwaspadai. Apalagi dengan potensi terpilihnya kembali Trump, yang kemungkinan besar akan melanjutkan kebijakan proteksionisme. Jika AS memberlakukan tarif tinggi pada negara-negara anggota BRICS, maka Indonesia pun akan merasakan dampaknya, terutama pada produk-produk yang bergantung pada pasar Amerika,” jelas Bakhrul kepada kabarbursa.com, di Jakarta, Jumat, 10 Januari 2025.
Menurutnya, kebijakan tersebut akan menyebabkan penurunan tajam dalam volume ekspor Indonesia, terutama yang mengarah ke pasar AS. Ini bisa menjadi tantangan besar bagi perekonomian Indonesia dalam jangka pendek hingga menengah.
Dalam menghadapi ketidakpastian global, Bakhrul mengingatkan agar Indonesia tidak terlalu bergantung kepada satu negara atau satu blok ekonomi. Ia menegaskan bahwa diversifikasi mitra ekonomi, khususnya melalui kerja sama bilateral dengan berbagai negara, merupakan langkah penting untuk menjaga stabilitas ekonomi nasional.
“Indonesia perlu menggali lebih banyak peluang kerja sama bilateral, tidak hanya bergantung pada BRICS atau China. Dengan menjalin lebih banyak kemitraan, Indonesia akan lebih tangguh menghadapi ketidakpastian ekonomi global dan tidak terlalu terfokus pada satu negara,” kata Bakhrul.
Ia juga menyoroti bahwa meskipun BRICS memiliki potensi besar dalam kerja sama multilateral, terlalu bergantung pada satu negara dominan tetap berisiko. Oleh karena itu, Indonesia harus lebih selektif dalam memilih sektor strategis untuk bekerja sama dengan negara-negara anggota BRICS lainnya, seperti Brasil dan Afrika Selatan.
Menurut Bakhrul, keanggotaan Indonesia dalam BRICS sebaiknya tidak hanya terfokus pada hubungan ekonomi dengan China, tetapi juga pada pengembangan sektor-sektor yang memberikan manfaat jangka panjang. Salah satu sektor yang disarankan adalah investasi hijau dan transisi energi bersih, yang saat ini menjadi prioritas global.
“Kerja sama di sektor investasi hijau dan energi bersih dengan negara-negara seperti Afrika Selatan dapat menjadi peluang besar bagi Indonesia untuk mengurangi ketergantungan pada sektor ekstraktif dan beralih menuju ekonomi yang lebih berkelanjutan,” jelas Bakhrul. (*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.