Logo
>

Relaksasi TKDN Bisa Buat Indonesia Jadi Pasar Produk Asing

Berpotensi menjadikan Indonesia hanya sebagai negara konsumen dan mengancam kelangsungan industri nasional.

Ditulis oleh Ayyubi Kholid
Relaksasi TKDN Bisa Buat Indonesia Jadi Pasar Produk Asing
Ilustrasi Manufaktur. Foto: paper.id

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM – Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional Indonesia (Gapensi) mengkritisi rencana pemerintah untuk merelaksasi kebijakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN), khususnya pada produk besi, baja, dan pipa untuk sektor infrastruktur. Kebijakan ini dinilai berisiko menjadikan Indonesia sebagai pasar bagi produk asing dan mematikan industri dalam negeri.

    Isu ini mencuat usai Presiden Prabowo Subianto memerintahkan agar regulasi TKDN dibuat lebih fleksibel dan realistis. Langkah tersebut diklaim untuk menjaga daya saing industri nasional di tengah tekanan global, termasuk dari Amerika Serikat (AS).

    Diketahui, pelonggaran aturan TKDN diduga menjadi bagian dari respons pemerintah terhadap kebijakan tarif resiprokal dari AS. Negeri Paman Sam sebelumnya mengenakan bea masuk hingga 32 persen untuk produk dari Indonesia dan meminta agar aturan TKDN disesuaikan dalam kerangka negosiasi perdagangan bilateral.

    Sekretaris Jenderal Gapensi, La Ode Safiul Akbar, menyampaikan kekhawatirannya jika kebijakan relaksasi TKDN tetap diberlakukan. Ia menilai hal tersebut berpotensi menjadikan Indonesia hanya sebagai negara konsumen dan mengancam kelangsungan industri nasional, khususnya pada sektor besi, baja, dan pipa infrastruktur.

    “Ujungnya nanti, jika industri di dalam negeri tidak bergerak karena dihimpit oleh produk impor, sudah dipastikan PHK besar-besaran akan kembali terjadi. Saat ini saja, angka pengangguran kita sudah cukup tinggi. Karena, hampir semua pabrik bisa terkena dampaknya,” tutur La Ode dalam keterangannya di Jakarta, Selasa 15 April 2025.

    Lebih lanjut, La Ode berharap TKDN tidak dihapuskan. Menurutnya, kebijakan tersebut penting untuk menjaga daya saing Indonesia di pasar global serta melindungi industri nasional dari gempuran produk asing.

    “Akibatnya, kita hanya akan menjadi negara konsumen dan semakin bergantung pada barang-barang impor. Padahal, jika kita menggunakan produk dalam negeri, kita bisa mendorong pertumbuhan ekonomi, karena industri di dalam negeri bergerak. Keberadaan TKDN itu sudah seharusnya ada untuk melindungi industri di dalam negeri,” ucapnya.

    La Ode menilai pemerintah seharusnya menunjukkan komitmen terhadap penguatan TKDN sebagai bagian dari upaya mendorong kemandirian industri nasional. Ia menyarankan agar pemerintah memberikan insentif bagi pelaku industri lokal, mempermudah akses pembiayaan dan teknologi, serta mengawasi pelaksanaan TKDN secara tegas dan transparan.

    “Dengan komitmen kuat dari pemerintah dalam mengawal produk TKDN, dapat membuka lapangan pekerjaan sebesar-besarnya dan mendorong pertumbuhan ekonomi 8 persen,” pungkas La Ode.

    Saat ini, pemerintah menetapkan batas minimal TKDN sebesar 25 persen dengan syarat Bobot Manfaat Perusahaan (BMP) minimal 40 persen. Kebijakan ini merupakan bagian dari program Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri (P3DN) yang bertujuan mendorong industri lokal.

    Di sisi lain, Presiden Prabowo meminta agar kebijakan TKDN tidak dibebankan secara kaku kepada pelaku industri, melainkan disesuaikan dengan kapasitas nasional.

    “Tolong diubah itu, TKDN dibikin yang realistis saja. Masalah kemampuan dalam negeri, konten dalam negeri itu adalah masalah luas, itu masalah pendidikan, iptek, sains. Jadi itu masalah, nggak bisa kita dengan cara bikin regulasi TKDN naik,” tegas Presiden.

    Menekan Prospek Pertumbuhan

    Pengamat perbankan sekaligus praktisi sistem pembayaran, Arianto Muditomo, menilai pergeseran minat investor ke Vietnam berpotensi menekan prospek pertumbuhan perusahaan terbuka di Indonesia, khususnya di sektor manufaktur, teknologi, dan ekspor.

    “Hal ini bisa berdampak pada valuasi pasar yang kurang atraktif akibat minimnya arus modal baru serta lambatnya ekspansi produksi,” ujar Arianto saat dihubungi kabarBursa.com via sambungan telepon, Sabtu, 5 April 2025.

    Ia menjelaskan bahwa perusahaan yang bergantung pada investasi asing langsung atau pengembangan rantai pasok global akan menghadapi tantangan yang makin kompetitif.

    Menurut Arianto, korporasi dalam negeri perlu mengoptimalkan efisiensi operasional, memperluas jangkauan pasar, dan menjalin kemitraan strategis lintas negara untuk tetap bertahan dalam persaingan investasi kawasan.

    Vietnam Unggul dalam Berbagai Indikator

    Meskipun Indonesia memiliki populasi lebih besar—282 juta jiwa dibanding Vietnam yang berjumlah 101 juta jiwa—namun Vietnam berhasil menunjukkan performa ekonomi yang lebih kuat. Pertumbuhan ekonominya mencapai 7,09 persen di tahun 2024, mengungguli Indonesia yang tumbuh 5,03 persen.

    Dari sisi Foreign Direct Investment (FDI), Vietnam mencatat rasio investasi asing terhadap PDB sebesar 5,90 persen dalam periode 2010 hingga 2018. Sementara itu, Indonesia hanya mencatat 2,10 persen. Ini menunjukkan bahwa kepercayaan investor global terhadap Vietnam lebih tinggi.

    Keunggulan Vietnam juga tercermin dalam kebijakan fiskalnya. Tarif Pajak Penghasilan Badan di negara tersebut hanya sebesar 20 persen, dibandingkan dengan Indonesia yang menetapkan 25 persen. Demikian pula untuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Vietnam hanya mengenakan 8 persen, sedangkan Indonesia menerapkan tarif sebesar 11 persen dan 12 persen untuk barang mewah.(*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Ayyubi Kholid

    Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.