KABARBURSA.COM – Pemerintah Indonesia mengajukan komitmen dagang senilai USD 34 miliar kepada Amerika Serikat (AS) menjelang tenggat 9 Juli 2025, guna menghindari tarif tetap (fixed tariff) sebesar 32 persen yang digagas pemerintahan Presiden Donald Trump.
Langkah ini menjadi bagian dari negosiasi intensif Indonesia dalam skema Tariff 2.0 yang diluncurkan AS terhadap mitra dagangnya yang dianggap tidak memberikan konsesi seimbang.
Tarif tinggi ini merupakan bagian dari kebijakan unilateral AS yang menargetkan sejumlah negara, termasuk anggota BRICS seperti Indonesia, China, Brasil, Rusia, dan India. Sebagai balasannya, negara-negara tersebut kini berlomba menyepakati trade deal bilateral untuk menghindari lonjakan tarif yang bisa mencapai 46 persen.
RI Dituding Terapkan Hambatan Non-Tarif
AS menetapkan tarif 32 persen kepada Indonesia dengan alasan adanya hambatan non-tarif, antara lain penerapan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN), kewajiban Devisa Hasil Ekspor (DHE), serta kebijakan perizinan impor yang dianggap diskriminatif.
Namun, pemerintah Indonesia langsung bergerak cepat dengan menyusun proposal komprehensif yang mencakup sembilan inisiatif utama untuk mencapai kesepakatan dagang dengan AS sebelum tenggat 9 Juli.
Dalam risetnya, Liza Camelia Suryanata, Head of Research Kiwoom Sekuritas Indonesia, menyebut bahwa negosiasi ini krusial, karena jika gagal maka ekspor Indonesia ke AS akan dikenai tarif tetap yang mengancam daya saing dan arus investasi.
Langkah utama yang ditawarkan pemerintah Indonesia adalah komitmen impor barang dari AS senilai USD34 miliar, yang jauh melebihi surplus dagang Indonesia terhadap AS yang selama ini hanya berkisar USD18–19 miliar per tahun.
Paket tersebut mencakup pembelian energi sebesar USD 15,5 miliar, termasuk minyak mentah, LNG, dan gasoline. Selain itu, Indonesia juga menjanjikan peningkatan impor gandum, kedelai, serta produk pertanian lainnya.
“Komitmen ini menunjukkan keseriusan Indonesia untuk menjaga relasi dagang strategis dengan AS dan mencegah dampak buruk tarif tetap,” kata Liza Camelia, dikutip Selasa, 8 Juli 2025.
Akses Khusus untuk Perusahaan AS di Indonesia
Selain pembelian komoditas, pemerintah juga menawarkan berbagai insentif untuk perusahaan AS yang beroperasi di Indonesia. Ini termasuk pelonggaran aturan TKDN, akses sistem pembayaran domestik GPN, serta proteksi kekayaan intelektual.
Langkah ini diharapkan bisa menarik lebih banyak investasi teknologi dan manufaktur dari AS, yang sejalan dengan program hilirisasi dan digitalisasi industri dalam negeri.
Indonesia juga menawarkan kolaborasi rantai pasok untuk mineral kritis seperti nikel, serta kebijakan pengetatan terhadap kepemilikan asing yang tidak sesuai aturan, guna menjamin kepastian hukum bagi mitra strategis.
Sebagai bagian dari pendekatan komprehensif, Indonesia juga menyertakan rencana pembelian pesawat dan alat utama sistem persenjataan (alutsista) dari perusahaan-perusahaan AS.
Garuda Indonesia tengah menjajaki pengadaan armada baru dari Boeing, sementara Kementerian Pertahanan membuka peluang pembelian sistem pertahanan dari Lockheed Martin dan Raytheon.
Rencana ini diposisikan sebagai counter-offer strategis untuk memperdalam kerja sama bilateral di luar konteks perdagangan komoditas biasa.
Pemerintah juga menyatakan kesiapannya untuk menurunkan tarif hingga nol persen terhadap sekitar 1.700 jenis produk asal AS, yang setara dengan 70 persen dari total nilai impor AS ke Indonesia saat ini.
Produk-produk tersebut mencakup barang konsumsi, mesin industri, komponen teknologi, serta alat kesehatan. Pelonggaran tarif ini diharapkan bisa memperkuat posisi tawar Indonesia dalam negosiasi, serta mendorong perdagangan dua arah yang lebih seimbang.
Peran BUMN dan Danantara dalam Negosiasi
Pemerintah menunjuk sejumlah BUMN strategis dan lembaga pembiayaan seperti Danantara untuk mendanai serta mengeksekusi program-program dalam kerangka trade deal ini.
Langkah ini sekaligus menjadi sinyal bahwa strategi negosiasi Indonesia didesain sebagai proyek nasional lintas sektor, bukan hanya urusan Kementerian Perdagangan semata.
“Pelibatan Danantara dan BUMN seperti Pertamina dan INALUM menunjukkan bahwa Indonesia melihat ini sebagai proyek jangka panjang dengan dimensi ekonomi dan geopolitik,” kata Liza.
MoU Dijadwalkan 7 Juli 2025
MoU atau nota kesepahaman antara Indonesia dan AS dijadwalkan akan ditandatangani pada 7 Juli 2025. Dokumen ini akan menjadi deklarasi resmi atas komitmen dagang kedua negara sebelum keputusan final diterapkan pada 9 Juli.
Pemerintah berharap bisa memperoleh perlakuan tarif serupa atau bahkan lebih rendah dari Vietnam, yang sebelumnya berhasil menurunkan tarif dari 46 persen menjadi hanya 20 persen melalui negosiasi serupa.
Jika tidak tercapai kesepakatan sebelum 9 Juli, Indonesia terancam kehilangan akses preferensial ke pasar AS dan terkena fixed tariff sebesar 32 persen. Ini bisa memukul ekspor manufaktur, tekstil, elektronik, serta hasil pertanian dan perikanan.
Selain itu, tekanan terhadap nilai tukar rupiah dan investasi portofolio asing juga berpotensi meningkat.
Strategi China: Bebas Tarif untuk Afrika
Dalam konteks global, Tiongkok mengambil langkah berbeda dengan menawarkan bebas tarif untuk 98 persen produk dari negara-negara Afrika termiskin. Kebijakan ini dinilai sebagai bagian dari strategi ekspansi pengaruh ekonomi Tiongkok di kawasan Global South.
Langkah tersebut tidak hanya menciptakan goodwill, tetapi juga membuka jalur masuk bagi industri Tiongkok ke sektor pertanian, manufaktur, dan teknologi di Afrika.
Menurut Kiwoom Sekuritas, Indonesia bisa meniru pendekatan ini dengan menjalin skema preferensi tarif terhadap negara-negara berkembang lain di Asia Selatan, Pasifik, dan Afrika.
Strategi ini juga relevan untuk mendukung transformasi industri nasional yang berorientasi ekspor, seperti tekstil, otomotif ringan, dan pangan olahan. Selain itu, skema perdagangan bilateral ini bisa mendorong penggunaan local currency settlement (LCS) atau bilateral currency swap arrangement (BCSA), untuk mengurangi ketergantungan terhadap dolar AS.
“Indonesia bisa memperkuat posisinya di BRICS dan Global South dengan memainkan diplomasi dagang aktif, sambil membuka jalur investasi dua arah yang lebih luas,” ujar Liza. (*)