KABARBURSA.COM - Kebijakan pemerintah dalam menyepakati pembelian bahan bakar minyak (BBM) Badan Usaha SPBU Swasta ke PT Pertamina (Persero) dianggap menganggu daya saing dalam berdagang.
Sebelumnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menegaskan bahwa Pemerintah bersama Badan Usaha (BU) Minyak dan Gas Bumi yang menjalankan bisnis SPBU naik Pertamina maupun swasta telah menyepakati skema pengaturan impor. Hal ini dilakukan guna menjaga keseimbangan neraca perdagangan sekaligus mengatur pemenuhan kebutuhan bahan bakar bagi masyarakat.
Dari rapat tersebut juga disepakati kolaborasi antara Badan Usaha SPBU Swasta dengan Pertamina untuk melakukan impor BBM berbentuk base fuel (bahan bakar dengan kadar oktan murni tanpa campuran aditif).
"Mereka setuju untuk kolaborasi dengan Pertamina, syaratnya adalah harus berbasis base fuel, artinya belum bercampur-campur. Jadi produknya saja nanti dicampur di masing-masing, tangki di SPBU masing-masing. Ini juga sudah disetujui, ini solusi," kata Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia dalam keterangannya, Jumat, 19 September 2025.
Kendati demikian, rencana penyaluran bensin Pertamina ke SPBU swasta kandas. Vivo Energy Indonesia dan BP-AKR membatalkan rencana pembelian dengan alasan teknis—terutama kandungan etanol sekitar 3,5 persen pada kargo bensin Pertamina.
Kebijakan yang diambil pemerintah tersebut berpotensi menambah risiko pada reputasi Pertamina.
Pengamat BUMN sekaligus Direktur NEXT Indonesia Center, Herry Gunawan mengatakan publik akan melihat kebijakan ini terkait erat dengan upaya perlindungan bisnis Pertamina.
"Sebab seperti disampaikan oleh pejabat Kementerian ESDM, kekhawatirannya adalah pangsa pasar SPBU swasta yang terus naik, dari 11 persen pada tahun 2024, sudah menjadi 15 persen per Juli 2025," kata dia kepada Kabarbursa.com, Jumat, 10 Oktober 2025.
Herry menyatakan perlindungan bagi Pertamina dalam persaingan ini merupakan tindakan yang tidak sehat, karena membatasi hak konsumen untuk mendapatkan pilihan.
"Ini sekaligus membuat Pertamina menjadi manja, karena mendapatkan perlindungan dari pemerintah di era persaingan terbuka," katanya.
Di samping itu, Herry menilai dengan membuka persaingan yang sehat antara Pertamina dengan SPBU swasta, pasar akan menjadi lebih efisien. Dengan ini, para pelaku bisnis sektor ini akan berbenah, baik dari sisi layanan, kualitas produk, maupun harga.
Apa yang Diinginkan Pemerintah dari Kebijakan ini?
Herry berpendapat masalah yang ingin dijaga dari kebijakan ini agar pasar Indonesia tidak dikuasai oleh asing, dalam hal ini tertuju kepada SPBU swasta.
Namun ia menegaskan cara ini kurang tepat, karena pasar akan terus berkembang dan konsumen punya preferensi sendiri dalam menentukan pilihan.
"Pasar tidak dapat didikte oleh pemerintah, termasuk harus beli dari Pertamina. Seharusnya Pertamina memperbaiki diri, terutama dari reputasinya agar konsumen percaya," tutur dia.
Saat ini, lanjut Herry, yang terjadi adalah pemerintah dan Pertamina berhadapan dengan hak konsumen untuk mendapatkan akses ke pasar yang lebih sehat.
Cara yang Harusnya Dilakukan Pemerintah
Herry kemudian membeberkan model lain dalam pembatasan BBM. Seperti, pembatasan bisa dilakukan melalui kepemilikan saham.
"Misalnya, merek SPBU asing yang dapat beroperasi di Indonesia, mayoritas sahamnya harus milik entitas bisnis dalam negeri," ungkapnya.
Cara lain yang diungkap Herry yakni pembatasan jumlah cabang atau gerai SPBU. Selain itu, bisa juga pembatasannya dari sisi wilayah.
"Contoh yang sangat baik adalah sistem pembayaran yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia, yakni QRIS. Ini membuat orang nyaman menggunakan, terpercaya, sekaligus berbiaya murah," pungkasnya.(*)