KABARBURSA.COM - Indonesia saat ini tengah menghadapi gelombang pertumbuhan UMKM yang sangat signifikan. Berdasarkan data terbaru dari Kementerian Koperasi dan Kementerian Usaha Kecil dan Menengah, pada 2024, jumlah Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) di Indonesia mencapai sekitar 66 juta unit usaha. Sektor UMKM ini memberikan kontribusi signifikan terhadap perekonomian nasional, dengan menyumbang sekitar 61 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), setara dengan Rp9.500 triliun.
Selain itu, UMKM juga menjadi penyerap tenaga kerja utama di Indonesia dengan menyerap sekitar 97 persen dari total tenaga kerja nasional.
Transformasi digital membuka cakrawala baru bagi pelaku UMKM di Indonesia. Akses teknologi yang semakin luas tak hanya mengubah cara usaha dijalankan, tapi juga memperbesar peluang pelaku mikro untuk terkoneksi langsung dengan pasar, modal, dan jejaring baru di era digital.
Menurut laporan Google Indonesia tahun 2023, jumlah ponsel aktif di Tanah Air mencapai 354 juta perangkat—angka yang melampaui jumlah penduduk yang saat itu sekitar 278 juta jiwa. Temuan ini menandakan bahwa banyak individu memiliki lebih dari satu perangkat dan mencerminkan adopsi teknologi yang sangat tinggi di kalangan masyarakat Indonesia.
Dukungan infrastruktur digital itu diperkuat dengan penetrasi internet yang terus meningkat. Data dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada awal 2024 menyebut pengguna internet di Indonesia telah mencapai 221,56 juta jiwa atau setara 79,5 persen dari total populasi. Artinya, mayoritas masyarakat kini terkoneksi secara daring—sebuah modal penting untuk mendorong UMKM naik kelas melalui teknologi.
Pada 2024, Kementerian Komunikasi dan Informatika (saat ini Kementerian Komunikasi dan Digital ) menargetkan 30 juta UMKM untuk mengadopsi teknologi digital. Program ini bertujuan untuk meningkatkan daya saing UMKM melalui pelatihan, pendampingan, dan akses ke platform digital. Wakil Menteri Komdigi, Nezar Patria, menyatakan hingga Agustus 2024, sebanyak 27 juta UMKM telah mengadopsi teknologi digital dan angka ini diharapkan terus meningkat hingga mencapai target yang ditetapkan.
Gelombang digitalisasi UMKM juga membuka peluang menarik di pasar modal. Emiten e-commerce besar seperti GOTO (Gabungan Gojek-Tokopedia) dan Bukalapak telah melantai di Bursa Efek Indonesia, mencerminkan potensi bisnis online yang masif. Perusahaan fintech dan layanan pembayaran digital pun mulai menyedot perhatian investor. Bahkan, OJK menilai skema crowdfunding (Securities Crowdfunding) menjadi solusi alternatif permodalan bagi UMKM dengan memanfaatkan platform digital. Tak hanya itu, pemerintah pun memfasilitasi UMKM melalui pasar modal, Kemenkop menargetkan 10 pelaku UMKM masuk BEI melalui program IPO hingga akhir 2024.
Dengan latar belakang tersebut, perkembangan UMKM yang go-digital membuat saham-saham ekonomi digital semakin menarik bagi investor. Digitalisasi UMKM diyakini akan semakin mendongkrak perekonomian, sehingga saham UMKM dan saham e-commerce dianggap menjanjikan untuk dicermati di BEI ke depan.
Peta Ekonomi Digital dan UMKM Nasional
UMKM adalah kontributor besar ekonomi nasional. Laporan Kemenkop dan BPS terbaru menunjukkan bahwa UMKM menyumbang sekitar 61,07 persen PDB Indonesia pada 2024, setara dengan Rp8.573,89 triliun. Dari 64,2 juta pelaku UMKM, baru sekitar 25,5 juta (39,7 persen) yang sudah terkoneksi dengan ekosistem digital sampai pertengahan 2024. Artinya, masih ada ruang besar untuk mendorong percepatan transformasi digital di sektor ini. Dalam konteks itu, digitalisasi tidak hanya soal akses pasar (e-commerce) tapi juga efisiensi pembiayaan dan logistik.
