Logo
>

Perspektif Beragam terhadap Likuiditas Perbankan Indonesia

Ditulis oleh Syahrianto
Perspektif Beragam terhadap Likuiditas Perbankan Indonesia

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Kondisi likuiditas perbankan di Indonesia sekarang membuat sejumlah pihak seperti Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan para bankir silang pendapat.

    Pertama, menurut OJK, pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) secara tahunan (year on year/yoy) mulai memperlihatkan kenaikan positif. Akan tetapi masih terpaut jauh bila dibandingkan dengan pertumbuhan kredit.

    Hingga pertengahan tahun ini atau Juni 2024, rentang pertumbuhan DPK dan kredit masih terpaut jauh. Pada periode tersebut, kredit bank naik 12,36 persen, sedangkan DPK masih pada kisaran 8 persen. "Pertumbuhan DPK perbankan meskipun tumbuh lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya, namun pertumbuhannya masih lebih rendah dibandingkan kredit," ujar Dian, Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK.

    Dian menjelaskan bahwa pertumbuhan simpanan bank yang melambat terutama terjadi pada deposito, yang dipengaruhi oleh banyaknya alternatif instrumen penempatan dana. "Perbedaan antara pertumbuhan kredit dan Dana Pihak Ketiga (DPK) menyebabkan bank melakukan penjualan surat berharga dan mengurangi instrumen likuid. Hal ini juga mempengaruhi likuiditas perbankan yang terlihat dari penurunan rasio likuiditas bank," katanya.

    Meskipun demikian, Dian menambahkan bahwa likuiditas bank Indonesia masih jauh di atas ambang batas dan berada pada tingkat yang lebih tinggi dibandingkan sebelum pandemi. Perbandingan alat likuid terhadap non core deposit (AL/NCD) dan alat likuid terhadap DPK (AL/DPK) masing-masing mencapai 114,58 persen dan 25,78 persen per Mei 2024, yang jauh melebihi ambang batas masing-masing 50 persen dan 10 persen.

    Sementara itu, Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan bahwa likuidtas bank per Juni 2024 masih memadai. Hal ini tercermin dari rasio alat likuid terhadap DPK (AL/DPK) sebesar 25,36 persen. "(AL/DPK) lebih dari cukup karena sepanjang historis AL/DPK tidak lebih dari 15 persen, jadi lebih dari cukup," kata Perry dalam konferensi pers Hasil Rapat Dewan Gubernur Bulanan Bulan Juli 2024, dikutip Kamis, 18 Juli 2024.

    Perry mengatakan bahwa likuiditas bank ditopang oleh insentif yang dikeluarkan oleh Bank Sentral. Sepanjang tahun ini, BI telah memberikan insentif likuiditas Rp205 triliun kepada bank yang rajin menyalurkan kredit kepada sektor prioritas. "Sehingga kenapa pertumbuhan kredit tinggi, 12,36 persen yoy (Juni 2024)," tambah Perry.

    Sementara itu DPK, kata Perry, penggalangan dana masyarakat oleh perbankan juga cukup baik. Hal ini terlihat dari DPK yang tumbuh 8,45 persen.

    Selain itu likuiditas perbankan juga ditopang oleh aliran dana asing yang masuk ke Indonesia. "Kalau asing inflow, nambah kan likuiditasnya karena mereka bawa valas ditukar ke rupiah," jelas Perry.

    Perry juga memastikan bahwa keberadaan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia atau SRBI tidak membuat likuiditas di bank-bank saat ini mengering. Dia mengatakan, imbal hasil atau yield SRBI untuk tenor 6, 9, dan 12 bulan per 12 Juli 2024 yang tercatat masing-masing 7,30, 7,39, dan 7,43 persen tak memicu munculnya fenomena crowding out.

    Crowding out itu sendiri merupakan istilah yang menggambarkan terserapnya aliran dana dari pasar keuangan ke salah satu instrumen otoritas, sehingga likuiditas sulit diperoleh oleh pelaku pasar keuangan. "Apakah terjadi crowding out? Jawabannya tidak. Dari sisi SRBI dan SBN, baik dari suku bunga dan juga lelangnya SBN untuk pembiayaan fiskal," kata Perry.

