Logo
>

Pertumbuhan Kredit Terus Melemah Meski Sudah Diguyur Rp200 Triliun

Kebijakan penempatan dana pemerintah senilai Rp200 triliun di Himbara tidak mampu mengangkat permintaan kredit

Ditulis oleh Ayyubi Kholid
Pertumbuhan Kredit Terus Melemah Meski Sudah Diguyur Rp200 Triliun
Ilustrasi Kebijakan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa. Foto: Dok KabarBursa.com

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, menilai perlambatan pertumbuhan kredit perbankan setelah pelantikan Presiden Prabowo Subianto menjadi sinyal melemahnya aktivitas ekonomi nasional. 

    Ia menyebut tren tersebut berlangsung konsisten meski pemerintah telah menyuntikkan likuiditas besar ke bank-bank milik negara.

    “Perlambatan pertumbuhan kredit terus berlanjut setelah pelantikan Prabowo pada 20 Oktober 2024. Angka tersebut jauh berada di bawah kondisi normal yang sekitar 12 persen,” ujarnya dalam paparannya untuk Tantangan Ekonomi 2026, dikutip Selasa 9 Desember 2025.

    Menurut Wijayanto, kebijakan penempatan dana pemerintah senilai Rp200 triliun di Himbara tidak mampu mengangkat permintaan kredit. Ia menegaskan bahwa stimulus likuiditas itu tidak otomatis menjawab persoalan lemahnya permintaan di sektor riil.

    “Pertumbuhan kredit tetap melambat meskipun pemerintah telah menggelontorkan likuiditas sebesar Rp200 triliun ke Himbara,” katanya.

    Sebagai informasi, Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa telah menempatkan dana Rp 200 triliun itu ke lima bank milik negara sejak 12 September 2025. Bank Mandiri mendapat jatah Rp 55 triliun, Bank Rakyat Indonesia (BRI), Rp 55 triliun, Bank Negara Indonesia (BNI) Rp 55 triliun, Bank Tabungan Negara (BTN) Rp 25 triliun, dan Bank Syariah Indonesia (BSI) Rp 10 triliun.

    Kredit Konsumsi dan Modal Kerja Lesu

    Data yang ia paparkan menunjukkan kredit konsumsi hanya tumbuh sekitar 4 persen, sementara kredit modal kerja berada di kisaran 7 persen. Wijayanto menyebut angka tersebut menggambarkan dua persoalan utama di lapangan.

    “Daya beli masyarakat masih lemah. Dunia usaha belum berencana meningkatkan kapasitas produksi,” tuturnya.

    Ia menilai perlambatan di dua segmen kredit itu menandakan rumah tangga masih berhati-hati berbelanja, sedangkan perusahaan belum melihat prospek permintaan yang cukup kuat untuk menambah investasi.

    Wijayanto memperingatkan bahwa pelemahan sektor riil akan memiliki konsekuensi fiskal dan ketenagakerjaan ke depan.

    “Perlambatan sektor riil ini diperkirakan berdampak pada penurunan penerimaan pajak serta terhambatnya penciptaan lapangan kerja,” ujarnya.

    Tren Penurunan yang Konsisten

    Berdasarkan grafik pertumbuhan kredit (YoY) yang ia rujuk, terlihat bahwa perlambatan mulai terjadi sejak masa pergantian pemerintahan. Pada Januari hingga September 2024, pertumbuhan kredit masih berada di kisaran 11,83 persen–11,00 persen dan bahkan mencapai puncaknya pada Maret 2024 di level 13,09 persen. 

    Namun, ketika memasuki Oktober 2024, awal pemerintahan Prabowo, pertumbuhan kredit turun menjadi 10,85 persen. Sepanjang 2025, tren pelemahan ini berlanjut, turun dari 9,70 persen pada Februari 2025, menjadi 8,70 persen pada Maret 2025, hingga akhirnya menyentuh 7,36 persen pada Oktober 2025.(*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Ayyubi Kholid

    Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.