Sektor e-commerce tumbuh pesat, menjadi penggerak utama ekonomi digital. Sebagai gambaran, nilai transaksi e-commerce di Indonesia mencapai sekitar Rp487 triliun pada 2024, naik 7,3 persen dari tahun sebelumnya. Indonesia bahkan memimpin pasar e-commerce ASEAN (42,6 persen dari total ASEAN) dengan nilai USD64 miliar neto pada 2024.
Hal ini menunjukkan ada peluang sangat besar bagi UMKM untuk memperbesar pasar mereka. Infrastruktur finansial pun berkembang mendukung, misalnya QRIS semakin umum digunakan, serta jumlah penyedia pinjaman digital (P2P Lending) yang berizin di OJK mencapai 97 perusahaan pada akhir 2024.
Sektor logistik juga terus ditingkatkan untuk mendukung permintaan e-commerce. Meski biaya logistik masih tinggi (sekitar 22 persen PDB menurut studi), pemerintah berupaya memperbaiki konektivitas melalui proyek infrastruktur besar dan kemitraan dengan start-up logistik. Meningkatnya volume pengiriman kebutuhan UMKM menuntut ekspansi penyedia jasa pengiriman dan gudang. Pemerintah kini mensinergikan program perbaikan rantai pasok, termasuk insentif bagi BUMN dan pelaku swasta untuk mendukung usaha kecil.
Semua tren tersebut mendorong proyeksi optimis terhadap ekonomi digital nasional. Presiden Jokowi memproyeksikan ekonomi digital RI akan tumbuh empat kali lipat hingga 2030 (mencapai USD210–360 miliar). Pemerintah bahkan menargetkan kontribusi sektor digital mencapai 20% PDB pada 2045 melalui Strategi Nasional Ekonomi Digital 2030.
Pertumbuhan pesat e-commerce (USD77 miliar di 2023, 40 persen pangsa ASEAN), fintech, dan startup unicorn menunjukkan landasan kuat. Tingginya penetrasi internet dan ponsel menjadi modal utama: lebih dari 185 juta penduduk terhubung internet, dengan 68% populasi berusia produktif mendukungnya. Dengan demikian, ekonomi digital bukan hanya hype; kontribusinya terhadap PDB diperkirakan akan terus naik, seiring semakin banyak UMKM yang mendigital.
Kenapa Investor Harus Perhatikan Saham-Saham Terkait UMKM?
Potensi pasar UMKM digital di Indonesia sangat besar. Dari laporan Asosiasi e-Commerce Indonesia atau idEA, program Gernas BBI berhasil mendigitalisasi pelaku UMKM lebih dari 12 juta unit yang pada gilirannya menunjukkan besar pengaruh keberadaan industri ini dalam menopang ekonomi digital Indonesia.
Artinya, segmen konsumen dan penjual online terus berkembang pesat. Transaksi online menjadi bagian kehidupan sehari-hari: survei Bank Mandiri mencatat nilai transaksi e-commerce di Indonesia mencapai Rp487 triliun pada 2024, menandakan tingginya permintaan masyarakat. Kemudahan belanja daring, promosi menarik, dan jangkauan produk yang luas telah mengubah perilaku konsumen. Di sisi lain, UMKM yang berhasil merangkul kanal digital mampu meningkatkan omzet dan efisiensi operasional.
Dari sudut pandang investor, fenomena ini membuka peluang investasi jangka panjang. Banyak perusahaan tercatat di BEI bergerak di ekosistem UMKM dan e-commerce. Contoh: GoTo (kode GOTO) adalah hasil penggabungan Gojek dan Tokopedia yang melayani jutaan UMKM, sedangkan Bukalapak (BUKA) sejak IPO 2021 berfokus pada platform jual-beli daring.
