KABARBURSA.COM – Inovasi bahan bakar baru berbasis jerami bernama Bobibos terus menarik perhatian sejak diluncurkan pada awal November 2025. Produk yang diklaim sebagai BBM beroktan tinggi setara RON 98 ini memicu perbincangan luas, baik di media sosial maupun di ruang publik. Bobibos, singkatan dari Bahan Bakar Original Buatan Indonesia Bos, dipandang sebagai terobosan energi baru terbarukan yang menawarkan kualitas tinggi dengan harga lebih murah dan emisi lebih rendah.
Meski mendapat sorotan positif, Bobibos masih harus melewati uji kelayakan sebelum bisa diproduksi dan dipasarkan secara massal. Uji laboratorium diperlukan untuk memastikan tingkat oktan, kandungan sulfur, hingga karakter emisinya melalui Lemigas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Setelah itu, Gaikindo dapat melakukan uji lapangan dengan mengoperasikan Bobibos pada berbagai jenis kendaraan hingga mencapai standar pengujian 50.000 kilometer.
Pengamat ekonomi energi Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi, menegaskan bahwa proses ini wajib dilalui agar Bobibos mendapat sertifikat kelayakan dari Kementerian ESDM. “Bobibos harus lolos uji laboratorium dan uji lapangan terlebih dahulu jika ingin diproduksi massal,” ujarnya pada Kamis, 20 November 2025. Ia menekankan bahwa sertifikasi baru bisa diberikan setelah dua tahap pengujian itu dinyatakan memenuhi standar.
Namun tantangan terbesar justru berada pada skala produksi dan distribusi. Investasi besar dan kebutuhan jaringan distribusi nasional membuat inovator Bobibos sulit bergerak sendiri. Fahmy menilai keterlibatan perusahaan energi terbesar nasional menjadi faktor penentu. “Pertamina harus ikut turun tangan. Tanpa dukungan penuh, Bobibos akan sulit diproduksi dan dipasarkan,” kata Fahmy.
Menurutnya, Pertamina dapat membantu dari sisi pendanaan hingga distribusi melalui fasilitas penyimpanan dan jaringan SPBU yang tersebar di seluruh Indonesia. Ia menilai potensi bisnis Bobibos cukup menarik, tetapi hanya bisa berkembang jika didukung korporasi dengan modal, infrastruktur, dan pengalaman pengelolaan energi skala besar.
Fahmy juga mengingatkan agar inovasi ini tidak bernasib seperti sejumlah proyek energi alternatif yang gagal di masa lalu. “Jangan sampai Bobibos bernasib seperti blue energy, ramai di awal tapi hilang sebelum berkembang,” ujarnya.
Ia mengatakan dengan momentum perhatian publik yang cukup besar, Bobibos kini berada di titik penting. Jika melewati uji ilmiah dan memperoleh dukungan institusional yang kuat, bahan bakar berbasis jerami ini dapat menjadi alternatif BBM ramah lingkungan hasil inovasi anak bangsa. Tanpa dukungan strategis, terutama dari Pertamina, Bobibos berisiko berhenti hanya sebagai wacana.(*)