KABARBURSA.COM - Rupiah mencatat penguatan signifikan pada akhir sesi perdagangan Senin 19 Agustus 2024 kemarin. Meski demikian, analis memperkirakan pergerakannya akan cenderung terbatas pada Selasa 20 Agustus 2024.
Rupiah spot berada di level Rp 15.550 per dolar AS, meningkat 0,91 persen dibandingkan posisi penutupan akhir pekan lalu. Sementara itu, kurs jisdor Bank Indonesia menguat sekitar 0,79 persen ke level Rp 15.591 per dolar AS.
Josua Pardede, Kepala Ekonom Bank Permata, menyoroti bahwa penguatan ini dipengaruhi oleh dominasi sentimen risk-on di pasar Asia. Hal ini sejalan dengan optimisme yang tumbuh di kawasan Asia, didorong oleh penguatan indikator ekonomi dari negara-negara seperti Jepang, Filipina, dan Thailand.
Penguatan sentimen ini semakin terasa sejak awal sesi, didorong oleh data properti AS yang melemah, meningkatkan kemungkinan pemotongan suku bunga yang agresif oleh The Fed. “Beberapa mata uang Asia bahkan menguat lebih dari 1 persen, sementara Rupiah menguat sekitar 0,88 persen menjadi Rp 15.553 per dolar AS, tertinggi sejak Maret 2023,” ujar Josua, dikutip Selasa 19 Agustus 2024.
Sutopo Widodo, Presiden Komisioner HFX International Berjangka, mengamati penurunan nilai dolar AS yang turut memicu penguatan Rupiah. Pada hari Senin 19 Agustus kemarin, indeks dolar AS turun ke level 102, terendah dalam delapan bulan terakhir, tertekan oleh ekspektasi bahwa The Fed akan segera menurunkan suku bunga untuk mencegah perlambatan ekonomi.
Lemahnya data pembangunan perumahan AS untuk bulan Juli juga semakin memperkuat sentimen bearish terhadap dolar. Akibatnya, pasar hampir pasti memperkirakan pemotongan suku bunga sebesar 25 bps pada September, dengan potensi pengurangan 50 bps yang lebih besar masih terbuka.
“Penguatan Rupiah ini sangat dipengaruhi oleh melemahnya indeks dolar,” jelas Sutopo. Investor kini menantikan pidato Ketua Fed Jerome Powell di Jackson Hole dan risalah FOMC akhir minggu ini untuk mendapatkan petunjuk lebih lanjut mengenai kebijakan moneter The Fed.
Namun, menurut Sutopo, pergerakan Rupiah pada Selasa 20 Agustus 2024 diprediksi akan cenderung datar, mengingat tidak adanya katalis besar yang dapat mempengaruhi pasar baik dari dalam maupun luar negeri. Ia memperkirakan Rupiah akan berada di kisaran Rp 15.500 hingga Rp 15.600 per dolar AS.
Josua juga melihat potensi penguatan Rupiah yang lebih terbatas. Ia memperkirakan Rupiah akan bergerak di rentang Rp 15.475 hingga Rp 15.600 per dolar AS pada perdagangan hari ini.
Asia Lolos dari Jurang Resesi
Asian Development Bank (ADB) memproyeksikan Perekonomian di kawasan Asia dan Pasifik berkembang dengan laju rata-rata 4,9 persen tahun ini. Hal ini didorong oleh kuatnya permintaan domestik, bangkitnya ekspor semikonduktor, serta pemulihan sektor pariwisata yang semakin membaik.
Tahun depan, laju pertumbuhan diprediksi tetap bertahan di angka serupa. Laporan Asian Development Outlook (ADO) April 2024 dari Asian Development Bank (ADB) menyebutkan bahwa inflasi akan mulai melandai pada 2024 dan 2025, setelah dua tahun terakhir terdongkrak oleh lonjakan harga pangan di berbagai ekonomi.
Asia Selatan dan Asia Tenggara menjadi mesin pendorong utama, berkat peningkatan permintaan dalam negeri serta ekspor yang solid, yang pada gilirannya mampu mengimbangi perlambatan di Republik Rakyat Tiongkok (RRT) akibat krisis properti dan lesunya konsumsi.
India diprediksi tetap menjadi motor pertumbuhan di Asia-Pasifik, dengan proyeksi pertumbuhan 7,0 persen tahun ini dan 7,2 persen pada 2025. Sementara itu, RRT diperkirakan mengalami penurunan pertumbuhan menjadi 4,8 persen tahun ini dan 4,5 persen tahun depan, dari angka 5,2 persen yang tercatat tahun lalu.
“Kami yakin mayoritas ekonomi di kawasan Asia yang sedang berkembang akan menunjukkan stabilitas sepanjang tahun ini hingga tahun depan,” ujar Albert Park, Kepala Ekonom ADB. Ia menambahkan, kepercayaan konsumen terus meningkat, investasi tetap solid, dan permintaan eksternal, terutama pada sektor semikonduktor, mulai menunjukkan pergerakan positif.
Meskipun begitu, pembuat kebijakan harus tetap waspada terhadap berbagai risiko yang mengintai. Di antaranya, gangguan rantai pasokan global, ketidakpastian terkait kebijakan moneter Amerika Serikat, efek cuaca ekstrem, serta berlanjutnya pelemahan pasar properti di RRT.
ADB memperkirakan inflasi di kawasan Asia-Pasifik yang sedang berkembang akan turun menjadi 3,2 persen tahun ini dan 3,0 persen tahun depan. Ini seiring dengan meredanya tekanan harga global serta kebijakan moneter ketat yang masih diterapkan di berbagai ekonomi. Namun, inflasi di luar RRT masih lebih tinggi dibandingkan sebelum pandemi COVID-19 melanda.
Faktor lain yang berkontribusi terhadap inflasi pangan adalah lonjakan harga beras, terutama di negara-negara yang sangat bergantung pada impor.
Laporan ADO April 2024 memprediksi harga beras akan tetap tinggi sepanjang tahun, dipicu oleh kegagalan panen akibat cuaca ekstrem dan pembatasan ekspor beras oleh India. Selain itu, kenaikan biaya pengapalan global akibat serangan terhadap kapal di Laut Merah dan kekeringan di Terusan Panama turut menambah tekanan inflasi di Asia.
Untuk meredam dampak kenaikan harga beras dan menjaga ketahanan pangan, pemerintah di berbagai negara disarankan untuk memberikan subsidi yang tepat sasaran kepada kelompok rentan, meningkatkan transparansi pasar, serta memperketat pemantauan agar terhindar dari manipulasi harga dan penimbunan.
Dalam jangka menengah dan panjang, kebijakan harus diarahkan pada penciptaan cadangan beras strategis guna menstabilkan harga, mempromosikan pertanian berkelanjutan, diversifikasi tanaman pangan, serta investasi dalam teknologi dan infrastruktur pertanian guna meningkatkan produktivitas. Kerja sama regional juga dianggap penting untuk mengelola harga beras dan dampaknya, tegas laporan tersebut.
ADB tetap berkomitmen untuk mewujudkan Asia dan Pasifik yang makmur, inklusif, tangguh, dan berkelanjutan, serta terus berjuang memberantas kemiskinan ekstrem. Berdiri sejak 1966, ADB kini memiliki 68 anggota, dengan 49 di antaranya berasal dari kawasan Asia dan Pasifik. (*)