Emiten seperti WIR Asia (WIRG) membangun solusi teknologi untuk UMKM, sedangkan pemain fintech seperti Cashlez (CASH) menyediakan payment gateway untuk UMKM. Dengan demikian, pembelian *saham e-commerce* atau *saham ekonomi digital* berarti ikut mendukung rantai nilai UMKM yang terus tumbuh.
Perubahan sikap konsumen yang beralih ke digital juga didukung oleh teknologi baru. Infrastruktur digital dan layanan keuangan inovatif memudahkan transaksi dan modal UMKM. OJK dan Otoritas Finansial tetap waspada namun pro-aktif, misalnya, skema crowdfunding (Securities Crowdfunding) dan P2P lending diatur ketat untuk melindungi pemodal kecil. Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal OJK, Inarno Djajadi, menegaskan disrupsi teknologi mendorong pelaku usaha menciptakan sistem bisnis berbasis teknologi yang lebih efisien, fleksibel, dan berkelanjutan, serta mencatat bahwa di tengah suku bunga tinggi, pasar modal adalah solusi paling feasible bagi UMKM memperoleh pendanaan jangka panjang. Dengan kata lain, teknologi bukan hanya mendigitalisasi UMKM tetapi juga memperkuat daya tarik pasar modal sebagai sumber modal baru.
Investor perlu menyimak tren ini karena ekonomi Indonesia memasuki puncak bonus demografi, lebih dari 68 persen penduduk berusia produktif pada 2030 dan didukung penetrasi gadget yang sangat luas. Seiring lebih banyak UMKM naik kelas berkat digital, permintaan barang dan jasa dari kelas menengah online akan terus naik.
Pada saat yang sama, pemerintah menyiapkan fondasi kuat (pendidikan digital, infrastruktur, regulasi adaptif). Semua faktor itu membuat saham-saham yang mengakomodasi ekosistem UMKM – mulai dari e-commerce, fintech, logistik, hingga teknologi finansial – layak diperhitungkan. Saham ekonomi digital tidak lagi sekadar tren; ia adalah refleksi dari perubahan fundamental di masyarakat. Dengan berinvestasi di saham UMKM dan digital sekarang, investor bisa mendapatkan keuntungan dari akselerasi ini di masa mendatang.
Emiten-emiten Pendukung Ekosistem Digital UMKM di Indonesia
1. Fintech dan Pembayaran Digital
Transformasi UMKM tak lepas dari dorongan kuat sektor keuangan digital. Di lini ini, sejumlah emiten publik memainkan peran kunci, baik sebagai penggerak langsung maupun penyokong infrastruktur teknologi keuangan.
Ambil contoh PT Elang Mahkota Teknologi Tbk (EMTEK). Konglomerasi media ini tak hanya sibuk mengurus konten hiburan, tapi juga menjelajah dunia finansial digital. Lewat anak usahanya, perusahaan dengan kode emiten EMTK ini mengembangkan layanan pembayaran elektronik. Platform yang paling terkenal adalah termasuk keterlibatannya dompet digital DANA—salah satu pemain e-wallet terbesar di Indonesia. Meskipun DANA belum IPO, jejaknya dalam portofolio EMTEK membuat eksposur digital mereka semakin kental.
Sementara itu, Bank Jago (ARTO) memosisikan diri sebagai bank teknologi yang menyasar segmen UMKM. ARTO fokus pada ekosistem digital melalui kolaborasi dengan mitra e-commerce dan pelaku usaha mikro. Fitur seperti biaya nol rupiah untuk administrasi dan transfer, serta penarikan hasil penjualan di hari yang sama, menjadi insentif nyata bagi pelaku UMKM untuk menggunakan layanan mereka.
Bukan hanya soal layanan yang canggih, strategi ARTO terhubung langsung dengan ekosistem Gojek-Tokopedia (GOTO)—mulai dari GoBiz hingga Tokopedia Seller. Dengan begitu, ARTO bukan sekadar bank digital, tapi bagian dari mesin penggerak ekonomi kecil yang berbasis teknologi. Tak heran jika investor mulai melirik saham UMKM seperti ARTO karena jelas kontribusinya terhadap perputaran uang di kalangan pelaku usaha kecil.
