Logo
>

Risiko Global 2026 Meningkat: Ekonom Nilai Tekanan Berpotensi Tahan Ekonomi RI

Perekonomian AS dan China berkontribusi hampir separuh dari perekonomian global

Ditulis oleh Ayyubi Kholid
Risiko Global 2026 Meningkat: Ekonom Nilai Tekanan Berpotensi Tahan Ekonomi RI
Ilustrasi Pertumbuhan Ekonomi Dengan Lambang Uang Rupiah. Foto: Dok KabarBursa.com

Poin Penting :

    KABARBRSA.COM – Risiko perekonomian global pada 2026 diperkirakan meningkat seiring melemahnya konsumsi di negara maju, khususnya Amerika Serikat (AS) dan China. Chief Global Economist J.P. Morgan, Bruce Kasman, menilai tekanan tersebut terjadi bersamaan dengan penurunan upah dan inflasi tinggi akibat eskalasi perang dagang baru antara AS dan China.

    Ekonom Universitas Hasanuddin, Muhammad Syarkawi Rauf, menyebut kondisi global tersebut menjadi sumber tekanan utama bagi perekonomian dunia, mengingat kontribusi AS dan China yang mencapai hampir separuh ekonomi global.

    “Perekonomian AS dan China berkontribusi hampir separuh dari perekonomian global, yaitu sekitar 45 persen dari Gross Domestic Product (GDP) harga konstan global tahun 2024,” kata Syarkawi dalam keterangannya, Rabu 17 Desember 2025.

    Ia menjelaskan, risiko global 2026 tidak hanya berasal dari sisi konsumsi, tetapi juga dari perubahan arah kebijakan perdagangan internasional. Kebijakan tarif AS dinilai mendorong dunia memasuki fase proteksionisme baru yang memicu pembentukan blok perdagangan.

    “Risiko utama perekonomian global tahun 2026 juga bersumber dari kebijakan tarif AS yang membawa perekonomian global memasuki fase proteksionisme baru (new protectionism),” ujarnya.

    Kondisi tersebut diperkirakan berdampak langsung pada perdagangan global. Syarkawi mencatat pertumbuhan perdagangan dunia berpotensi turun tajam pada 2026.

    “Akibatnya, pertumbuhan perdagangan global diperkirakan akan mengalami penurunan yang sangat signifikan, yaitu dari 2,4 persen tahun 2025 menjadi hanya 0,5 persen tahun 2026 secara tahunan,” jelasnya.

    Tekanan lain datang dari inflasi tinggi di negara maju yang membatasi ruang bank sentral untuk menurunkan suku bunga.

    “Perekonomian global tahun 2026 masih akan berada dalam rezim suku bunga tinggi,” kata Syarkawi.

    Ia merujuk perhitungan The Fed yang menunjukkan kenaikan tarif perdagangan berpotensi mendorong inflasi secara signifikan.

    “Peningkatan 10 persen biaya perdagangan global yang disebabkan oleh kenaikan tarif terhadap intermediate goods akan meningkatkan inflasi CPI sebesar 0,3 persen,” ujarnya.

    Selain faktor perdagangan dan inflasi, Syarkawi menyoroti risiko fiskal global akibat lonjakan utang pemerintah, sejalan dengan konsep the big debt cycle yang dikemukakan Ray Dalio.

    “Fenomena ini membuat pertumbuhan utang pemerintah sebagai persentase terhadap GDP meningkat sangat signifikan,” ungkapnya.

    Ia mencontohkan rasio utang pemerintah terhadap PDB di sejumlah negara maju yang telah berada pada level tinggi, seperti AS 123 persen dan Jepang 235 persen.

    Akumulasi risiko tersebut diperkirakan menekan pertumbuhan ekonomi global pada 2026.

    “Peningkatan risiko perekonomian global tahun 2026 berdampak pada pelambatan pertumbuhan ekonomi global, yaitu diperkirakan tumbuh sekitar 2,6 persen,” kata Syarkawi.

    Dalam konteks Indonesia, ia menilai pola perlambatan juga terjadi dan berpotensi berlanjut hingga 2026.

    “Diperkirakan, pertumbuhan ekonomi Indonesia sekitar 4,9–5,1 persen pada tahun 2025 dan 2026,” ujarnya.

    Menurut Syarkawi, tekanan global tersebut menjalar ke dalam negeri melalui perlambatan ekspor dan melambatnya arus investasi.

    “Potensi pelambatan pertumbuhan ekonomi nasional tahun 2026 akibat meningkatnya risiko perekonomian global menjalar melalui dua saluran, yaitu jalur pelambatan ekspor dan penurunan aliran investasi global,” jelasnya.

    Untuk meredam dampak jangka pendek, ia menilai stimulus fiskal tetap diperlukan guna menjaga konsumsi rumah tangga.

    “Stimulus fiskal diarahkan untuk mempertahankan pertumbuhan konsumsi rumah tangga,” kata Syarkawi.

    Sementara dalam jangka menengah dan panjang, pemerintah didorong melakukan reformasi struktural.

    “Pemerintah dituntut untuk fokus mengatasi secara radikal dan revolusioner masalah-masalah pada sisi produksi (supply side) dengan supply side revolution,” tandasnya.(*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Ayyubi Kholid

    Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.