Logo
>

Risiko Pertumbuhan Ekonomi akibat PPN 12 Persen, Target Delapan Persen Jadi Mitos?

Ditulis oleh Dian Finka
Risiko Pertumbuhan Ekonomi akibat PPN 12 Persen, Target Delapan Persen Jadi Mitos?

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Analis Kebijakan Ekonomi Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Ajib Hamdani, menilai bahwa rencana pemerintah untuk menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen berpotensi memberikan dampak negatif pada pertumbuhan ekonomi nasional, terutama dalam jangka panjang.

    "Kenaikan PPN berpotensi kontraproduktif terhadap pertumbuhan ekonomi karena tekanan pada daya beli masyarakat. Lebih dari 60 persen pertumbuhan ekonomi Indonesia masih ditopang oleh konsumsi domestik. Jika daya beli melemah, konsumsi akan tertekan, dan itu berdampak langsung pada perlambatan ekonomi," ujar Ajib kepada Kabarbursa.com, Senin, 18 November 2024.

    Ajib juga menambahkan bahwa kebijakan ini dapat berdampak pada minat investasi, terutama di kalangan usaha kecil dan startup yang sedang berkembang.

    Pelaku usaha kecil menghadapi tantangan besar dalam menyesuaikan harga jual produk akibat kenaikan PPN. Margin keuntungan mereka semakin tertekan, sehingga sektor ini menjadi kurang menarik bagi investor

    Ajib mengimbau pemerintah untuk memberikan dukungan khusus kepada usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) agar mampu bertahan dalam menghadapi kenaikan PPN. Salah satu langkah yang ia rekomendasikan adalah memperpanjang masa berlaku tarif Pajak Penghasilan (PPh) final sebesar 0,5 persen bagi UMKM.

    "Penambahan masa berlaku tarif PPh 0,5 persen akan membantu menjaga daya tahan UMKM, terutama di tengah dampak kenaikan PPN," kata Ajib.

    Selain itu, ia juga mengusulkan agar pemerintah mengkaji ulang batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), yang sejak 2016 masih berada di angka Rp54 juta per tahun.

    "Jika batas PTKP dinaikkan, daya beli masyarakat dapat terjaga sehingga dampak kenaikan PPN tidak terlalu signifikan terhadap konsumsi domestik," tambahnya.

    Ajib menekankan pentingnya dialog terbuka antara pemerintah dan para pemangku kepentingan, termasuk pengusaha dan masyarakat luas, untuk memastikan kebijakan kenaikan PPN tidak membawa dampak negatif yang lebih besar daripada manfaatnya.

    "Kenaikan PPN ini tidak bisa dilakukan sepihak tanpa mempertimbangkan dampaknya. Pemerintah perlu berdiskusi dengan stakeholder untuk menemukan langkah mitigasi yang tepat, termasuk memberikan insentif bagi pelaku usaha agar roda ekonomi tetap bergerak," tegasnya.

    Di akhir pembicaraannya, Ajib menggarisbawahi pentingnya kebijakan pajak yang seimbang, yakni mampu memenuhi kebutuhan pendapatan negara sekaligus menjaga keberlanjutan sektor usaha.

    "Keseimbangan ini penting untuk memastikan perekonomian tetap tumbuh meski dihadapkan pada tantangan kenaikan pajak," tutupnya.

    Sementara itu, analis senior dari Indonesia Strategic and Economic Action Institution, Ronny P. Sasmita mengungkapkan bahwa kenaikan PPN ini akan mendorong kenaikan harga barang dan jasa, terutama pada sektor makanan dan minuman.

    “Kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen dipastikan akan mengerek harga barang dan jasa, biasanya minimal sebesar kenaikan PPN itu sendiri,” kata Ronny, Minggu, 17 November 2024.

    Kenaikan harga ini dipicu oleh kebijakan perusahaan yang cenderung akan membebankan tambahan biaya PPN kepada konsumen, karena mereka biasanya enggan menanggung kenaikan tersebut sendiri.

    “Perusahaan umumnya tidak akan bersedia menanggung beban kenaikan PPN ini,” ujarnya.

    Akibatnya, masyarakat, khususnya kelas menengah, yang sudah mengalami penurunan daya beli dalam dua tahun terakhir, akan semakin terdampak.

    “Dampaknya akan dirasakan oleh semua lapisan masyarakat, meski yang paling merasakan tentu kelas menengah,” ungkap Ronny.

    Dia menambahkan, dengan semakin menurunnya daya beli, masyarakat cenderung mengurangi konsumsi, yang pada gilirannya akan menurunkan permintaan pasar.

    Penurunan permintaan ini akan berdampak pada produksi perusahaan, yang bisa saja berujung pada pengurangan tenaga kerja atau pemutusan hubungan kerja (PHK).

    “Jika permintaan berkurang, maka produksi juga terancam menurun, yang membuka potensi terjadinya PHK terhadap karyawan,” tuturnya.

    Lebih lanjut, penurunan konsumsi ini dapat berdampak pada prospek investasi di Indonesia. “Dengan menurunnya konsumsi rumah tangga, para investor mungkin akan lebih berhati-hati dalam membuka investasi baru, karena pasar yang melemah,” kata Ronny.

    Dampak yang lebih luas dari kenaikan PPN ini juga bisa menghambat pertumbuhan ekonomi yang diperkirakan sulit mencapai target 5,2 persen pada tahun depan.

    Meski PPN naik, peningkatan tarif ini berisiko menyebabkan penurunan penerimaan negara secara nominal, karena penurunan permintaan di masa mendatang akan berdampak pada penurunan produksi.

    “Kenaikan PPN bisa berbalik kontraproduktif, karena justru menurunkan penerimaan negara dari PPN akibat berkurangnya aktivitas ekonomi,” pungkasnya.

    Sri Mulyani Pastikan Kenaikan PPN 12 Persen

    Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati memastikan penerapan kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen akan mulai diterapkan pada Januari 2025.

    Kata Sri Mulyani, sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), harus dilaksanakan.

    “Undang-undangnya sudah ada, jadi kami perlu mempersiapkan pelaksanaannya dengan baik, namun tetap dengan penjelasan yang jelas. Kami tidak ingin melakukannya sembarangan, karena APBN harus tetap terjaga,” kata Sri Mulyani dalam rapat kerja bersama anggota Komisi XI DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu, 13 November 2024.

    Sri Mulyani mengatakan itu karena anggota Komisi XI mempertanyakan kepastian mengenai kebijakan kenaikan PPN tersebut.

    Mantan Direktur Bank Dunia (World Bank) ini juga memastikan bahwa pemerintah akan memberikan penjelasan yang transparan kepada masyarakat terkait alasan dan manfaat kebijakan kenaikan tarif PPN ini bagi keuangan negara.

    Di tengah tekanan ekonomi, terlihat dari melambatnya tingkat konsumsi masyarakat hingga kuartal III-2024, penyesuaian ini dianggap penting. (*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Dian Finka

    Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.