KABARBURSA.COM - Rupiah terus berada di bawah tekanan sepanjang bulan lalu. Pelemahan ini terjadi seiring dengan revisi ekspektasi terkait kebijakan suku bunga Federal Reserve (The Fed).
Ekonom LPEM FEB UI, Teuku Riefky, menjelaskan bahwa perubahan proyeksi ini mencerminkan inflasi yang masih tinggi di Amerika Serikat, serta potensi dampak kebijakan-kebijakan yang mungkin diambil oleh Presiden terpilih AS, Donald Trump.
“Ekspektasi sebelumnya adalah The Fed akan menurunkan suku bunga sebanyak empat kali pada 2025. Namun, revisi terkini menunjukkan hanya dua kali penurunan yang diantisipasi. Penyesuaian ini menjadi salah satu faktor tekanan bagi Rupiah,” ujar Riefky dalam keterangannya, Rabu, 15 Januari 2025.
Arus modal keluar dari Indonesia juga menjadi tantangan tambahan bagi stabilitas rupiah. Menurut Riefky, antara pertengahan Desember 2024 hingga pertengahan Januari 2025, tercatat aliran dana asing keluar sebesar USD0,75 miliar.
“Sebesar USD0,12 miliar keluar dari pasar obligasi, sementara USD0,63 miliar berasal dari pasar saham,” tambahnya.
Akibat tekanan ini, rupiah mengalami depresiasi hingga menyentuh level Rp16.195 per dolar pada 9 Januari 2025, turun 2,11 persen dibandingkan bulan sebelumnya di level Rp15.860 per USD.
Sementara itu, inflasi Indonesia pada akhir 2024 mencatat rekor terendah sejak 1958, yaitu sebesar 1,57 persen secara tahunan. Namun, Riefky menilai bahwa Bank Indonesia tetap perlu mempertahankan suku bunga acuan pada level 6,00 persen dalam pertemuan Dewan Gubernur pertama tahun ini.
“Langkah ini diperlukan untuk mencegah pelemahan Rupiah lebih lanjut, terutama dengan dinamika global yang masih menjadi tantangan,” ujarnya.
Rupiah Menguat Tipis
Untuk diketahui, Mata uang rupiah ditutup menguat tipis sebesar 13 poin pada perdagangan Selasa, 14 Januari 2025, berada di level Rp16.270 per dolar AS.
Meskipun sempat mencatatkan penguatan hingga 35 poin di awal sesi, tekanan faktor eksternal menghambat penguatan rupiah lebih lanjut.
Direktur PT Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuaibi mengatakan, penguatan rupiah didorong oleh optimisme terhadap perekonomian domestik yang menunjukkan daya tahan yang solid.
Namun, spekulasi global terkait kebijakan perdagangan Amerika Serikat serta rilis data inflasi yang dijadwalkan pada minggu ini membuat pasar tetap berhati-hati.
Dolar AS melemah setelah muncul laporan bahwa tim Presiden terpilih Donald Trump sedang merancang rencana kenaikan tarif perdagangan secara bertahap.
Rencana ini melibatkan kenaikan tarif impor sebesar dua hingga lima persen per bulan, bertujuan meningkatkan leverage dalam negosiasi perdagangan tanpa memicu lonjakan inflasi mendadak.
Meskipun demikian, kekhawatiran bahwa kenaikan tarif tinggi bisa memicu inflasi menjadi perhatian pasar. Fokus pasar kini tertuju pada data inflasi AS untuk bulan Desember 2024 yang akan dirilis pada Rabu, 15 Januari 2025.
Jika data menunjukkan inflasi tetap tinggi, diperkirakan Federal Reserve akan mempertahankan suku bunga tinggi lebih lama, yang bisa memberikan tekanan bagi aset-aset pasar negara berkembang, termasuk rupiah.
Sementara itu, Ibrahim mengungkapkan bahwa optimisme terhadap perekonomian Indonesia turut mendukung penguatan rupiah. Pertumbuhan ekonomi Indonesia tercatat sebesar 4,95 persen (yoy) pada kuartal III-2024, dengan proyeksi pertumbuhan 5,1 persen untuk 2024.
Permintaan Domestik Tetap Kuat
Sementara itu indikator ekonomi sektor riil pun menunjukkan angka positif, antara lain PMI Manufaktur yang tetap ekspansif di level 51,2, mencerminkan permintaan domestik yang kuat.
Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) yang tercatat di level 127,7 pada Desember 2024 menunjukkan tingginya optimisme masyarakat, sementara Indeks Penjualan Riil (IPR) juga mengalami pertumbuhan positif, didorong oleh konsumsi akhir tahun menjelang Natal dan Tahun Baru.
Kebijakan pemerintah, seperti subsidi, insentif pajak, dan program bantuan pangan, turut menjaga daya beli masyarakat dan mendorong aktivitas ekonomi.
Meski ditutup menguat hari ini, Ibrahim memperkirakan pergerakan rupiah pada perdagangan Rabu, 15 Januari 2025, akan tetap fluktuatif. Ia memperkirakan rupiah bergerak dalam kisaran Rp16.260 hingga Rp16.320 per dolar AS.
Tekanan eksternal, terutama terkait data inflasi AS dan spekulasi kebijakan perdagangan Trump, diperkirakan akan tetap menjadi tantangan bagi rupiah. Namun, stabilitas ekonomi domestik yang solid diharapkan dapat menahan pelemahan lebih lanjut.
Di tempat lain, dolar AS semakin mendekati level tertinggi dalam lebih dari dua tahun terakhir. Kenaikan ini dipicu sikap trader yang mulai mengurangi spekulasi terkait kemungkinan pemotongan suku bunga di Amerika Serikat setelah data ekonomi yang menunjukkan kekuatan pasar. (*)