2. E-commerce dan Agregator
Jika ditanya siapa yang berjasa membuka jalan digital bagi UMKM, nama-nama seperti PT Bukalapak.com Tbk (BUKA) dan PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk(GOTO) tak bisa diabaikan. Bukalapak, misalnya, sudah bertransformasi dari marketplace biasa menjadi platform all-commerce yang membina jutaan warung dan toko kecil di seluruh Indonesia.
Program Mitra Bukalapak yang menyasar warung tradisional, mencatat lonjakan pengguna dari 3,4 juta pada 2019 menjadi 15,2 juta pada 2022. Tak sekadar angka, kontribusi Mitra Bukalapak bahkan mencapai 53 persen dari total pendapatan perusahaan di kuartal ketiga 2022. Dominasi ini makin ditegaskan lewat laporan Nielsen yang menyebut Mitra Bukalapak menguasai 56 persen pangsa pasar online-to-offline (O2O) warung nasional.
Kinerja keuangan mereka pun mulai membaik. Pada kuartal I 2025, Bukalapak berhasil membalikkan kerugian menjadi laba bersih Rp110,65 miliar. Angka ini memberikan sinyal positif bahwa digitalisasi UMKM memang membawa nilai bisnis yang konkret.
Sementara Bukalapak (BUKA) berhasil mencetak laba bersih, dua pemain besar lain dalam sektor yang sama—GOTO dan PT Global Digital Niaga Tbk (BELI)—masih mencatatkan kerugian. Namun arah pergerakan keduanya menunjukkan tren pemulihan yang patut dicatat.
GOTO, perusahaan hasil merger Gojek dan Tokopedia, mencatatkan rugi bersih sebesar Rp367 miliar pada kuartal I 2025. Meski belum balik untung, angka ini turun signifikan—sekitar 61 persen lebih rendah dibanding rugi Rp937 miliar pada periode yang sama tahun lalu. Pendapatan GOTO pun tumbuh empat persen menjadi Rp4,23 triliun. Ini menunjukkan bahwa efisiensi mulai membuahkan hasil, sembari tetap memperkuat basis UMKM yang bergantung pada layanan GoBiz, Tokopedia Seller, dan jaringan kurir mereka.
Di sisi lain, BELI—yang berada di bawah Grup Djarum—masih mencatatkan rugi bersih Rp638,14 miliar. Angka ini lebih kecil dari tahun sebelumnya (Rp691,29 miliar) dan menandakan adanya pengetatan pengeluaran dan upaya perbaikan margin. Pendapatan BELI tumbuh hampir 20 persen (19,64 persen year-on-year) menjadi Rp4,69 triliun karena didorong oleh lonjakan permintaan di sektor ritel digital dan elektronik.
Meskipun belum menembus zona laba, baik GOTO maupun BELI memperlihatkan langkah restrukturisasi yang lebih tajam dan terarah. Sebagai dua perusahaan teknologi besar yang melayani jutaan pelaku usaha kecil di sektor logistik, ritel, hingga pemrosesan transaksi, keberadaan mereka tetap menjadi fondasi penting dalam ekosistem digital UMKM.
Tak kalah menarik, PT M Cash Integrasi Tbk (MCAS) berperan sebagai jembatan digital antara penyedia produk dan jaringan ritel berskala mikro. Melalui berbagai solusi berbasis Application Programming Interface (API) dan kanal distribusi fisik, MCAS menawarkan integrasi produk digital mulai dari pulsa, voucher game, hingga pembayaran tagihan.
Salah satu model distribusi mereka yang dikenal luas adalah kolaborasi dengan jaringan ritel modern seperti Alfamart, yang pada tahun 2019 tercatat menjangkau lebih dari 13.000 gerai. Meski belum ada pembaruan resmi terkait angka jangkauan terbaru di tahun 2024 atau 2025, kemitraan ini masih berjalan dan menjadi tulang punggung distribusi fisik bagi layanan digital MCAS.
