KABARBURSA.COM - Bank Indonesia semakin percaya diri menatap 2026 dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi yang digeser ke level lebih tinggi. Gubernur Perry Warjiyo menilai produk domestik bruto berpotensi tumbuh di kisaran 4,7–5,5 persen dengan titik tengah di 5,3 persen, melampaui perkiraan 2025 yang hanya 5,1 persen.
Angka ini sejalan dengan tren pelonggaran moneter yang sudah berlangsung sejak tahun ini, dan dianggap realistis melihat stabilitas inflasi serta kurs rupiah yang terjaga.
Namun, optimisme BI tetap lebih konservatif dibanding target pemerintah dalam RAPBN 2026 yang dipatok di 5,4 persen, meski masih lebih tinggi daripada proyeksi konsensus Bloomberg maupun IMF yang berada di bawah 5 persen.
Perbedaan ini bukan pertentangan, melainkan variasi perspektif yang sehat sepanjang kebijakan moneter dan fiskal bisa saling melengkapi dan kredibel .
Dari sisi fiskal, pemerintah berupaya mendorong pertumbuhan lewat konsumsi rumah tangga dan investasi. RAPBN 2026 menargetkan keduanya tumbuh 5,2 persen, sementara ekspor dan impor diproyeksikan meningkat masing-masing 6,7 persen dan 7,2 persen.
Belanja negara diarahkan pada penguatan daya beli, termasuk program Makan Bergizi Gratis, penguatan koperasi, hingga ketahanan pangan. Orientasi belanja ini memberi sinyal bahwa pemerintah ingin permintaan domestik menjadi jangkar pertumbuhan di tengah bayang-bayang perlambatan global.
Jika eksekusinya cepat dan tepat sasaran, dampaknya akan terasa pada kinerja emiten sektor konsumsi, perbankan, hingga infrastruktur .
Dukungan kebijakan moneter turut memperkuat arah tersebut. Setelah memangkas suku bunga acuan hingga ke level 5,00 persen pada Agustus 2025, BI memberi sinyal ruang pelonggaran lanjutan.
Survei internasional bahkan menangkap ekspektasi pasar bahwa suku bunga masih bisa dipangkas lagi pada akhir tahun. Bagi pelaku pasar modal, tren suku bunga rendah berarti biaya dana lebih ringan, valuasi saham lebih menarik, dan potensi ekspansi di sektor-sektor siklikal semakin besar.
Dalam waktu yang sama, koordinasi fiskal dan moneter memasuki fase baru. BI bersama pemerintah memperbarui skema burden sharing dengan format yang lebih halus: pemerintah menerima imbal hasil lebih tinggi atas dana yang ditempatkan, sementara BI siap masuk ke pasar sekunder dan melakukan debt switch untuk mengelola jatuh tempo obligasi warisan pandemi.
Skema ini dirancang agar pembiayaan fiskal tetap aman tanpa mengganggu disiplin pasar maupun independensi bank sentral. Selama transparansi dijaga, kepercayaan investor tidak akan terganggu .
Meski begitu, jalan menarik kembali dana asing ke bursa saham belum sepenuhnya mulus. Data terbaru menunjukkan investor asing masih mencatat net sell sekitar Rp50,95 triliun sejak awal tahun hingga akhir Agustus 2025.
Memang, sempat terjadi empat pekan berturut-turut net buy pada bulan itu yang meringankan tekanan, tetapi awal September kembali diwarnai penjualan bersih terutama di saham-saham perbankan besar.
Situasi ini menunjukkan bahwa optimisme kebijakan harus benar-benar diterjemahkan ke dalam realisasi belanja, kestabilan kurs, dan sinyal suku bunga yang konsisten agar aliran dana masuk bisa bertahan lama, bukan sekadar reaksi teknikal jangka pendek .
Risiko eksternal tetap menjadi faktor yang tidak bisa diabaikan. Ketegangan dagang global hingga dinamika politik domestik sewaktu-waktu memicu volatilitas tajam, menekan rupiah maupun IHSG dalam sesi-sesi tertentu.
Justru di titik inilah konsistensi komunikasi kebijakan dan kecepatan penyerapan anggaran bisa menjadi pembeda. Jika pemerintah dan BI mampu bergerak selaras—melonggarkan moneter secara hati-hati, mempercepat belanja prioritas, dan menjaga stabilitas makro—IHSG memiliki alasan fundamental untuk keluar dari jebakan volatilitas dan kembali menarik inflow asing secara berkelanjutan.
Pada akhirnya, proyeksi BI yang selaras dengan target RAPBN 2026 bukan sekadar headline optimistis, melainkan sinyal penting bahwa kombinasi pelonggaran suku bunga, belanja fiskal pro-pertumbuhan, dan stabilitas makro bisa membentuk fondasi baru bagi pasar modal Indonesia.
Jika realisasi kebijakan sesuai rencana, narasi “Indonesia 5 persen plus” berpeluang menjelma menjadi kenyataan sekaligus pijakan kuat bagi valuasi IHSG di tahun-tahun mendatang.(*)