KABARBURSA.COM — Sinyal pemulihan sektor manufaktur Indonesia tampaknya masih harus bersabar. Data terbaru dari S&P Global menunjukkan bahwa indeks PMI Manufaktur Indonesia pada Mei 2025 bertahan di level kontraksi, meski sedikit membaik menjadi 47,4 dari 46,7 di bulan sebelumnya. Angka di bawah 50 menandakan aktivitas industri yang menyusut, dan ini sudah terjadi dua bulan berturut-turut.
Tekanan terbesar datang dari sisi permintaan. Pesanan baru turun signifikan dan penurunan pada bulan Mei disebut sebagai yang paling tajam sejak Agustus 2021. Permintaan ekspor pun belum kunjung pulih, terutama dari Amerika Serikat.
Ekonom di S&P Global Market Intelligence, Usamah Bhatti, mengatakan sektor manufaktur Indonesia mengalami pelemahan ekonomi pada level sedang selama Mei 2025. Ia mencatat permintaan baru turun tajam—penurunan paling signifikan dalam hampir empat tahun terakhir—dan hal itu turut mendorong penurunan volume produksi secara keseluruhan.
Penurunan ekspor juga masih berlanjut, sementara banyak perusahaan memilih menyesuaikan inventaris dan memangkas pembelian sebagai respons terhadap lemahnya permintaan.
Meski begitu, Bhatti mencatat adanya optimisme dari pelaku industri yang memperkirakan periode pelemahan ini akan segera berlalu. Hal itu terlihat dari peningkatan aktivitas perekrutan dan menguatnya ekspektasi terhadap output dalam 12 bulan ke depan.
Sementara itu, beberapa produsen berupaya menawarkan diskon untuk menaikkan penjualan, menyebabkan kenaikan kecil pada biaya meski beban biaya naik,” kata Bhatti, dikutip dari laporan S&P Global.
Beberapa pelaku industri bahkan mulai menawarkan diskon demi menggenjot penjualan, meskipun beban biaya produksi justru meningkat karena naiknya harga bahan baku. Alhasil, inflasi output naik dalam laju yang lambat—tercatat sebagai tingkat inflasi terendah dalam delapan bulan terakhir.
Survei juga mencatat bahwa perusahaan berupaya menekan jumlah stok baik barang jadi maupun bahan baku. Aktivitas pembelian input menurun selama dua bulan terakhir. Ironisnya, meskipun permintaan lesu, waktu pengiriman barang justru bertambah panjang—disebabkan cuaca buruk dan gangguan logistik.
Namun, sisi positifnya, kapasitas tambahan di beberapa perusahaan mulai membantu menyelesaikan backlog pekerjaan. Ini menandakan bahwa sebagian pabrikan bersiap menyambut pemulihan, jika dan ketika permintaan mulai kembali.(*)
Alarm Waspasa bagi Investor
Penurunan indeks PMI Manufaktur Indonesia ke zona kontraksi dua bulan berturut-turut bukan sekadar angka teknikal bagi pelaku pasar. Ini adalah sinyal yang bisa menggoyang ekspektasi investor terhadap prospek laba dan kinerja emiten-emiten sektor riil..
PMI Manufaktur Indonesia berada di level 47,4 pada Mei 2025. Memang ada sedikit perbaikan dibanding April (46,7), tapi tetap saja itu di bawah batas netral 50. Data ini mempertegas sektor industri masih menyusut. Yang lebih bikin cemas adalah permintaan baru turun dalam laju tercepat sejak Agustus 2021. Ekspor juga makin lemas ke pasar utama seperti Amerika Serikat.
Menurut teori Expectations Theory of Asset Prices, pasar keuangan bekerja berdasarkan apa yang investor pikirkan akan terjadi, bukan semata apa yang sedang terjadi. Ketika data ekonomi seperti PMI menyiratkan pelemahan permintaan dan output, pelaku pasar langsung menyesuaikan ekspektasi mereka terhadap pendapatan perusahaan, potensi ekspansi bisnis, hingga stabilitas makro ke depan.
Tak heran kalau saham-saham manufaktur mulai ditinggalkan perlahan. Investor enggan menahan risiko terlalu besar dalam kondisi yang belum jelas. Apalagi, sektor ini sangat bergantung pada konsumsi rumah tangga dan permintaan global—dua faktor yang saat ini sama-sama meredup.
Dukungan teoretis terhadap fenomena ini juga tercermin dalam artikel ilmiah berjudul Asset Pricing with Heterogeneous Expectations oleh Jakub W. Jurek dan Erik Stafford (Harvard Business School, 2011). Dalam riset tersebut, Jurek dan Stafford menjelaskan harga aset dibentuk bukan hanya oleh fakta ekonomi, tapi juga oleh perbedaan ekspektasi investor atas masa depan. Ketika ekspektasi berubah—misalnya karena data PMI turun—pasar akan langsung mencerminkan risiko baru itu ke dalam valuasi aset.
Bagi investor ritel, terutama yang mengoleksi saham sektor industri, ini adalah momen untuk evaluasi ulang. Saham-saham yang sensitif terhadap siklus ekonomi—manufaktur, properti, logistik—bisa terkena dampak paling besar. Sebaliknya, sektor-sektor defensif seperti barang kebutuhan pokok, farmasi, atau energi justru bisa jadi pelarian saat sentimen melemah.
Investor institusional, terutama manajer dana besar, cenderung menggunakan data PMI sebagai leading indicator. Ketika sinyalnya lemah, strategi portofolio pun berubah: rotasi sektor, rebalancing aset, hingga re-entry ke obligasi bisa terjadi dalam waktu cepat.
Meski PMI turun, bukan berarti harapan benar-benar pupus. Dalam laporannya, S&P Global menyebut sebagian produsen tetap optimistis. Mereka menaikkan perekrutan dan yakin bahwa output akan meningkat dalam 12 bulan ke depan. Tapi pasar keuangan tidak berjalan atas dasar harapan, melainkan atas dasar sinyal. Sinyal dari data saat ini jelas bahwa investor perlu ekstra waspada.(*)