KABARBURSA.COM - Senin pagi benar-benar membuat pasar saham Asia kaget. Pasalnya, harga saham ramai-ramai turun, sementara dolar AS malah melesat ke posisi tertinggi dalam 14 bulan terakhir.
Biang keroknya adalah tenaga kerja AS yang bikin investor terhenyak. Dilansir dari Reuters di Jakarta, Senin hari ini, angma payroll yang dirilis jauh lebih kuat dari ekspektasi. Alhasil, imbal hasil obligasi naik dan valuasi saham mulai goyah, tepat di saat musim laporan keuangan dimulai.
Investor makin deg-degan menunggu data inflasi AS yang bakal diumumkan Rabu besok. Jika kenaikan inflasi inti melebihi 0,2 persen—angka ramalan para ekonom—harapan pemangkasan suku bunga bisa pupus sama sekali.
Belum cukup tekanan dari inflasi, harga minyak mentah dunia juga naik ke level tertinggi dalam empat bulan. Penyebabnya, pengiriman minyak mentah dari Rusia melemah seiring sanksi baru dari Washington. Bukan kabar baik untuk pasar global.
Di sisi lain, ada sedikit kejutan dari China. Data menunjukkan ekspor mereka justru menguat pada Desember, sementara impor ikut membaik. Namun, optimisme itu sedikit tertahan karena risiko perdagangan dengan AS masih mengintai.
Pasar sudah memotong ekspektasi mereka soal pemangkasan suku bunga oleh The Fed. Proyeksi pemangkasan tahun depan hanya tersisa 27 basis poin—artinya, suku bunga diperkirakan hanya turun ke 4 persen, bukan 3 persen seperti harapan tahun lalu.
Deputi Kepala Ekonom AS di Bank of America, Aditya Bhave, bahkan blak-blakan, “Siklus pemangkasan sudah selesai. Inflasi masih bertahan di atas target, risikonya malah naik.”
Ia menambahkan, jika inflasi tahunan melebihi 3 persen dan ekspektasi inflasi konsumen mulai melenceng, jangan kaget kalau wacana kenaikan suku bunga muncul lagi.
Pekan ini, setidaknya lima pejabat The Fed akan tampil dan memberi komentar soal laporan tenaga kerja yang bikin heboh itu. Salah satunya adalah John Williams, Presiden The Fed New York, yang akan berbicara Rabu besok.
Dampak Imbal Hasil Obligasi yang Meroket
Imbal hasil obligasi AS tenor 10 tahun mencapai 4,79 persen—level tertinggi dalam 14 bulan—dan terakhir tercatat di 4,764 persen saat sesi Asia. Angka ini bikin investasi saham, properti, hingga komoditas jadi kurang menarik dibandingkan obligasi yang lebih aman.
Tentu saja, kenaikan imbal hasil ini juga memicu kenaikan biaya pinjaman untuk perusahaan dan konsumen. Padahal, Presiden terpilih Donald Trump punya rencana menaikkan tarif impor yang jelas-jelas bisa bikin harga barang impor makin mahal.
Badai tantangan ini datang tepat ketika musim laporan keuangan dimulai. Rabu ini, Citigroup, Goldman Sachs, dan JPMorgan akan menjadi pemain pertama yang membuka laporan keuangannya. Semua mata tertuju pada laporan mereka—apakah masih bisa bertahan di tengah badai, atau justru ikut limbung.
Bursa Asia Lunglai
[caption id="attachment_107279" align="alignnone" width="2153"] Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dibuka menguat 64 poin atau meningkat 0,92 persen ke level 7,048 pada perdagangan Senin, 23 Desember 2024. (Foto: Abbas Sandji/Kabar Bursa)[/caption]
Suasana pasar global masih muram hari ini. Kontrak berjangka S&P 500 turun 0,4 persen, Nasdaq futures ikut merosot 0,5 persen, melanjutkan aksi jual pada Jumat pekan lalu. EUROSTOXX 50 dan FTSE futures masing-masing melemah 0,2 persen, sementara DAX futures nyaris datar.
Pasar Asia juga tak lepas dari tekanan. Libur di Jepang membuat perdagangan awal tipis. Nikkei futures anjlok ke 38.430 dibandingkan penutupan sebelumnya di 39.190. Saham Korea Selatan melemah 1 persen dengan latar belakang drama politik yang memanas menjelang sidang Mahkamah Konstitusi terkait status Presiden Yoon Suk Yeol, apakah akan diberhentikan atau kembali menjabat.
Di Indonesia, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dibuka menurun sebesar 8 poin atau turun 0,12 persen ke level 7,080 pada perdagangan Senin, 13 Januari 2025. Merujuk data perdagangan RTI Business, sebanyak 169 saham menguat, 91 saham melemah, dan 270 saham mengalami stagnan. Sementara itu tiga emiten yang baru mencatatkan saham perdananya di Bursa Efek Indonesia, yakni CBDK, OBAT, dan DGWG yang berhasil menduduki posisi top gainer.
Di China, indeks saham unggulan turun 0,2 persen, meski data ekspor melesat hingga 10,7 persen dan impor naik 1 persen. Angka surplus perdagangan dengan AS membengkak menjadi USD105 miliar—cukup untuk memicu wacana tarif baru dari Washington. Bank Sentral China berusaha membendung pelemahan yuan dengan melonggarkan aturan pinjaman luar negeri dan memberi peringatan soal stabilitas mata uang.
Jumat pekan ini, data penting soal pertumbuhan ekonomi, penjualan ritel, dan produksi industri China akan dirilis. Pelaku pasar bersiap-siap karena angka ini bisa mengubah peta sentimen ekonomi kawasan.
Sementara itu, kenaikan imbal hasil obligasi AS terus mengangkat nilai dolar AS. Euro terkapar di posisi USD1,0210—level terendah sejak November 2022. Indeks dolar AS naik 0,2 persen ke 108,94. Sterling juga babak belur, melemah 0,5 persen ke USD1,2129—terendah dalam 14 bulan—ditambah kekhawatiran pasar terhadap lonjakan utang Inggris akibat janji pengeluaran pemerintah dari pemerintahan Partai Buruh.
Meski begitu, Menteri Keuangan Inggris Rachel Reeves mencoba menenangkan pasar dengan janji untuk tetap mematuhi aturan fiskal.
Dolar AS sedikit melemah ke 157,50 yen, setelah sebelumnya sempat menyentuh 158,88—tertinggi dalam enam bulan terakhir. Ada spekulasi bahwa Bank Sentral Jepang mungkin akan menaikkan proyeksi inflasinya bulan ini sebagai sinyal potensi kenaikan suku bunga berikutnya.
Di sisi lain, harga emas tetap stabil di USD2.686 per ounce (sekitar Rp42,98 juta), membuktikan ketangguhannya meskipun dolar menguat dan imbal hasil obligasi naik.
Sementara itu, harga minyak kembali melonjak karena kekhawatiran pasokan. Ekspor minyak Rusia lewat jalur laut anjlok ke level terendah sejak Agustus 2023, bahkan sebelum sanksi terbaru AS berlaku. Brent naik USD1,19 menjadi USD80,94 per barel (sekitar Rp1,29 juta), sementara minyak mentah AS melonjak USD1,27 ke USD77,84 per barel (sekitar Rp1,25 juta).
Pasar global memang sedang penuh kejutan—yang jelas, butuh napas panjang untuk menghadapi dinamika yang tak ada habisnya ini.(*)