KABARBURSA.COM – Harga batu bara kembali mencatatkan reli meyakinkan di pasar ICE Newcastle. Reli ini menandai penguatan tiga hari berturut-turut hingga Selasa, 4 November 2025.
Komoditas energi andalan ekspor Indonesia ini ditutup di level USD110,85 per ton, melonjak 1,14 persen dan menyentuh posisi tertinggi sejak akhir Agustus. Secara kumulatif, kenaikan harga sudah mencapai 6,69 persen dalam tiga hari terakhir dan mempertegas kembalinya momentum bullish menjelang akhir tahun.
Lonjakan harga ini tersulut kombinasi faktor fundamental dan sentimen eksternal, terutama dengan China yang kembali menjadi episentrum pergerakan. Regulator di Beijing dikabarkan mulai mengetatkan kembali pembatasan produksi batu bara di sejumlah wilayah tambang besar.
Pemerintah China ingin menjaga agar harga batu bara tetap berada pada level “wajar dan stabil”, sebagaimana diungkap pejabat China Coal Energy, Li Xueyuan.
Dan, pengetatan ini Efeknya langsung terasa di pasar. Produksi nasional pada September turun 1,8 persen secara tahunan menjadi 411,5 juta ton metrik. Kondisi ini menimbulkan persepsi bahwa pasokan ke depan bisa kembali seret.
Konsumsi Listrik China Naik di Tengah Pengetatan Produksi Batu Bara
Ironisnya, di saat produksi domestik dikendalikan, konsumsi listrik di China justru meningkat. Data resmi menunjukkan total konsumsi listrik sepanjang September mencapai 888,6 miliar kilowatt-jam, naik 4,5 persen dibanding tahun lalu.
Pengguna paling banyak adalah industri manufaktur. Lonjakan konsumsi ini memberi sinyal bahwa sektor industri tengah memanas kembali, mendorong kebutuhan energi yang lebih besar dan batu bara kembali menjadi bahan bakar utamanya.
Kombinasi pengetatan produksi dan kenaikan permintaan ini menciptakan ketidakseimbangan pasokan yang menjadi katalis kuat kenaikan harga.
Impor Batu Bara Kokas Meningkat
Sisi lain yang ikut menambah tekanan harga adalah peningkatan impor batu bara kokas dari Mongolia. Data Sxcoal mencatat, arus impor melalui beberapa pos perbatasan utama ke China naik tajam dalam sepekan terakhir.
Kondisi ini menunjukkan bahwa China sedang mencari sumber pasokan alternatif untuk mengimbangi pembatasan di dalam negeri. Bagi Mongolia, momentum ini menguntungkan, tetapi di level kawasan Asia, bisa menimbulkan persaingan logistik dan volatilitas harga baru di pasar ekspor batu bara kokas.
Namun, reli harga yang terjadi juga memunculkan risiko koreksi teknikal. Secara teknikal, batu bara kini berada dalam wilayah bullish kuat. Relative Strength Index (RSI) harian mencapai 76, di atas ambang 70 yang menandakan kondisi jenuh beli (overbought).
Stochastic RSI bahkan menyentuh level maksimal 100. Hal ini mempertegas bahwa euforia beli sudah sangat tinggi. Dengan indikator seperti ini, potensi pullback atau koreksi teknikal dalam waktu dekat cukup besar, terutama jika pelaku pasar mengambil posisi ambil untung setelah reli tiga hari.
Untuk perdagangan Rabu (5/11/2025), level pivot harian berada di sekitar USD109 per ton. Jika tekanan jual muncul, harga berpotensi terkoreksi ke area support USD108 hingga USD104 per ton. Namun bila momentum beli masih bertahan, resisten utama terletak di USD112 per ton. Penembusan di atas titik ini akan membuka ruang kenaikan lanjutan menuju rentang USD116–122 per ton—level yang menjadi target jangka pendek pelaku pasar energi.
Secara makro, reli batu bara kali ini menunjukkan bahwa transisi energi global belum sepenuhnya menggoyahkan posisi komoditas fosil tersebut. Meskipun pada KTT COP28 di Dubai negara-negara bersepakat mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil, implementasi di lapangan masih jauh dari tuntas.
Sekitar 60 negara bahkan belum melaporkan progres pengurangan produksi dan subsidi energi fosil. Artinya, ketegangan antara agenda hijau global dan kebutuhan energi riil masih terus berlangsung. Dan dalam jangka pendek, batu bara tetap akan menjadi tulang punggung energi industri, khususnya di Asia.
Dengan kombinasi faktor teknikal yang sudah jenuh beli, tren permintaan industri yang masih solid, dan pasokan yang menipis akibat kebijakan domestik China, harga batu bara kini berada di persimpangan antara koreksi jangka pendek dan potensi reli lanjutan.
Arah berikutnya akan banyak ditentukan oleh bagaimana regulator China menyeimbangkan stabilitas harga dengan kebutuhan energi nasional di tengah musim dingin yang mendekat. Untuk sementara, si batu hitam masih memimpin panggung energi dunia dan belum ada tanda-tanda cepat menyerah pada transisi hijau.(*)