KABARBURSA.COM - Sektor perbankan Indonesia tengah memasuki fase transisi yang menarik, diwarnai penurunan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) serta dinamika pertumbuhan kredit dan dana pihak ketiga (DPK).
Bank Indonesia telah menurunkan bunga acuan sebanyak empat kali sepanjang 2025, dengan penyesuaian terakhir sebesar 25 basis poin ke level 5,0 persen.
Jika Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) mengikuti langkah ini pada September mendatang, biaya dana (cost of fund/CoF) berpotensi ditekan, sehingga net interest margin (NIM) perbankan bisa tetap terjaga.
Namun, di balik kabar baik itu, tantangan besar juga membayangi. Pertumbuhan kredit pada Juli 2025 hanya mencapai 7,03 persen, yang merupakan level terlemah dalam lebih dari tiga tahun terakhir.
DPK tumbuh sama tipisnya, yakni 7,0 persen, dengan dorongan utama berasal dari belanja pemerintah. Lemahnya penyaluran kredit mengindikasikan bahwa permintaan dari sektor riil belum sepenuhnya pulih, sementara bank masih berhati-hati menghadapi potensi risiko kualitas aset.
Risiko tambahan muncul dari kebijakan fiskal. Pemerintah menargetkan kenaikan pendapatan negara sebesar 9,8 persen untuk 2026, dengan peningkatan pajak hingga 13,5 persen.
Tekanan fiskal ini bisa berdampak pada dunia usaha dan rumah tangga. Permintaan kredit kemungkinan menurun karena daya beli melemah, bank dipaksa menawarkan bunga deposito lebih tinggi untuk menjaga likuiditas, dan pada akhirnya potensi kredit bermasalah (NPL) meningkat, khususnya di sektor UMKM dan rumah tangga.
Tekanan lain datang dari arus modal asing. Per 19 Agustus 2025, sektor perbankan mencatat net outflow sebesar Rp34,6 triliun. Bank besar seperti BBCA mengalami aliran keluar Rp17,9 triliun, BMRI Rp12,7 triliun, dan BBRI Rp2,2 triliun.
Meski demikian, tidak semua cerita bernuansa negatif. Beberapa bank syariah justru menarik minat investor asing, dengan BRIS membukukan inflow Rp1,4 triliun dan BTPS Rp270 miliar, menandakan adanya optimisme pada pertumbuhan industri perbankan syariah.
Dari sisi valuasi, perbandingan price-to-book value (PBV) dan return on equity (ROE) menggambarkan lanskap yang menarik. Grafik matriks PBV-ROE menempatkan BCA sebagai bank dengan valuasi premium sekaligus efisiensi tinggi, mencerminkan posisi dominannya di industri.
ROE BCA mencapai 21,4 persen, tertinggi di sektor ini, membuat rekomendasi “BUY” dengan target harga Rp11.900 menjadi rasional meski valuasi relatif mahal. BMRI menyusul dengan ROE 19,1 persen dan target harga Rp5.900, juga direkomendasikan “BUY” berkat fundamental solid dan prospek pertumbuhan kredit korporasi.
BBNI, meski masih berada di bawah dua bank besar tersebut, menunjukkan ROE 12,3 persen dengan valuasi yang lebih terjangkau. Target harga Rp4.800 menjadikannya pilihan bagi investor yang mencari potensi re-rating. Sementara itu, BBTN tetap menjadi cerita turnaround.
Dengan ROE 9,8 persen, valuasinya relatif rendah, tetapi prospek tetap positif terutama jika tren penurunan suku bunga benar-benar mendorong sektor properti, sehingga target harga Rp1.400 cukup menjanjikan.
Bagi investor, sektor perbankan saat ini menghadirkan dualitas. Di satu sisi, ruang pertumbuhan terbuka lebar berkat tren penurunan bunga acuan yang dapat menjaga profitabilitas bank melalui NIM yang stabil.
Namun di sisi lain, lemahnya pertumbuhan kredit, risiko kebijakan fiskal, dan aliran keluar modal asing memberi tekanan jangka pendek. Strategi yang paling rasional adalah fokus pada bank-bank besar dengan fundamental kuat seperti BCA dan Mandiri, sambil mempertimbangkan peluang revaluasi di BNI dan BBTN yang saat ini diperdagangkan dengan valuasi lebih murah.
Keseluruhan gambaran ini menunjukkan sektor perbankan tetap menjadi tulang punggung pasar modal Indonesia, meski investor harus cermat membaca keseimbangan antara potensi pertumbuhan dan risiko makroekonomi yang masih membayangi.(*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.