KABARBURSA.COM – Pemerintah mulai menghidupkan kembali ambisi nuklir. Dua proyek pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) berkapasitas masing-masing 500 megawatt di Kalimantan dan Sumatera resmi masuk dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025–2034.
Langkah ini tak hanya memperkuat fondasi transisi energi, tapi juga memberi sinyal ke pasar modal bahwa sektor konstruksi—khususnya emiten pelat merah—bakal jadi pemain awal dalam proyek raksasa ini.
Pengamat pasar modal Ibrahim Assuaibi menilai langkah ini akan mendorong transformasi energi nasional sekaligus menjadi katalis positif bagi pergerakan saham emiten konstruksi pelat merah di pasar modal.
“Biasanya proyek konstruksi besar seperti ini ditangani oleh perusahaan-perusahaan seperti WIKA, PP, atau emiten plat merah lainnya. Mereka ini notabene pemain yang sudah dipercaya pemerintah, dan punya rekam jejak panjang di proyek infrastruktur,” ujar Ibrahim kepada KabarBursa.com, Rabu, 11 Juni 2025.
Menurutnya, dalam proyek jangka panjang seperti PLTN, fase pembangunan infrastruktur akan menjadi tahap awal sebelum masuk ke instalasi teknologi nuklir. Oleh karena itu, emiten kontraktor menjadi pihak pertama yang akan merasakan dampak positif dari proyek ini.
“Tidak serta-merta langsung ke teknologi. Biasanya dimulai dulu dari pembangunan gedung, akses, fasilitas pendukung lainnya. Di sinilah emiten kontraktor mulai terangkat,” tegasnya.
Ibrahim menyebut perusahaan konstruksi milik negara seperti, Wijaya Karya (WIKA), dan PP (PTPP) sangat mungkin menjadi garda depan dalam pembangunan PLTN. Selain karena kapabilitas teknis, juga karena faktor trust dan jaminan pembayaran dari proyek pemerintah.
“Apalagi saat ekonomi global penuh ketidakpastian, yang paling kuat justru BUMN. Pemerintah juga lebih nyaman menggandeng mereka karena dokumen, legalitas, dan pengalamannya jelas,” katanya.
Ia menambahkan, keterlibatan kontraktor pelat merah dalam proyek PLTN umumnya akan diikuti oleh masuknya kontraktor swasta melalui skema subkontrak.
Menurut Ibrahim, proyek ini berpotensi memberi efek berganda bagi industri konstruksi nasional karena kontraktor utama biasanya mendistribusikan pekerjaan ke perusahaan-perusahaan swasta yang telah melantai di bursa. Dengan pola ini, dampaknya tak hanya dirasakan satu atau dua emiten, tapi bisa menyebar ke lebih banyak pelaku usaha.
Ibrahim mengingatkan dalam proyek nuklir, urutan pengerjaan sangat menentukan sektor mana yang lebih dulu mendapat sentimen positif dari pasar. Pada tahap awal, saham-saham berbasis konstruksi dan infrastruktur dinilai akan lebih dulu menarik perhatian investor.
“Teknologi itu munculnya di akhir, pas bagian finishing. Kalau sekarang, yang bakal duluan menguat adalah saham-saham kontraktor kayak WIKA, PP, atau bahkan WKPP,” katanya.
Ia menyarankan pelaku pasar untuk jeli membaca fase pengerjaan proyek agar bisa memetakan potensi penguatan sektoral di bursa. “Kalau bangunan sudah jadi, baru deh teknologi masuk. Saat itu, barulah sektor teknologi mulai dilirik. Tapi saat ini? Fokusnya ya ke konstruksi dulu,” katanya.(*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.