Logo
>

RI Buka Ekspor Mineral, Pakar Nilai AS Hanya Cari Akses Murah SDA

Kesepakatan dagang RI-AS dinilai mengancam hilirisasi, membuka celah eksploitasi sumber daya alam, dan membebani anggaran negara.

Ditulis oleh Moh. Alpin Pulungan
RI Buka Ekspor Mineral, Pakar Nilai AS Hanya Cari Akses Murah SDA
Ilustrasi: Pabrik nikel sulfat milik PT Trimegah Bangun Persada Tbk (NCKL). Pabrik ini merupakan yang pertama di Indonesia dan terbesar di dunia dari sisi kapasitas produksi. Foto: Dok. NCKL.

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM – Rencana kerja sama dagang antara Indonesia dan Amerika Serikat mendapat sorotan tajam dari sejumlah pakar. Di tengah dorongan kuat pemerintah untuk mempercepat hilirisasi dan memperkuat kedaulatan ekonomi, isi kesepakatan justru dinilai berpotensi mengebiri arah kebijakan tersebut. Salah satu isu utama adalah pembukaan akses bebas hambatan bagi ekspor mineral kritis dari Indonesia ke AS yang bertolak belakang dengan semangat Undang-Undang Minerba dan visi pembangunan industri nasional.

    Direktur Ekseskutif Transisi Bersih, Abdurrahman Arum, menyoroti ketimpangan struktur kesepakatan tarif antara kedua negara. Ia menilai langkah ini hanya memberi keuntungan sepihak kepada Amerika Serikat. Di satu sisi, negara adidaya itu tetap mengenakan tarif tinggi atas produk-produk ekspor Indonesia. Di sisi lain, mereka justru meminta pembukaan keran ekspor tanpa batas atas bahan mentah strategis dari Indonesia.

    “Ini adalah bentuk eksploitasi modern, state bullying—bukan dengan senjata, tapi lewat tekanan kebijakan. Pemerintah Indonesia harus menolak skema yang tidak rasional seperti ini yang menghambat hilirisasi, mengancam kedaulatan ekonomi, dan mengekalkan posisi Indonesia sebagai pemasok bahan mentah bagi negara maju,” ujar Abdurrahman dalam keterangan tertulis, dikutip Senin, 28 Juli 2025.

    Ia mengingatkan skema ini bertentangan langsung dengan pasal 170 A Undang-Undang Minerba No 3 Tahun 2020, yang sejatinya hanya mengizinkan ekspor mineral mentah hingga 2023. Dengan demikian, kesepakatan yang membuka kembali ekspor bahan mentah seperti nikel atau tembaga tidak hanya mengaburkan arah hilirisasi, tetapi juga berpotensi melanggar payung hukum yang berlaku.

    Nada serupa disampaikan oleh Policy Strategist Yayasan CERAH, Sartika Nur Shalati. Ia menilai kesepakatan tersebut bisa mengulang kesalahan lama, ketika Indonesia hanya berperan sebagai pemasok bahan mentah untuk industri global. Padahal sejak 2020, pemerintah telah menegaskan larangan ekspor bijih mineral demi mengembangkan rantai pasok di dalam negeri.

    Menurut Sartika, pembukaan ekspor mineral kritis dapat menghambat pembentukan lapangan kerja di sektor manufaktur, terutama dalam industri kendaraan listrik yang tengah berkembang.

    Tak hanya itu, posisi Indonesia juga bisa semakin rentan di mata mitra dagang lainnya, khususnya Uni Eropa. Pasca kekalahan Indonesia dalam gugatan larangan ekspor bijih nikel di WTO, memberi perlakuan khusus kepada AS bisa memicu negara-negara lain menuntut perlakuan serupa.

    “Kesepakatan dengan AS dapat melemahkan narasi kedaulatan sumber daya dan membuka celah bagi pihak lain untuk menggugat kebijakan nasional yang dianggap diskriminatif. Dalam hal ini, bisa saja kemudian Indonesia terpaksa membuka kembali ekspor bijih mineral ke negara lain selain AS, selama kesepakatannya dianggap menguntungkan,” jelasnya.

    Aspek energi juga tak luput dari perhatian. Kesepakatan impor gas dari AS dinilai bertentangan dengan janji Presiden Prabowo Subianto untuk mencapai swasembada energi dan transisi ke sumber energi terbarukan. Direktur Eksekutif SUSTAIN, Tata Mustasya, menilai kebijakan tersebut justru akan memperbesar beban subsidi energi dan menciptakan ketergantungan baru terhadap bahan bakar fosil.

    Di samping itu, hal ini juga akan menciptakan ketergantungan energi Indonesia terhadap AS. Indonesia pun akan terus menyumbang emisi global yang memperparah krisis iklim. "Alih-alih digunakan untuk mensubsidi penggunaan gas, Indonesia harus menambah pembiayaan energi terbarukan untuk mewujudkan swasembada energi dan mendorong pertumbuhan industri hijau,” kata Tata.

    Selain merugikan secara fiskal, pelonggaran ekspor mineral juga membawa ancaman ekologis yang tak kecil. Sartika kembali mengingatkan banyak proyek tambang saat ini belum memenuhi standar tata kelola lingkungan, seperti transparansi emisi dan pemulihan pasca tambang. Ia khawatir kesepakatan ini akan semakin melemahkan kontrol negara terhadap industri ekstraktif.

    “Dalam situasi seperti ini, membuka kembali keran ekspor nikel ke AS tanpa syarat ketat akan semakin menggerus kontrol negara atas tata kelola nikel, dan pada akhirnya, memperparah krisis lingkungan yang sudah terjadi saat ini,” katanya.(*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Moh. Alpin Pulungan

    Asisten Redaktur KabarBursa.com. Jurnalis yang telah berkecimpung di dunia media sejak 2020. Pengalamannya mencakup peliputan isu-isu politik di DPR RI, dinamika hukum dan kriminal di Polda Metro Jaya, hingga kebijakan ekonomi di berbagai instansi pemerintah. Pernah bekerja di sejumlah media nasional dan turut terlibat dalam liputan khusus Ada TNI di Program Makan Bergizi Gratis Prabowo Subianto di Desk Ekonomi Majalah Tempo.

    Lulusan Sarjana Hukum Universitas Pamulang. Memiliki minat mendalam pada isu Energi Baru Terbarukan dan aktif dalam diskusi komunitas saham Mikirduit. Selain itu, ia juga merupakan alumni Jurnalisme Sastrawi Yayasan Pantau (2022).