Logo
>

PT Timah (TINS) Punya Cadangan 807 Ribu Ton untuk 20 Tahun

PT Timah (TINS) mengungkapkan cadangan timah mencapai 807 ribu ton yang cukup untuk menopang operasional hingga 20 tahun, seiring strategi hilirisasi dan target produksi jangka panjang.

Ditulis oleh Dian Finka
PT Timah (TINS) Punya Cadangan 807 Ribu Ton untuk 20 Tahun
PT Timah (TINS) kantongi cadangan 807 ribu ton timah untuk 20 tahun. Gambar dibuat oleh AI untuk KabarBursa.com.

KABARBURSA.COM – PT Timah Tbk (TINS) memastikan keberlangsungan operasionalnya hingga dua dekade mendatang dengan cadangan timah yang saat ini mencapai 807 ribu ton. Jumlah tersebut dinilai cukup untuk menopang aktivitas penambangan hingga 20 tahun ke depan, sekaligus memperkuat posisi perusahaan sebagai pemain utama dalam rantai pasok mineral global.

Direktur Utama TINS, Restu Widiyantoro, mengatakan pihaknya terus memperbarui estimasi cadangan melalui kegiatan eksplorasi. “Cadangan timah kami saat ini masih berada di angka 807 ribu ton. Itu cukup sebagai bekal menambang selama 20 tahun, dan tentu akan terus kami update melalui survei-survei untuk penemuan cadangan baru,” kata Restu dalam rapat bersama Komisi VI DPR RI di Kompleks Parlemen, Jakarta Pusat, Rabu, 14 Mei 2025.

Restu memaparkan, sebanyak 65 persen saham TINS saat ini dikuasai negara melalui MIND ID, sementara 35 persen lainnya tercatat sebagai milik publik lewat mekanisme bursa. Ia menegaskan, komposisi tersebut menuntut perseroan untuk menjalankan setiap proses bisnis dengan tata kelola yang baik dan akuntabilitas tinggi.

Restu pun merinci alur utama proses penambangan timah yang dijalankan perseroan. Proses tersebut meliputi tahapan eksplorasi, penambangan, pengolahan, hingga peleburan logam timah siap jual. Seluruh proses tersebut, menurutnya, harus dibarengi dengan kepatuhan terhadap regulasi lingkungan, khususnya pelaksanaan pascatambang.

“Setiap tahapan penambangan, baik di darat maupun laut, wajib dilengkapi dengan kegiatan reklamasi dan revegetasi. Ini komitmen kami untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup,” katanya.

Restu mengklaim pengelolaan pasca-tambang menjadi prioritas perusahaan, terlebih karena sebagian besar Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk mencakup wilayah laut dan darat yang cukup luas.

Selain itu, meski memiliki cadangan besar, Restu mengakui dua aspek penting yang masih menjadi tantangan TINS saat ini adalah penguatan sumber daya manusia (SDM) dan optimalisasi kerja sama antar wilayah operasional.

“Wilayah kerja dan SDM yang ada masih terlalu kecil untuk mendukung potensi besar yang dimiliki PT Timah. Ini akan menjadi prioritas perbaikan kami ke depan,” ungkapnya.

Ia menegaskan pentingnya peran strategis TINS sebagai produsen timah nasional yang diandalkan untuk menjaga pasokan global dan mendukung program hilirisasi pemerintah. “PT Timah tidak hanya bicara soal tambang, tapi juga peran strategis untuk ekonomi nasional dan posisi Indonesia di kancah perdagangan mineral dunia,” katanya.

Posisi Indonesia dan PT Timah di Pasar Global


Timah masih menjadi salah satu komoditas strategis dunia. Indonesia masih berada di panggung utama bersama China dan Peru sebagai penghasil timah terbesar di dunia. Namun dalam beberapa tahun terakhir, peran Indonesia mulai tergerus. Menurut data MIND ID, produksi timah Indonesia tercatat mencapai 65.000 ton pada 2023, atau setara dengan 17,5 persen pasokan global. Namun setahun kemudian, produksinya anjlok menjadi hanya 45.000 ton atau sekitar 12 persen dari pangsa pasar dunia.

Penurunan ini membuat Indonesia tergelincir dari posisi dominannya, meskipun TINS memiliki konsesi tambang yang luas—hampir 600 ribu hektare di darat dan laut. Ironisnya, kontribusi BUMN ini terhadap total produksi nasional justru tidak dominan, hanya sekitar 25 persen. Sebagian besar lainnya diisi oleh perusahaan swasta. Dengan struktur seperti ini, posisi Indonesia sebagai salah satu dari tiga produsen utama timah dunia—bersama China dan Peru—belum sepenuhnya ditopang oleh kekuatan produksi TINS.

Persaingan global diperparah oleh tantangan domestik yang tak kunjung selesai, mulai dari cuaca ekstrem, konflik lahan, hingga maraknya penambangan ilegal. Di sisi lain, gangguan produksi di negara lain memberi ruang sesaat bagi harga timah naik, tetapi tidak serta merta memperkuat posisi Indonesia dalam jangka panjang.

