Logo
>

Sasaran Fiskal Turun, Pengamat: Menkeu Terus Salahkan Kondisi Global

Ditulis oleh Ayyubi Kholid
Sasaran Fiskal Turun, Pengamat: Menkeu Terus Salahkan Kondisi Global
konferensi pers APBN KiTa, di Kementerian Keuangan, Jumat 23 Mei 2025. (Foto: KabarBursa.com/Ayyubi)

KABARBURSA.COM – Pemaparan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati terkait Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) dalam rapat bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) disorot tajam.

Ekonom Bright Institute Awalil Rizky menilai Menteri Keuangan Sri Mulyani kembali menjadikan kondisi global sebagai alasan atas penurunan sasaran fiskal tahun 2026.

Menurutnya, narasi yang diangkat menyoroti perubahan besar dalam tatanan dan tata kelola dunia yang dinilai penuh ketidakpastian. Intinya, ekonomi global dianggap sedang dalam kondisi sulit, dan Indonesia ikut terdampak.

Namun menurut Awalil, seperti biasa, Sri Mulyani tetap menyampaikan bahwa kondisi ekonomi Indonesia masih lebih baik dibanding negara lain. Padahal, kata dia, belum ada pengakuan yang benar-benar jujur atas kondisi ekonomi dalam negeri.

“Bahkan, belum ada pengakuan tegas dan jelas tentang kondisi sebenarnya sedang tidak baik-baik saja,” terang dia dalam keterangannya, Minggu, 25 Mei 2025.

Ia menyebut, postur makro fiskal dalam KEM-PPKF 2026 sebetulnya bisa dibaca sebagai sinyal bahwa ekonomi tahun depan tidak akan mudah. Komponen utama seperti pendapatan negara, belanja negara, keseimbangan primer, defisit, dan pembiayaan negara, semuanya disusun dalam rasio terhadap PDB dan disajikan dengan rentang batas atas dan bawah.

Awalil menyoroti bahwa proyeksi pendapatan negara tahun 2026 justru terlihat lebih buruk dibandingkan APBN 2025 maupun rerata dua dekade terakhir. Sementara untuk proyeksi jangka menengah dari 2027 hingga 2029, menurutnya, jauh dari realistis.

“Dinyatakan dalam rentang yang lebar tiap tahunnya, sehingga batas atas lebih merupakan harapan dibanding sebagai target atau sasaran,” ungkap dia.

Sri Mulyani Soroti Dampak Perang Dagang

Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyampaikan bahwa gelombang perlambatan pertumbuhan ekonomi kini tengah melanda berbagai negara besar—dan Indonesia tidak luput dari dampaknya.

Menurut Sri Mulyani, ketidakpastian ekonomi global tidak hanya dipicu oleh fluktuasi pasar, tetapi telah bergeser menjadi kombinasi kompleks dari perang dagang, persaingan kekuatan finansial, hingga manuver militer antarnegara.

“Perang dagang eskalatif dan ketidakpastian arah kebijakan ekonomi dunia ke depan telah memperburuk situasi perekonomian dunia yang sudah rapuh sejak awal tahun,” ujar Sri Mulyani Dalam Sidang Paripurna DPR RI Masa Persidangan III Tahun Sidang 2024-2025, di Kompleks Parlemen Senayan, Selasa, 20 Mei 2025.

Ia memaparkan deretan negara yang mulai merasakan tekanan ekonomi pada kuartal pertama 2025. Korea Selatan, misalnya, mencatatkan pertumbuhan hanya 0,1 persen secara tahunan—sebuah angka terendah sejak pandemi COVID-19 melanda pada 2020.

Negara tetangga Malaysia yang sebelumnya mencatatkan pertumbuhan 4,9 persen pada kuartal IV 2024, turun menjadi 4,4 persen di kuartal pertama tahun ini.

Sementara itu, Singapura yang dikenal sebagai pusat perdagangan dan investasi global, juga mengalami pelemahan tajam. Dari pertumbuhan 5 persen di akhir tahun lalu, kini hanya mampu mencatatkan 3,8 persen secara tahunan.

“Dan Amerika Serikat yang memicu terjadinya policy perang tarif hanya tumbuh 2 persen (kuartal I 2025) sementara triwulan sebelumnya tumbuh 2,5 persen yoy. Bahkan sempat mengalami pertumbuhan 3 persen di triwulan II tahun lalu. Amerika Serikat mengalami kontraksi akibat impor yang melonjak,” ungkap Sri Mulyani.

