KABARBURSA.COM — Tekanan tarif Amerika Serikat (AS) mulai benar-benar terasa di jantung industri China. Untuk pertama kalinya dalam delapan bulan terakhir, aktivitas pabrik di Negeri Tirai Bambu mengalami kontraksi. Ini jadi sinyal bahwa pertarungan dagang dua raksasa ekonomi dunia belum benar-benar mereda, meski ada jeda diplomatik sejenak.
Dilansir dari Reuters di Jakarta, Selasa, 3 Juni 2025, Indeks Manufaktur versi Caixin/S&P Global turun ke 48,3 pada Mei 2025, dari posisi 50,4 pada April. Angka ini bukan cuma lebih rendah dari ekspektasi konsensus analis dalam jajak pendapat Reuters, tapi juga jadi angka terburuk dalam 32 bulan terakhir. Dengan batas netral di angka 50, ini berarti industri manufaktur China sedang menyusut.
Laporan ini melengkapi data resmi yang dirilis pemerintah China akhir pekan lalu yang juga menunjukkan pelemahan aktivitas pabrik untuk bulan kedua berturut-turut. Dampaknya meluas ke sektor ekspor, ketenagakerjaan, hingga harga produk manufaktur.
Dari survei Caixin, pesanan ekspor baru mencatat penurunan untuk bulan kedua, bahkan penurunannya adalah yang paling tajam sejak Juli 2023. Para produsen menyebut tarif AS sebagai penyebab utama lemahnya permintaan global yang kemudian menyeret turun keseluruhan pesanan baru ke titik terendah sejak September 2022.
Output pabrik pun ikut tergelincir—kontraksi pertama sejak Oktober 2023. Penyerapan tenaga kerja menyusut paling tajam sejak awal tahun karena produsen mulai memangkas jumlah karyawan. Sementara itu, harga jual produk terus tertekan selama enam bulan berturut-turut akibat perang harga yang makin brutal.
Sektor otomotif jadi contoh paling telanjang. Di tengah persaingan makin gila antar merek, industri mobil China dihantui kekhawatiran akan terjadinya “bersih-bersih besar-besaran” di pasar domestik—yang notabene adalah pasar mobil terbesar di dunia.
Kebijakan Baru China Masih Menggantung
Di sisi kebijakan, Perdana Menteri Li Qiang mengisyaratkan pemerintah tengah menyiapkan “alat baru”, di antaranya kebijakan nonkonvensional yang akan diterapkan seiring perkembangan situasi. Namun hingga kini, bentuk konkretnya belum diumumkan.
Di sisi lain, upaya rekonsiliasi dagang dengan AS juga mandek. Menteri Keuangan AS, Scott Bessent, mengakui negosiasi yang sempat menghasilkan jeda perang dagang kini kembali tersendat. Hal ini diperkeruh oleh putusan pengadilan federal AS yang sempat mencabut tarif Trump, sebelum akhirnya dikembalikan lagi oleh pengadilan banding sehari kemudian.
Kepala Ekonom China di Morgan Stanley, Robin Xing, menilai kondisi ini menunjukkan masih kuatnya ketimpangan antara penawaran dan permintaan. Menurutnya, retorika tentang rebalancing (penyesuaian struktur ekonomi) memang makin ramai, tapi kenyataannya model lama berbasis dorongan suplai masih dominan. “Reflasi tetap jadi mimpi,” katanya.
Meski demikian, ada satu kejutan: biaya ekspor justru naik untuk pertama kalinya dalam sembilan bulan, bahkan mencetak laju tertinggi sejak Juli 2024. Para pelaku industri menyebut kenaikan logistik dan tarif sebagai penyebabnya.
Namun begitu, optimisme bisnis tetap tumbuh. Banyak perusahaan berharap kondisi perdagangan membaik ke depan, seiring ekspansi pasar baru yang mulai terbuka.
Dampak Gangguan Rantai Pasok Global terhadap Investor Indonesia
Penurunan aktivitas manufaktur China yang tercermin dari kontraksi PMI versi Caixin/S&P Global menjadi 48,3 menyimpan konsekuensi serius bagi para investor pasar modal Indonesia. Terutama bagi sektor industri, logistik, dan manufaktur yang saling terhubung dalam skema Global Value Chain (GVC) atau rantai nilai global.
Dalam jurnal berjudul The Impact of COVID-19 Pandemic on Global Value Chains: Disruption, Policy Responses and Future Challenges yang ditulis oleh Nizar Sebena, diterbitkan oleh Central European Journal of International and Security Studies (2024), disebutkan bahwa negara-negara berkembang seperti Indonesia sangat rentan terhadap guncangan rantai pasok global. Ini karena ketergantungan tinggi terhadap input industri dari negara seperti China—baik bahan baku, mesin, hingga barang modal.
“Ketika titik pusat manufaktur global mengalami perlambatan, efek domino akan langsung terasa di negara yang berperan sebagai perakit atau konsumen input industri, menekan produktivitas dan memunculkan efek ketidakpastian di pasar modal,” tulis Sebena.
Berdasarkan kerangka pemikiran Sebena, investor Indonesia berpotensi terdampak dalam beberapa hal berikut:
1. Margin Keuntungan Tergerus
Emiten-emiten manufaktur yang bergantung pada bahan baku atau mesin dari China—misalnya sektor otomotif, elektronik, tekstil, dan baja ringan—berisiko mengalami lonjakan biaya produksi akibat keterlambatan pasokan atau harga impor yang melonjak karena tarif dan logistik.
2. Gangguan Produksi dan Proyeksi Laba
Penundaan pasokan bahan baku bisa memicu perlambatan produksi. Bila dibiarkan berlarut, emiten bisa gagal memenuhi kontrak atau target penjualan, yang berujung pada revisi laba bersih dan koreksi valuasi saham.
3. Sinyal Risiko untuk Investor Asing
Jika rantai pasok Indonesia terlihat tergantung pada negara yang sedang terguncang seperti China, ini bisa memengaruhi persepsi investor asing terhadap resiliensi pasar Indonesia dalam situasi geopolitik atau tekanan tarif.
Sektor yang Perlu Diwaspadai
Mengacu pada GVC disruption theory yang ditulis Sebena, sektor-sektor berikut paling rentan dan perlu dicermati oleh investor:
- Industri kimia, otomotif, dan elektronik → karena bahan bakunya banyak berasal dari China.
- Jasa logistik dan pelabuhan → bisa terdampak dari pelemahan volume ekspor-impor.
- Tekstil dan garmen → sangat sensitif terhadap pasokan mesin dan benang impor dari China.
- Manufaktur alat berat dan mesin → berpotensi terganggu karena menunggu spare part dan komponen.
Di tengah upaya pemerintah mendorong substitusi impor dan memperkuat hilirisasi industri, investor kini dihadapkan pada realitas ketergantungan struktural terhadap China yang belum sepenuhnya terurai. Gangguan kecil di episentrum manufaktur global bisa menjadi gempa di lini bawah rantai pasok Indonesia.(*)