KABARBURSA.COM - Pemerintahan Presiden dan Wakil Presiden terpilih Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming harus berhati-hati dalam mengelola utang yang diwariskan pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) yang akan jatuh tempo dalam lima tahun ke depan sebesar Rp3.748,2 triliun.
Ekonom dari Center of Reform on Economics (CORE), Ahmad Akbar Susamto, mengingatkan bahwa pemerintahan Prabowo-Gibran perlu cermat dalam menangani utang ini, terlebih lagi dengan berbagai janji ambisius yang telah mereka buat.
"Pada waktu yang sama belanja melebar, penerimaan melambat, terjadi defisit yang melebar, utang yang meningkat, ditambah lagi jatuh tempo utang," kata Akbar Susamto dalam acara 'Midyear Review Core Indonesia 2024', Selasa, 23 Juli 2024.
Dalam paparan Akbar, profil jatuh tempo utang pemerintah yang terdiri dari Surat Berharga Negara (SBN) mencapai total Rp3.245,3 triliun untuk periode 2025 hingga 2029.
Selain itu, utang yang jatuh tempo dalam periode yang sama akan mencapai Rp502,9 triliun. Secara keseluruhan, jumlahnya mencapai Rp3.748,2 triliun.
Oleh karena itu, Akbar mengingatkan pemerintah Prabowo-Gibran untuk berhati-hati, karena ketika pemerintah berutang untuk menutup defisit, mereka juga harus membayar imbal hasil atau bunga. Angka tersebut belum termasuk pembayaran bunga utang pemerintah.
"Jadi harus berhati-hati, harus jadi perhatian bahwa biaya yang mahal itu juga akan membebani APBN pada akhirnya," ujarnya.
Meskipun rasio utang pemerintah saat ini masih di bawah batas aman yang ditetapkan oleh UU No. 17/2023 tentang Keuangan Negara, yaitu 60 persen terhadap PDB dan defisit maksimal 3 persen dari PDB, Kementerian Keuangan mencatat utang pemerintah mencapai Rp8.353,02 triliun hingga akhir Mei 2024. Rasio ini setara dengan 38,71 persen terhadap PDB.
Namun, Akbar mengingatkan, jika mengacu pada standar Dana Moneter Internasional (IMF), kondisi ini tidak aman. IMF menetapkan rasio utang pemerintah terhadap pendapatan berada di rentang 90 persen hingga 150 persen.
Nyatanya, rasio utang pemerintah Indonesia terhadap pendapatan telah mencapai 300 persen per 31 Mei 2024, meningkat dari 292,6 persen pada akhir Desember 2023.
"Jadi posisi utang pemerintah terhadap pendapatan tentu tidak aman karena melebihi batas yang ditetapkan IMF dalam range 90 persen sampai dengan 150 persen. Kita sudah 300 persen," tutur Akbar.
ULN Indonesia Rp6.5577 Triliun
Beberapa waktu lalu, Bank Indonesia (BI) melaporkan bahwa utang luar negeri (ULN) Indonesia pada Mei 2024 mencapai USD407,3 miliar atau setara dengan Rp6.577,8 triliun (dengan asumsi kurs Rp16.150).
Angka ini mengalami pertumbuhan sebesar 1,8 persen secara tahunan (year on year/yoy) setelah sebelumnya mencatat kontraksi sebesar 1,5 persen yoy pada April 2024.
Erwin Haryono, Asisten Gubernur dan Kepala Departemen Komunikasi BI, mengatakan peningkatan ini berasal dari utang luar negeri sektor publik, termasuk pemerintah dan bank sentral, serta sektor swasta.
Pada Mei 2024, posisi utang luar negeri pemerintah tercatat sebesar USD191 miliar atau setara dengan Rp3.084 triliun, mengalami kontraksi pertumbuhan tahunan sebesar 0,8 persen (yoy), setelah pada April 2024 terkontraksi sebesar 2,6 persen (yoy).
"Perkembangan utang luar negeri ini dipengaruhi oleh peningkatan aliran modal asing ke Surat Berharga Negara (SBN) baik internasional maupun domestik, yang mencerminkan kepercayaan investor terhadap prospek ekonomi Indonesia," jelas Erwin melalui keterangan resminya, Senin, 15 Juli 2024.
Erwin menegaskan, pemerintah berkomitmen menjaga kredibilitas dengan memenuhi kewajiban pembayaran pokok dan bunga utang tepat waktu, serta mengelola utang luar negeri secara hati-hati, terukur, oportunistik, dan fleksibel untuk memperoleh pembiayaan yang paling efisien dan optimal.
Sebagai bagian dari instrumen pembiayaan APBN, penggunaan utang tersebut terus diarahkan untuk mendukung pembiayaan sektor produktif dan prioritas seperti Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial (21 persen dari total utang luar negeri pemerintah), Administrasi Pemerintah, Pertahanan, dan Jaminan Sosial Wajib (18,7 persen); Jasa Pendidikan (16,8 persen); Konstruksi (13,6 persen); serta Jasa Keuangan dan Asuransi (9,5 persen).
Sementara itu, posisi utang luar negeri swasta pada Mei 2024 tercatat sebesar USD197,6 miliar, dengan kontraksi tahunan sebesar 0,4 persen (yoy), melanjutkan kontraksi pada April 2024 sebesar 2,8 persen (yoy).
Perkembang utang luar negeri ini terutama disebabkan oleh kontraksi di lembaga keuangan sebesar 2,6 persen (yoy). Sementara itu, utang luar negeri perusahaan bukan lembaga keuangan tumbuh sebesar 0,1 persen (yoy).
Secara sektoral, utang luar negeri swasta terbesar berasal dari Industri Pengolahan; Jasa Keuangan dan Asuransi; Pengadaan Listrik dan Gas; serta Pertambangan dan Penggalian, dengan total pangsa mencapai 78,9 persen dari total ULN swasta.
Utang luar negeri swasta didominasi oleh utang jangka panjang dengan pangsa mencapai 76,1 persen dari total.
Rasio utang luar negeri Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) tercatat sebesar 29,8 persen, dengan didominasi utang luar negeri jangka panjang mencapai 85,9 persen dari total ULN.
Untuk menjaga struktur utang luar negeri tetap sehat, Bank Indonesia dan pemerintah terus memperkuat koordinasi dalam pemantauan perkembangan utang luar negeri.
"Peran utang luar negeri akan terus dioptimalkan untuk mendukung pembiayaan pembangunan dan mendorong pertumbuhan ekonomi nasional yang berkelanjutan. Upaya ini dilakukan dengan meminimalkan risiko yang dapat mempengaruhi stabilitas ekonomi,” ujarnya. (yub/*)