Tak Jujur Soal Pendapatan Negara

Awalil juga menyebut penyesuaian target pendapatan negara dalam dokumen KEM-PPKF 2026 sebagai isyarat yang menunjukkan pemerintah mulai sadar tantangan nyata dalam meningkatkan penerimaan.

Namun, di sisi lain, Kementerian Keuangan disebut belum sepenuhnya terbuka dalam mengakui perlambatan kinerja fiskal.

Awalil menyoroti rencana pemerintah menetapkan rasio pendapatan negara pada 2026 di kisaran 11,71–12,22 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Padahal, menurutnya, realisasi APBN 2024 tercatat sebesar 12,84 persen, dan target tahun 2025 pun masih lebih tinggi, yakni di angka 12,36 persen.

“Target yang cukup realistis, namun sekaligus pengakuan Pemerintah atas kesulitannya meningkatkan pendapatan,” ujar Awalil dalam keterangannya, Minggu, 25 Mei 2025.

Ia bahkan memperkirakan bahwa target 2025 yang sudah berada di bawah realisasi 2024 pun akan sulit untuk dicapai. Berdasarkan catatan historisnya, nilai tengah target pendapatan negara untuk tahun 2026 hanya mencapai 11,97 persen—angka yang lebih rendah dibanding rata-rata capaian dalam satu dekade terakhir (2015–2024) yang sebesar 12,55 persen. Jika ditarik lebih jauh ke belakang, capaian ini juga tertinggal dari rerata 2005–2014 yang menyentuh angka 16,50 persen.

“Narasi Pemerintah, terutama Kementerian Keuangan, seolah masih menolak mengakui (denial) kinerja pendapatan negara yang menurun,” tambah Awalil.

Ia juga menyoroti rasio perpajakan sebagai salah satu indikator penting. Meski secara sepintas tampak meningkat dengan kisaran target 10,08–10,45 persen dari PDB, Awalil menekankan bahwa batas bawahnya sama persis dengan realisasi 2024, yakni 10,08 persen. Target untuk 2025 sendiri hanya sedikit lebih tinggi, yaitu 10,24 persen.

Bila dibandingkan dengan rerata pada era 2005–2014 yang mencapai 11,68 persen, sasaran ini menurutnya masih cukup jauh dari standar historis. Bahkan, rata-rata rasio perpajakan selama 2015–2024 hanya sebesar 9,93 persen, angka yang mencakup dua tahun penuh tekanan akibat pandemi COVID-19.

Menariknya, lanjut Awalil, proyeksi jangka menengah 2026–2029 untuk rasio perpajakan dinilai terlalu optimistis. Ia menyebut bahwa meskipun batas bawah terkesan realistis, “Sasaran batas bawah justru realistis, sedangkan batas atasnya tampak terlampau tinggi,” jelasnya. Sebagai ilustrasi, untuk tahun 2029, batas atas rasio perpajakan ditetapkan sebesar 15,01 persen—melonjak drastis dari posisi 10,08 persen pada tahun 2026.

Sementara itu, fokus lain yang tak kalah penting adalah penurunan tajam dalam target Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Untuk tahun 2026, rasio PNBP ditetapkan hanya berada di kisaran 1,63–1,70 persen dari PDB. Ini berarti lebih rendah dibanding target 2025 sebesar 2,11 persen dan jauh tertinggal dari realisasi 2024 yang mencapai 2,48 persen.

Awalil menilai tren penurunan tersebut sebagai indikasi bahwa pemerintah mulai mengendurkan ekspektasi terhadap kontribusi kenaikan harga komoditas terhadap pendapatan negara. Ia menyebut bahwa produksi juga belum menunjukkan sinyal akan meningkat signifikan dalam waktu dekat.

Namun, ia tak menampik adanya kemungkinan lain di balik penurunan tersebut. Menurutnya, bisa jadi ada perubahan arah kebijakan, terutama terkait porsi laba BUMN yang biasa tercatat dalam PNBP. Kini, kemungkinan sebagian porsi tersebut dialihkan ke entitas baru seperti Danantara.

“Jika benar demikian, maka menimbulkan pertanyaan bagaimana kontribusi Danantara dan BUMN dalam Pendapatan Negara di masa mendatang,” ujarnya.(*)

Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

Gabung Sekarang

Jurnalis

Ayyubi Kholid

Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.