KABARBURSA.COM - Harga batu bara kembali mengalami tekanan pada perdagangan Kamis waktu setempat, 11 September 2025, dengan kontrak ICE Newcastle untuk pengiriman bulan depan ditutup di level USD100,9 per ton.
Penurunan 1,51 persen tersebut membawa harga batu hitam ke posisi terendah dalam lebih dari tiga bulan terakhir, tepatnya sejak akhir Mei. Koreksi ini sekaligus menandai penurunan empat hari berturut-turut dengan total pelemahan mencapai 6,18 persen, sementara dalam sebulan terakhir harga sudah terkikis hampir 10 persen.
Tekanan utama datang dari melemahnya permintaan, terutama dari China yang merupakan konsumen terbesar batu bara dunia. Data otoritas kepabeanan negeri itu menunjukkan impor batu bara pada periode Januari–Juli 2025 anjlok 13 persen dibanding tahun sebelumnya.
Penurunan paling tajam terlihat pada impor dari Indonesia yang merosot 18 persen secara tahunan, sementara impor dari Mongolia turun 5 persen dan dari Australia berkurang 4 persen. Kondisi ini memperlihatkan bahwa melambatnya konsumsi energi di China masih menjadi faktor dominan yang membebani pasar global.
Apa yang terjadi di China, dengan kapasitas industri dan kebutuhan energinya, selalu menjadi penentu harga komoditas ini.
Secara teknikal, batu bara kini sudah masuk ke wilayah bearish yang dalam. Relative Strength Index (RSI) harian berada di level 16, jauh di bawah batas 30 yang menandakan kondisi jenuh jual. Bahkan indikator Stochastic RSI sudah menyentuh titik nol, level terendah yang menunjukkan tekanan jual ekstrem.
Situasi ini, meski mencerminkan lemahnya tren, sekaligus membuka ruang bagi kemungkinan terjadinya technical rebound.
Analis teknikal melihat pivot point di USD102 per ton sebagai area kunci yang harus diperhatikan. Jika harga mampu menembusnya, peluang untuk menguji resisten awal di USD104 per ton terbuka lebar, dengan level lanjutan di kisaran USD106–108 per ton.
Target optimistis bahkan menempatkan USD112 per ton sebagai resisten terjauh. Namun, bila tekanan jual berlanjut, harga terancam menembus support di USD96 per ton, yang jika gagal dipertahankan bisa melongsorkan harga lebih dalam ke USD93 per ton.
Kondisi saat ini menempatkan batu bara dalam persimpangan. Sentimen fundamental dari lemahnya impor China masih membayangi, tetapi tekanan jual yang begitu besar juga memberi ruang bagi aksi pantulan jangka pendek.
Investor dan pelaku pasar energi kini menanti apakah batu bara akan mencatat penurunan lima hari beruntun, atau justru menemukan tenaga untuk bangkit dari level jenuh jual.
Yang jelas, dinamika permintaan China akan tetap menjadi faktor penentu utama, sementara faktor teknikal hanya menjadi pemicu jangka pendek dalam pergerakan harga.(*)