Lebih dari sekadar titik distribusi, MCAS juga menyediakan MCAS Widget—platform B2B yang memungkinkan integrasi cepat antara produk digital dan mitra usaha. Melalui skema ini, pelaku UMKM seperti pemilik kios dan toko kelontong bisa menyediakan beragam layanan digital tanpa perlu infrastruktur rumit. Dengan kata lain, MCAS ikut memperluas akses layanan keuangan dan produk digital bagi masyarakat lapis bawah.
3. Bank Digital Pro-UMKM
Jika jaringan dan logistik adalah jalur distribusi, maka perbankan digital adalah urat nadi yang mengalirkan darah bagi UMKM, apalagi kalau bukan modal usaha. Di tengah tren digitalisasi, bank-bank besar tak tinggal diam. Mereka membentuk unit digital dengan strategi khusus untuk menjangkau sektor mikro yang selama ini minim layanan keuangan formal.
Salah satu contoh menonjol adalah PT Bank Raya Indonesia Tbk (AGRO), anak usaha dari BRI Group yang dikenal sebagai bank digital berfokus pada segmen mikro. Pada kuartal I 2025, Bank Raya menyalurkan kredit digital sebesar Rp6,3 triliun, tumbuh nyaris 64 persen dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Seiring dengan itu, perusahaan juga mencatatkan laba bersih sebesar Rp16,92 miliar, meningkat 84,7 persen secara tahunan.
Tak hanya itu, jumlah transaksi di aplikasi Raya App meningkat pesat hingga 1,1 juta transaksi dalam satu kuartal. Capaian ini bukan sekadar pencitraan digitalisasi, tapi wujud nyata bagaimana bank ini berperan sebagai penggerak akses keuangan bagi pelaku usaha mikro di ekosistem digital UMKM.
Induknya, PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI), sudah lama dikenal sebagai bank-nya rakyat kecil. Data per Maret 2023 menunjukkan bahwa BRI telah menyalurkan kredit UMKM sebesar Rp989,6 triliun, atau setara dengan 83,86 persen dari total portofolio kreditnya. Artinya, hampir seluruh aktivitas penyaluran kredit BRI diarahkan untuk menopang sektor usaha mikro, kecil, dan menengah.
Tak hanya BRI Group, bank lain pun bergerak di jalur serupa. PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BRIS), hasil penggabungan tiga bank syariah BUMN, juga aktif melayani pembiayaan syariah untuk pelaku usaha kecil. Di sisi swasta, PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) melalui unit BCA Digital (Blu), menjangkau segmen milenial dan UMKM digital melalui kemitraan dengan platform fintech serta layanan mobile banking yang dirancang serba praktis.
Digitalisasi UMKM bukan sekadar tren sesaat. Ia adalah transformasi struktural yang mengubah wajah perekonomian akar rumput—dari warung di kampung sampai pengusaha daring di pinggir kota. Dan di balik pergeseran besar ini, pasar modal Indonesia punya peran penting: menjadi ruang pertemuan antara modal dan semangat wirausaha.
Melalui saham-saham sektor fintech, e-commerce, hingga bank digital, investor ritel punya peluang konkret untuk ikut mendukung pertumbuhan ekonomi digital nasional. Berinvestasi di emiten seperti BUKA, GOTO, MCAS, ARTO, AGRO, atau MTEL, bukan hanya soal potensi cuan, tapi juga partisipasi aktif dalam ekosistem yang memberdayakan jutaan pelaku UMKM.
Namun, sebagaimana prinsip bisnis pada umumnya, peluang selalu datang bersama risiko. Maka, penting bagi investor untuk tidak sekadar ikut tren, tetapi juga melakukan riset mendalam. Memahami model bisnis emiten, mengevaluasi laporan keuangan, hingga mencermati keterkaitan nyata antara perusahaan dan sektor UMKM harus menjadi bagian dari kebiasaan investasi yang sehat.(*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.