    Beberapa bankir menggarisbawahi tekanan terhadap likuiditas perbankan. Direktur Distribution and Institutional Funding BTN, Jasmin, mengungkapkan bahwa terjadi penurunan daya beli masyarakat yang menyebabkan simpanan tabungan di kisaran Rp100 hingga Rp200 juta mengalami penurunan. Secara keseluruhan, likuiditas perbankan saat ini cukup ketat.

    Selain bersaing dengan bank lain, bank-bank juga harus bersaing dengan instrumen investasi seperti SBN dan SRBI yang diterbitkan oleh Bank Indonesia, yang menawarkan tingkat hasil yang lebih tinggi dibandingkan deposito perbankan.

    Jasmin menambahkan, "Bahkan tingkat hasil SRBI lebih tinggi dari SBN, sehingga ada aliran investasi asing dari SBN ke SRBI."

    Taswin Zakaria, mantan Presiden Direktur PT Maybank Indonesia Tbk (BNII), juga menyampaikan bahwa likuiditas perbankan ketat disebabkan oleh penurunan daya beli dan kecenderungan masyarakat untuk menempatkan dana di luar deposito perbankan. Dia menyoroti bahwa daya beli masyarakat terkikis oleh kenaikan harga barang akibat pelemahan nilai tukar rupiah.

    Di sisi lain, bunga deposito untuk nominal di bawah Rp200 juta cenderung rendah, sehingga dana tersebut mungkin dialihkan ke produk-produk dana murah (CASA). Taswin Zakaria juga mengatakan bahwa ada banyak alternatif lain untuk menempatkan dana masyarakat, selain obligasi.

    "Iklim saat ini menawarkan banyak alternatif penempatan dana di luar perbankan yang menawarkan tingkat bunga yang tinggi, seperti BPR, koperasi, dan fintech yang bersaing untuk menarik dana deposan keluar dari bank," ujarnya.

    Direktur Kepatuhan Bank Oke Indonesia, Efdinal Alamsyah, juga setuju bahwa kombinasi antara penurunan daya beli masyarakat dan pergeseran tren penempatan dana merupakan faktor utama yang menyebabkan penurunan deposito bank. Meskipun demikian, menurutnya, alasan di balik pergeseran dana tersebut belum cukup kuat.

    Sebelumnya, dalam rapat antara bank BUMN dan DPR, ditekankan adanya persaingan sengit dalam likuiditas pasar keuangan Indonesia. Anggota Komisi VI, Jon Erizal, menyatakan bahwa saat ini industri perbankan, khususnya bank-bank milik negara (himbara), bersaing dengan negara dalam pasar obligasi.

    "Ini merupakan hal yang menarik untuk dipertimbangkan bersama, di mana bank-bank himbara bersaing langsung dengan negara. Negara juga menjual obligasi mereka sendiri, sementara bank-bank ini harus mencari dana dengan cara mereka sendiri," ujar Jon.  (*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Syahrianto

    Jurnalis ekonomi yang telah berkarier sejak 2019 dan memperoleh sertifikasi Wartawan Muda dari Dewan Pers pada 2021. Sejak 2024, mulai memfokuskan diri sebagai jurnalis pasar modal.

    Saat ini, bertanggung jawab atas rubrik "Market Hari Ini" di Kabarbursa.com, menyajikan laporan terkini, analisis berbasis data, serta insight tentang pergerakan pasar saham di Indonesia.

    Dengan lebih dari satu tahun secara khusus meliput dan menganalisis isu-isu pasar modal, secara konsisten menghasilkan tulisan premium (premium content) yang menawarkan perspektif kedua (second opinion) strategis bagi investor.

    Sebagai seorang jurnalis yang berkomitmen pada akurasi, transparansi, dan kualitas informasi, saya terus mengedepankan standar tinggi dalam jurnalisme ekonomi dan pasar modal.