Logo
>

Rencana Badan Penerimaan Negara Masuk RKP 2025, Ekonom Singgung Shortfall Pajak

BPN sendiri merupakan konsep reformasi kelembagaan yang selama ini menjadi pembahasan panjang di Kementerian Keuangan dan DPR

Ditulis oleh Desty Luthfiani
Rencana Badan Penerimaan Negara Masuk RKP 2025, Ekonom Singgung Shortfall Pajak
Kawasan perkantoran Sudirman, Jakarta Selatan. Foto: KabarBursa.com/Abbas

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM – Pemerintah menyiapkan pembentukan Badan Penerimaan Negara (BPN) yang tercantum dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2025. Lembaga tersebut dirancang sebagai otoritas penerimaan terpadu yang menggabungkan fungsi Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), serta penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Tujuannya: meningkatkan efektivitas pemungutan, menutup celah kebocoran, dan memperbaiki layanan publik.

    BPN sendiri merupakan konsep reformasi kelembagaan yang selama ini menjadi pembahasan panjang di Kementerian Keuangan dan DPR. Modelnya mirip revenue authority di negara lain seperti Canada Revenue Agency atau South African Revenue Service—lembaga semi-otonom yang fokus pada pemungutan dan penegakan kepatuhan pajak dan bea-cukai, sedangkan fungsi perumusan kebijakan tetap di kementerian keuangan.

    Ekonom dan pakar kebijakan publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, menilai pembentukan BPN adalah langkah strategis jangka panjang, namun ekspektasi publik harus realistis.

    “BPN penting untuk masa depan penerimaan negara, tapi bukan obat cepat shortfall pajak tahun ini,” kata Achmad dalam keterangan tertulis dikutip Jumat, 19 September 2025.

    Ia menjelaskan, hingga pertengahan tahun realisasi penerimaan pajak cenderung tertahan di kisaran pertengahan 40 hingga 50 persen target, dengan beban akselerasi yang berat di semester kedua. Sementara basis konsumsi yang menopang PPN melunak seiring moderasi permintaan domestik dan harga komoditas yang tak setinggi periode puncak.

    Menurutnya, masalah mendasar ada pada struktur administrasi penerimaan negara yang terfragmentasi. Pajak, bea-cukai, dan PNBP masih berjalan dalam silo fungsi, data, dan proses yang berbeda, sehingga negara kehilangan pemandangan utuh wajib bayar. Ia menilai BPN ditawarkan sebagai instrumen integrasi yang diharapkan memulihkan single taxpayer & trader view, menyatukan alur pendaftaran, pelaporan, pembayaran, restitusi, penagihan hingga penindakan dalam satu orkestrasi.

    “BPN bukan cuma ganti papan nama, tapi membangun otak tengah penerimaan negara,” ujarnya.

    Dalam konsepnya, kebijakan tetap berada di Kementerian Keuangan agar keselarasan fiskal terjaga, sementara fungsi pemungutan dan penegakan ditaruh pada satu entitas operasional yang lincah dan diikat kontrak kinerja terukur. Konsolidasi data dan proses—misalnya faktur PPN yang terhubung dengan deklarasi kepabeanan, profil PPh korporasi berdampingan dengan jejak transaksi lintas batas, hingga PNBP masuk ke revenue account yang memakai tata kelola seragam—diharapkan mempersempit compliance gap tanpa menaikkan tarif pajak.

    Namun Achmad menekankan, memasukkan BPN ke RKP 2025 hanyalah langkah awal. Mewujudkan lembaga fungsional membutuhkan desain organisasi, arsitektur TI terpadu, manajemen perubahan SDM, serta sinkronisasi kewenangan dengan kerangka perundang-undangan sektoral. “Banyak negara butuh transisi multi-tahun. Indonesia tidak berbeda,” jelasnya.

    Ia menganalogikan kas negara seperti pasien di UGD yang mengalami perdarahan shortfall pajak. “Mendirikan BPN itu seperti membangun rumah sakit baru dengan peralatan kelas dunia. Sangat penting untuk masa depan layanan, tapi tidak menyelamatkan pasien malam ini,” ucapnya.