Kinerja Keuangan dan Produksi PT Timah


Tahun 2024 menandai titik balik bagi TINS. Setelah beberapa tahun mencatatkan kerugian, perusahaan pelat merah ini membukukan laba bersih sebesar Rp1,19 triliun—melonjak dari rugi Rp449,7 miliar pada 2023. Pendapatan juga tumbuh tajam menjadi Rp10,9 triliun, naik sekitar 30 persen secara tahunan. Performa itu didorong oleh peningkatan volume produksi bijih timah yang mencapai 19.437 ton atau naik 31 persen, serta logam timah sebesar 18.915 ton (naik 23 persen).

Perusahaan mencatat margin bersih 11 persen dan EBITDA sekitar Rp2,7 triliun. Investor mencatat bahwa efisiensi dan pengendalian biaya menjadi kunci kembalinya performa positif ini. Namun, lonjakan laba belum tentu berlanjut.

Memasuki Kuartal I 2025, TINS mencatat pendapatan Rp2,1 triliun, hanya naik dua persen dari tahun sebelumnya. Tapi laba bersihnya melonjak 295 persen menjadi Rp116,9 miliar, terutama karena basis perbandingan yang rendah. Produksi justru tertekan: bijih timah hanya 3.215 ton dan logam timah 3.095 ton—turun 40 persen dan 31 persen secara tahunan. Cuaca buruk, penyebaran cadangan yang sporadis, dan gangguan aktivitas tambang ilegal jadi penyebab utama. Di tengah keterbatasan tersebut, perusahaan tetap menargetkan produksi logam 21.545 ton untuk 2025 dan memperkuat saluran penjualan agar kinerja tetap stabil.

Harga Timah Global dan Permintaan Pasar

Harga timah dunia mengalami pemulihan sejak terguncang akibat krisis pasokan pada 2022. Harga sempat mencetak rekor di atas USD200.000 per ton kala itu, sebelum stabil di kisaran USD31.000–32.000 per ton memasuki 2025. Rata-rata harga LME untuk Kuartal I 2025 tercatat USD31.804 per ton—naik 21 persen dibanding periode yang sama tahun lalu.

Stok timah global menurun sekitar 35 persen di gudang LME pada Maret 2025, menyusul gangguan pasokan dari Myanmar dan Kongo. Sentimen ini ikut mengerek harga.

Riset Bloomberg dan Trading Economics memproyeksikan harga timah bertahan di kisaran USD33.000 per ton pada kuartal ini, menjadikannya salah satu komoditas logam paling tahan gejolak.

Permintaan tetap kuat, khususnya dari industri elektronik dan kendaraan listrik. Laporan International Tin Association (ITA) mencatat konsumsi global mencapai 367.900 ribu ton pada 2024, tumbuh 3 persen dari tahun sebelumnya. Sekitar 50 persen permintaan berasal dari sektor solder elektronik. Selain itu, timah juga menjadi bahan penting dalam baterai EV, konektor mobil listrik, dan sel surya.

Industri energi bersih dan digital menjadi tumpuan utama masa depan komoditas ini. Responden ITA menilai penggunaan timah akan terus meningkat di sektor teknologi baru seperti panel surya, 5G, dan kendaraan otonom. Mereka menyebut timah sebagai komoditas “yang belum tergantikan.”

Hilirisasi Timah


TINS tak lagi ingin sekadar menjual bijih. Lewat anak usahanya PT Timah Industri, perusahaan ini mulai serius menggarap produk turunan seperti solder dan tin chemical. Dua merek dagangnya—Banka Tin dan Mentok Tin—telah diekspor dan dikenal di pasar internasional. Ke depan, manajemen menargetkan peningkatan kapasitas produksi hilir ini agar bisa bersaing di pasar ekspor, meski penguasaan pasar domestik masih kecil.

Langkah hilirisasi ini sejalan dengan strategi besar pemerintah dan MIND ID selaku induk usaha. MIND ID secara terbuka menyebut timah sebagai “mineral kritis” yang harus dijaga dan ditumbuhkan nilai tambahnya. TINS bersama holding-nya telah membangun proyek percontohan pemrosesan rare earth dari monasit—limbah tambang timah yang mengandung unsur tanah jarang.

Program ini bukan semata retorika. Pemerintah lewat Kementerian Investasi telah menyusun Roadmap Hilirisasi Investasi Strategis 2023–2040. Targetnya adalah menjadikan Indonesia pemain utama di industri tin plate dan lembaran timah untuk sirkuit elektronik global. Sebagai gambaran, pemerintah kin memiliki 21 proyek strategis bernilai USD40 miliar yang masuk prioritas hilirisasi, salah satunya adalah sektor timah.

Dengan dukungan kebijakan yang berpihak dan struktur holding yang lebih efisien, TINS diproyeksikan bukan hanya menopang kebutuhan domestik, tetapi juga menjadi salah satu jangkar ekonomi mineral di Asia Tenggara.(*)

Disclaimer:
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.

Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

Gabung Sekarang

Jurnalis

Dian Finka

Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.