KABARBURSA.COM - PT Pertamina Patra Niaga, Subholding Commercial & Trading PT Pertamina (Persero), melakukan penyesuaian harga Bahan Bakar Minyak (BBM) Non-Subsidi Pertamax Series dan Dex Series berlaku pada 1 September 2025.
Penyesuaian harga BBM Non-Subsidi Pertamax Series dan Dex Series per 1 September 2025 di Pulau Jawa dan Bali adalah sebagai berikut:
- Pertamax (RON 92): Rp 12.200/liter
- Pertamax Green (RON 95): Rp 13.000/liter
- Pertamax Turbo (RON 98): Rp 13.100/liter
- Dexlite (CN 51): Rp 13.600/liter
- Pertamina Dex (CN 53): Rp 13.850/liter
Informasi lengkap mengenai harga terbaru BBM Pertamina di seluruh wilayah Indonesia dapat diakses melalui website Pertamina Patra Niaga melalui tautan https://pertaminapatraniaga.com/page/harga-terbaru-bbm atau dapat langsung menghubungi Pertamina Call Center 135.
Fenomena Warga Beralih ke BBM Non Subsidi
Fenomena peralihan konsumsi bahan bakar minyak (BBM) dari subsidi ke non-subsidi yang kini mencapai 1,4 juta kiloliter hingga awal September 2025 mencerminkan perubahan pola konsumsi energi masyarakat Indonesia.
Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menunjukkan pergeseran signifikan ini bukan sekadar persoalan harga, tetapi juga hasil dari kombinasi kebijakan, preferensi kualitas, dan ketersediaan pasokan.
Salah satu pemicu utama adalah penerapan sistem QR Code untuk pembelian BBM subsidi di SPBU Pertamina. Regulasi ini memang ditujukan untuk mempertegas distribusi subsidi agar tepat sasaran, khususnya bagi kendaraan umum dan kelompok yang benar-benar membutuhkan.
Namun, kebijakan tersebut juga mendorong sebagian masyarakat, terutama pemilik kendaraan pribadi, untuk beralih ke BBM non-subsidi. Mereka memilih membayar lebih mahal demi kenyamanan dan kelancaran akses, tanpa harus terikat prosedur tambahan.
Faktor lain yang tidak kalah penting adalah meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap kualitas BBM. Direktur Jenderal Migas, Laode Sulaeman, menekankan bahwa semakin banyak konsumen kini mengutamakan produk dengan RON 90 ke atas, yang dikenal lebih ramah mesin dan efisien.
Pergeseran ini menunjukkan bahwa konsumen semakin paham bahwa kualitas bahan bakar berpengaruh langsung terhadap kinerja kendaraan dan biaya perawatan jangka panjang.
Namun, lonjakan permintaan BBM non-subsidi juga menimbulkan konsekuensi. SPBU swasta seperti Shell dan BP-AKR menghadapi tekanan stok karena volume pembelian meningkat tajam.
Kelangkaan pasokan di beberapa titik pun tidak bisa dihindari. Untuk mengatasi hal ini, pemerintah melalui Kementerian ESDM mendorong SPBU swasta agar menyesuaikan pasokan dengan mengandalkan distribusi dari Pertamina, yang memiliki peran dominan dalam penyediaan BBM nasional.
Laode menegaskan bahwa seluruh BBM yang dijual harus mengikuti standar spesifikasi resmi, sehingga kualitas tetap terjamin meski distribusi ditingkatkan.
Langkah strategis lain yang tengah ditempuh adalah sinkronisasi pola pengadaan antara pemerintah, Pertamina, dan operator SPBU swasta. Pemanggilan para operator swasta sudah dijadwalkan minggu depan untuk memastikan pasokan BBM tidak lagi terlalu bergantung pada impor, sekaligus memperkuat ketahanan energi domestik.
Dengan demikian, peralihan konsumsi BBM non-subsidi ini sesungguhnya menggambarkan dua sisi. Di satu sisi, ada peningkatan kesadaran dan preferensi masyarakat terhadap kualitas energi.
Di sisi lain, perubahan cepat ini menuntut kesiapan distribusi dan strategi pasokan yang lebih adaptif dari pemerintah dan pelaku industri. Jika sinkronisasi pasokan dapat berjalan baik, tren ini berpotensi mempercepat transformasi pasar energi nasional ke arah yang lebih sehat dan berkelanjutan.(Info-bks/*)