    Untuk itu ia menyarankan langkah cepat 2025 mengandalkan disiplin administrasi yang sudah ada. Strateginya meliputi stabilisasi core tax system agar tidak ada gangguan layanan pada puncak pelaporan, validasi e-Faktur, post-refund audit untuk perkara material, penagihan berbasis risiko pada tunggakan prioritas, serta koordinasi DJP–DJBC–PNBP untuk menutup celah kebocoran berbasis perdagangan.

    “Quick wins 2025 lahir dari administrasi yang disiplin, bukan entitas baru,” tegasnya.

    Achmad juga mengusulkan pemerintah memetakan quick wins triwulanan: data matching PPN impor–domestik di sektor bernilai tinggi, penanganan restitusi berbasis risk scoring, penagihan selektif yang menurunkan aging piutang pajak, serta pembentukan joint task force DJP–DJBC untuk memperkecil trade mispricing. Langkah-langkah ini bisa berjalan tanpa menunggu payung hukum baru, sekaligus mempersiapkan lintasan mulus bagi BPN ketika beroperasi.

    Agar manfaat BPN maksimal dan risikonya minimal, ia menyarankan peta jalan bertahap. Tahun pertama fokus pada blueprint kelembagaan dan pilot modul berdampak tinggi seperti case management restitusi PPN dan risk engine lintas DJP–DJBC. Tahun kedua roll-out terbatas dengan service level agreement diumumkan ke publik, dan tahun ketiga go live nasional dengan pengamanan layanan inti agar penerimaan tidak terganggu.

    “BPN bukan soal menaikkan tarif atau menambah beban, tapi menurunkan biaya kepatuhan, mempercepat layanan, dan menutup kebocoran. Komunikasi publik yang jernih penting supaya dukungan politik tetap terjaga,” tambahnya.

    Ia menjelaskan, BPN memang elemen penting arsitektur penerimaan negara masa depan, tetapi kemenangan paling penting tahun ini tetap berasal dari administrasi yang disiplin memperkuat sistem yang ada, menajamkan ekstensifikasi dan penegakan, serta menyelaraskan kerja lintas instrumen.

    “Negara butuh pemasukan yang pasti, dunia usaha butuh kepastian yang sederhana. BPN bisa memberi keduanya asal kita menahap, bukan mengebut,” ujar Achmad.(*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Desty Luthfiani

    Desty Luthfiani seorang jurnalis muda yang bergabung dengan KabarBursa.com sejak Desember 2024 lalu. Perempuan yang akrab dengan sapaan Desty ini sudah berkecimpung di dunia jurnalistik cukup lama. Dimulai sejak mengenyam pendidikan di salah satu Universitas negeri di Surakarta dengan fokus komunikasi jurnalistik. Perempuan asal Jawa Tengah dulu juga aktif dalam kegiatan organisasi teater kampus, radio kampus dan pers mahasiswa jurusan. Selain itu dia juga sempat mendirikan komunitas peduli budaya dengan konten-konten kebudayaan bernama "Mata Budaya". 

    Karir jurnalisnya dimulai saat Desty menjalani magang pendidikan di Times Indonesia biro Yogyakarta pada 2019-2020. Kemudian dilanjutkan magang pendidikan lagi di media lokal Solopos pada 2020. Dilanjutkan bekerja di beberapa media maenstream yang terverifikasi dewan pers.

    Ia pernah ditempatkan di desk hukum kriminal, ekonomi dan nasional politik. Sekarang fokus penulisan di KabarBursa.com mengulas informasi seputar ekonomi dan pasar modal.

    Motivasi yang diilhami Desty yakni "do anything what i want artinya melakukan segala sesuatu yang disuka. Melakukan segala sesuatu semaksimal mungkin, berpegang teguh pada kebenaran dan menjadi bermanfaat untuk Republik".