KABARBURSA.COM - Harga batu bara kembali berada dalam tekanan pada perdagangan Kamis (21/8/2025), seiring turunnya permintaan listrik berbasis energi fosil di China. Newcastle, sebagai acuan global, mencatat pelemahan beruntun di hampir semua kontrak.
Kontrak Agustus terkoreksi USD0,9 menjadi USD110,6 per ton, September anjlok USD1,4 ke USD110,1 per ton. Sementara, kontrak Oktober melemah lebih dalam USD1,7 ke USD110,9 per ton.
Pola serupa juga terlihat pada batu bara Rotterdam, dengan harga Agustus melemah USD0,6 ke USD100,4 per ton, September terpangkas USD1,3 ke USD100,4, dan Oktober terkoreksi USD1,15 ke USD101,25 per ton.
Dari sisi fundamental, data Trading Economics menunjukkan penurunan signifikan pada produksi listrik berbasis batu bara di China, yang selama kuartal I-2025 merosot 4,7 persen secara tahunan. Penurunan ini dipicu melemahnya konsumsi listrik serta kian agresifnya penetrasi energi terbarukan di Negeri Tirai Bambu.
Kondisi ini membuat harga batu bara sulit bangkit meski secara bulanan masih mencatatkan kenaikan tipis 0,45 persen. Secara tahunan, harga komoditas ini justru sudah anjlok 24,63 persen dibanding periode sama tahun lalu, jauh dari puncaknya pada September 2022 ketika sempat menyentuh US$457,80 per ton.
Teknikal Tunjukkan Tekanan Jual
Secara teknikal, sinyal tekanan jual terlihat dominan. Indikator-indikator utama seperti RSI berada di level 4,96 yang menandakan kondisi jenuh jual ekstrem. Stochastic RSI bahkan mencatat angka nol, memperkuat gambaran lemahnya momentum beli.
MACD juga menunjukkan tren negatif dengan nilai -2,35, sementara indikator Williams %R dan Ultimate Oscillator sama-sama mengindikasikan kondisi oversold. Hampir seluruh moving average dari jangka pendek hingga panjang berada pada posisi jual, dengan MA5 hingga MA200 semuanya menandakan tren turun yang konsisten.
Rangkuman teknikal maupun moving average sama-sama menyimpulkan status “sangat jual,” memperlihatkan tekanan masih kuat.
Kombinasi faktor fundamental dan teknikal tersebut membuat outlook harga batu bara dalam jangka pendek cenderung tertekan, dengan potensi pergerakan sideways di kisaran USD110 per ton sebelum ada katalis baru.
Kendati proyeksi Trading Economics memperkirakan harga bisa stabil di USD111,82 per ton pada akhir kuartal ini dan bahkan berpotensi pulih menuju USD114,32 dalam 12 bulan ke depan, tekanan jangka pendek masih berat akibat pelemahan permintaan global dan beralihnya konsumsi energi ke sumber terbarukan.
Dalam kondisi seperti ini, rekomendasi teknikal jelas condong pada posisi jual, setidaknya hingga muncul tanda pembalikan arah atau katalis positif dari sisi permintaan maupun kebijakan energi di negara konsumen utama.(*)