KABARBURSA.COM - Usai bertemu dengan Presiden terpilih, Prabowo Subianto, politisi Partai Golkar, Maman Abdurrahman menyatakan dirinya diminta menjadi Menteri Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dalam kabinet Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.
Maman Abdurrahman datang ke kediaman Prabowo Subianto di Jalan Kertanegara, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, pada Senin, 14 Oktober 2024.
Kata Maman, kementerian yang akan dipimpinnya merupakan pemisahan dari Kementerian Koperasi dan UMKM. Dia jelaskan, pembentukan Kementerian UMKM bertujuan untuk meningkatkan perhatian terhadap sektor tersebut.
"Pak Prabowo menitipkan kepada saya agar sektor UMKM difokuskan dan diperbesar skalanya sebagai bentuk representasi kepedulian beliau dalam mendongkrak kenaikan kelas sektor UMKM," kata Maman.
Kepada, Prabowo juga berpesan untuk memastikan penyerapan tenaga kerja di sektor UMKM. "Kita semua tahu penyerapan tenaga kerja itu diwakilkan 92 persen dari sektor UMKM. Industri besar hanya menampung 8 persen saja tenaga kerja di negara kita. Jadi harapan besar dari Pak Prabowo kepada saya untuk bisa mengamankan UMKM sebesar 92 persen itu," ujarnya.
Pertumbuhan Kredit UMKM Turun
Penyaluran kredit perbankan ke sektor UMKM mengalami perlambatan, terlihat dari pertumbuhan kredit UMKM yang semakin menurun.
Hingga Agustus 2024, total penyaluran kredit perbankan mencapai Rp1.474 triliun dengan pertumbuhan tahunan sebesar 4,42 persen, lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan 5,16 persen pada Juli 2024.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Dian Ediana Rae mengatakan bahwa penurunan ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, terutama kondisi makroekonomi.
Di dalam negeri, pertumbuhan ekonomi dan daya beli masyarakat menjadi pendorong utama dalam pertumbuhan kredit UMKM.
“Situasi geopolitik juga berpengaruh pada berbagai aspek perekonomian domestik,” kata Dian Rae, Senin, 14 Oktober 2024.
Meskipun tantangan ini ada, Dian tetap optimis bahwa bank dapat meningkatkan penyaluran kredit kepada UMKM. Pemerintah dan para pemangku kepentingan lainnya mendukung upaya ini melalui koordinasi dan evaluasi terhadap kondisi UMKM serta efektivitas kebijakan yang ada untuk mendorong kredit UMKM yang berkelanjutan.
Dian menambahkan, bahwa langkah-langkah seperti perluasan jaringan agen bank, program subsidi Pemerintah melalui Kredit Usaha Rakyat (KUR), dan insentif likuiditas sedang diimplementasikan.
Selain itu, OJK juga mendorong bank pembangunan daerah (BPD) dan Bank Perekonomian Rakyat (BPR) untuk meningkatkan penyaluran kredit kepada sektor ini.
Namun, Dian mengingatkan agar bank tetap mengutamakan kehati-hatian untuk mencegah kerugian dalam operasional mereka.
“Risiko gagal dan pertimbangan lainnya tetap harus diperhatikan,” pungkasnya.
Perbankan Harus Terapkan Sistem Pinjaman Berbasis Proyek
Sementara itu, Founder Asian Tiger Mardigu Wowiek Prasantyo menyoroti persoalan sistem perbankan yang dianggap kurang mendukung pengembangan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) di Indonesia.
Menurut Mardigu, ke depannya pemerintah harus bisa menciptakan perubahan aturan perbankan agar lebih berpihak pada UKM.
Salah satu langkah yang disarankan adalah mengganti sistem aset-based loan (pinjaman berbasis aset) dengan project-based loan (pinjaman berbasis proyek).
“Karena kita lihat, mudah-mudahan ke depannya pemerintah bisa merubah sistem perbankan agar lebih mendukung UKM. Sistem aset-based loan kalau bisa diganti dengan project-based loan,” kata Mardigu kepada Kabar Bursa, Sabtu, 12 Oktober 2024.
Sebagai contoh, ketika sebuah perusahaan mendapatkan kontrak proyek senilai Rp10 miliar, yaitu pengerjaan pengelasan pagar untuk PLN, bank seharusnya bisa memberikan pinjaman berdasarkan nilai proyek tersebut, bukan hanya berdasarkan aset yang dimiliki perusahaan.
“Jadi misalnya dapet kontrak Rp10 miliar untuk pengelasan pagar PLN. Belum modal kerja 25 persen. Kalau sekarang atau kemarin ditanya ada jaminan enggak? Kan ada kontrak nih. Nah kontrak itu harusnya udah bisa jadi project, loan berbasis project. Jangan selalu aset,” ujarnya.
Dia mengungkapkan, sistem seperti ini sudah diterapkan di Singapura, sehingga memungkinkan perusahaan untuk lebih mudah mendapatkan modal kerja tanpa harus menyediakan jaminan aset.
“Di Singapura itu bisa aset-based loan, bisa project-based loan,” jelas.
Dampaknya, lanjut Mardigu, banyak orang di Indonesia mendirikan perusahaan di Singapura karena mendapatkan kemudahan mendapatkan pinjaman berbasis proyek.
Katanya, meski proyek dijalankan di Indonesia, namun pembayaran pajak dan keuntungan lebih banyak mengalir ke Singapura. Hal ini merugikan Indonesia karena negara kehilangan potensi pendapatan pajak yang signifikan.
“(Misalnya), saya bikin perusahaan di Singapura. Saya akusisi perusahaan itu 100 persen. Saya pinjam duit di Singapura, jadi yang dapat pajak Singapura. Indonesia enggak dapet apa-apa,” terang Mardigu.
Menurutnya, selama ini banyak pengusaha Indonesia memanfaatkan pinjaman di luar negeri, seperti dari Singapura atau Amerika Serikat (AS) untuk mendanai proyek-proyek di dalam negeri.
“Nah itu yang terjadi di selama ini. Jadi project itu tetap jalan. Tapi kita ambil pinjaman dari Amerika Serikat atau Singapura,” pungkasnya. (*)