KABARBURSA.COM - Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, mengungkapkan bahwa pusat perbelanjaan di Jakarta menunjukkan performa yang sangat signifikan, bahkan melampaui pencapaian mal-mal di berbagai belahan dunia.
Dalam acara pembukaan Indonesia Ritel Summit 2024 yang berlangsung di Jakarta Utara pada Rabu, 28 Agustus 2024, Airlangga menegaskan bahwa sektor ritel di Jakarta terus menunjukkan kinerja positif di tengah ketidakpastian ekonomi global.
Airlangga menyebutkan bahwa omzet pusat perbelanjaan di Jakarta mencapai Rp700 triliun per tahun, dengan pertumbuhan tahunan sektor ritel mencapai 12 persen. "Kita lihat, mal di Jakarta bahkan lebih baik dibandingkan dengan mal-mal di luar negeri, termasuk yang ada di San Francisco. Ini adalah prestasi yang patut diapresiasi," ujar Airlangga.
Dia juga menambahkan bahwa tingginya pendapatan per kapita di Jakarta menjadi salah satu faktor utama yang mendorong ketahanan sektor ritel. "Jakarta telah melewati jebakan pendapatan menengah, dengan pendapatan rata-rata mencapai USD 20.000 per tahun," jelasnya.
Airlangga menekankan bahwa pertumbuhan ekonomi suatu kota dapat tercermin dari jumlah dan jenis ritel yang ada. "Perkembangan ekonomi bisa dilihat dari jenis ritel yang ada di kota tersebut. Misalnya, jumlah outlet Alfamart, Indomaret, Ace Hardware, hingga iBox, semua ini menjadi indikator daya beli dan kesehatan ekonomi nasional," tambahnya.
Di sisi lain, Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) memperkirakan bahwa pertumbuhan industri ritel modern sepanjang 2024 hanya akan mencapai 4,1 persen hingga 4,2 persen year-on-year (yoy). Angka ini lebih rendah dibandingkan dengan realisasi semester pertama 2023 yang mencapai 4,85 persen. Ketua Umum Aprindo, Roy Nicholas Mandey, mengungkapkan bahwa pada kuartal kedua 2024, pertumbuhan ritel modern hanya mencapai 3,5 persen yoy, jauh di bawah capaian pada periode yang sama tahun sebelumnya.
Roy menjelaskan bahwa perlambatan ini disebabkan oleh menurunnya daya beli konsumen, yang dipengaruhi oleh maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK) di berbagai sektor industri. "Pertumbuhan ritel terkoreksi oleh adanya deflasi berturut-turut, yang mengindikasikan penurunan permintaan dan belanja. Ini berarti konsumen mulai menahan pengeluaran mereka," kata Roy.
Roy juga memperkirakan bahwa momentum pemilihan kepala daerah (Pilkada) yang akan berlangsung pada November 2024 dapat mempengaruhi perilaku belanja konsumen.
Ilusi Lonjakan Ritel
Mengutip Investing, laporan penjualan eceran terbaru menunjukkan lonjakan signifikan sebesar 1,0 persen dari bulan ke bulan, melampaui ekspektasi. Meskipun angka ini mendukung gagasan tentang konsumen yang tangguh, lonjakan tersebut lebih merupakan anomali daripada indikator yang konsisten.
Sejak 2021, penjualan eceran riil hampir stagnan. Ini tidak mengejutkan, mengingat konsumen mulai kehabisan tabungan untuk mempertahankan standar hidup mereka.
Grafik penjualan eceran riil dengan jelas menggambarkan dilema konsumen. Selama dua tahun terakhir, penjualan eceran tidak menunjukkan pertumbuhan yang sesuai dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang lebih kuat.
Pertumbuhan penjualan eceran riil yang datar biasanya merupakan indikasi sebelum terjadinya resesi dan sinyal melemahnya pertumbuhan ekonomi.
Dengan adanya lonjakan besar dalam pengeluaran yang dipicu oleh putaran stimulus Pemerintah, pemulihan penjualan eceran ke tren jangka panjang memerlukan waktu lebih lama dibandingkan periode sebelumnya, menyebabkan para ekonom percaya bahwa situasi kali ini berbeda.
Namun, sebelum kita terlalu bersemangat, mari kita telaah bagaimana angka-angka ini dihitung. Data penjualan eceran terkenal tidak stabil. Faktor-faktor seperti cuaca, hari libur, dan bahkan hari dalam seminggu mempengaruhi hasilnya.
Untuk mengatasi fluktuasi ini, data disesuaikan secara musiman. Grafik menunjukkan besarnya penyesuaian musiman sejak tahun 1992, dan menariknya, penyesuaian ini cenderung meningkat dari waktu ke waktu.
Namun, apa yang terjadi jika penyesuaian tersebut memberikan gambaran yang terlalu optimis?
Penyesuaian musiman adalah pedang bermata dua. Meskipun dirancang untuk memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai tren yang mendasari, penyesuaian ini juga dapat mendistorsi kenyataan, terutama dalam ekonomi yang dinamis. Sayangnya, penyesuaian ini sering kali direvisi ke bawah saat data lebih akurat tersedia. Sebagai contoh, delapan dari dua belas laporan penjualan eceran bulanan terakhir mengalami revisi signifikan ke bawah, menjadikan data bulanan terbaru tampak kurang impresif.
Salah satu sinyal paling mengkhawatirkan datang dari meningkatnya tingkat penunggakan pada kredit kendaraan bermotor dan kartu kredit. Konsumen sangat bergantung pada kredit untuk mempertahankan kebiasaan belanja mereka di tengah inflasi yang tinggi dan pertumbuhan upah yang stagnan. Selisih antara penjualan eceran dan kredit konsumen terhadap pendapatan pribadi yang dapat dibelanjakan meningkat karena stimulus terkait COVID mengering dan inflasi melampaui upah, memaksa konsumen beralih ke kredit.
Namun, ada batas berapa banyak utang yang dapat diambil sebelum kredit macet menjadi masalah besar. Data terbaru menunjukkan bahwa tingkat penunggakan (lebih dari 90 hari) pada kredit kendaraan dan kartu kredit telah mencapai puncaknya sejak 2012. Terutama, tingkat penunggakan meningkat pesat di kalangan generasi muda yang umumnya memiliki pendapatan lebih rendah dan tabungan terbatas. (*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.