KABARBURSA.COM – Pemerintah menegaskan tidak akan menarik diri dari keanggotaan Indonesia di blok ekonomi BRICS, meski Presiden Amerika Serikat Donald Trump berencana mengenakan tambahan tarif resiprokal sebesar 10 persen kepada seluruh negara anggota BRICS, termasuk Indonesia.
Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi menyampaikan bahwa saat ini pemerintah memilih tetap berada di jalur diplomasi dan negosiasi aktif dengan pihak AS.
“Enggak (keluar). Jadi yang per hari ini dapat kami sampaikan adalah kita tetap melanjutkan upaya untuk bernegosiasi dengan pemerintah AS. Berdasarkan apa yang disampaikan Presiden Trump, di situ kan memberi tenggat waktu sampai 1 Agustus,” ujar Prasetyo, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu, 9 Juli 2025.
Menurutnya, pemerintah tidak gegabah menyikapi rencana pengenaan tarif tersebut. Ia menekankan bahwa saat ini tim ekonomi, termasuk Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, tengah bekerja keras melanjutkan proses negosiasi agar dampak kebijakan dagang AS bisa diminimalkan.
“Tadi malam kami berkoordinasi juga dengan Menko Ekonomi untuk kemudian melanjutkan kembali proses negosiasi,” kata dia.
Mengenai potensi beban tarif gabungan sebesar 42 persen (gabungan tarif dasar 32 persen plus tambahan 10 persen), Prasetyo menegaskan bahwa skema tersebut masih bersifat rencana dan belum resmi diberlakukan.
“Belum, belum. Kan baru disampaikan begitu, skemanya kan begitu, nah ini kan masih ada waktu, masih ada jeda,” jelasnya.
Ia pun meminta doa dan dukungan publik agar proses negosiasi bisa membuahkan hasil terbaik bagi kepentingan ekonomi nasional.
“Minta tolong aja kita, doakan tim yang sedang bernegosiasi supaya bisa menghasilkan yang terbaik lah untuk bangsa kita,” tutupnya.
Trump Ultimatum RI dengan Tarif 32 Persen
Indonesia resmi masuk daftar negara yang diultimatum Presiden Donald Trump. Dalam surat tertanggal 7 Juli 2025 yang dialamatkan langsung kepada Presiden Prabowo Subianto, Trump menegaskan bahwa mulai 1 Agustus 2025 seluruh produk Indonesia yang mendarat di pasar Amerika akan dikenai tarif tunggal sebesar 32 persen.
“Mulai 1 Agustus 2025, kami akan mengenakan tarif sebesar 32 persen terhadap semua produk Indonesia yang dikirim ke Amerika Serikat, terpisah dari seluruh tarif sektoral yang telah berlaku,” tulis Trump pada paragraf kedua surat sepanjang dua halaman itu.
Tarif ini bersifat menyeluruh, meliputi tekstil, alas kaki, makanan olahan, furnitur, hingga produk karet, dan dikenakan di luar tarif sektoral yang sudah berlaku. Trump menegaskan bea masuk tersebut masih “jauh lebih kecil” dari defisit perdagangan yang dituding disebabkan kebijakan tarif dan non-tarif Indonesia.

Data dari United States Trade Representative mencatat nilai ekspor barang Indonesia ke Amerika Serikat sepanjang 2024 mencapai USD28,1 miliar, sementara impor dari AS ke Indonesia hanya sebesar USD10,2 miliar. Angka ini meninggalkan surplus perdagangan sekitar USD17,9 miliar di pihak Indonesia, selisih neraca dagang yang selama ini menjadi sorotan dalam berbagai agenda dagang bilateral. Surplus inilah yang oleh Trump dianggap “ancaman terhadap perekonomian dan keamanan nasional AS”.
“Harap dipahami bahwa tarif-tarif ini diperlukan untuk mengoreksi bertahun-tahun kebijakan tarif dan non-tarif serta hambatan dagang Indonesia, yang telah menyebabkan defisit perdagangan terhadap Amerika Serikat yang tidak berkelanjutan,” tulis Trump.
Selama kuartal pertama 2025, Badan Pusat Statistik mencatat nilai ekspor Indonesia ke Amerika Serikat tercatat sebesar USD7,3 miliar. Dari angka itu, mesin dan perlengkapan elektrik (kode HS 85) menjadi penyumbang utama dengan nilai ekspor mencapai USD1,22 miliar, setara dengan 16,7 persen dari total ekspor ke Negeri Paman Sam.
Alas kaki menempati urutan kedua dengan kontribusi USD657,9 juta (9 persen), disusul pakaian rajutan (HS 61) sebesar USD629,2 juta dan pakaian bukan rajutan (HS 62) senilai USD568,4 juta. Dua subsektor tekstil ini secara kolektif menguasai hampir 17 persen dari total ekspor ke AS.
Ekspor minyak dan lemak nabati, sebagian besar dari sawit, menyusul di belakang dengan nilai USD507,2 juta. Diikuti produk furnitur dan alat penerangan (HS 94) sebesar USD410,4 juta, serta karet dan produk turunannya (HS 40) senilai USD397,6 juta.
Komoditas ekspor unggulan lainnya mencakup hasil perikanan seperti ikan dan udang senilai USD287,3 juta, mesin-mesin mekanik sebesar USD244,5 juta, serta kakao dan produk olahannya senilai USD235,9 juta. Sementara itu, ekspor dari berbagai produk lain yang tidak termasuk dalam daftar utama mencapai lebih dari USD2,1 miliar, atau hampir sepertiga dari total ekspor Indonesia ke Amerika Serikat.
Alih-alih hanya memuat ancaman, surat Trump juga menyisipkan insentif tersembunyi. Ia membuka ruang negosiasi melalui skema relokasi industri sebagai jalan keluar dari tarif tinggi. Dengan kata lain, produk Indonesia bisa tetap masuk pasar AS tanpa dikenai bea masuk, asal dibuat langsung di sana.
“Tidak akan ada tarif jika Indonesia, atau perusahaan-perusahaan di dalam negeri Anda, memutuskan untuk membangun atau memproduksi barang di Amerika Serikat,” kata Trump, seraya menjanjikan proses perizinan yang “cepat, profesional, dan rutin—dengan kata lain, hanya dalam hitungan minggu,” tulis Trump.
Bagian penutup surat juga menyiratkan peluang kompromi.
“Jika Anda bersedia membuka pasar dagang yang selama ini tertutup bagi Amerika Serikat, dan menghapus tarif serta hambatan non-tarif dan kebijakan dagang lainnya, kami mungkin akan mempertimbangkan penyesuaian terhadap surat ini. Tarif-tarif ini dapat diubah, naik atau turun, tergantung pada hubungan kami dengan negara Anda,” kata Trump.
Ultimatum tarif 32 persen ini menjadi lonceng peringatan bagi Indonesia. Tekstil, alas kaki, furnitur, dan makanan olahan, empat pilar ekspor padat karya, terancam kehilangan daya saing. Pemerintah perlu bergerak cepat dengan memperkuat posisi tawar di meja negosiasi, menyiapkan bantalan fiskal bagi industri terdampak, sekaligus mempercepat diversifikasi pasar. (*)