KABARBURSA.COM – Jelang 1 tahun pemerintahan Prabowo Subianto – Gibran Rakabuming Raka, yang telah dilantik pada 20 Oktober 2024, publik menanti hasil kerja nyatanya. Di masa pemerintahannya, Prabowo-Gibran berambisi menjadikan Indonesia sebagai raja energi hijau dunia.
Lantas, sudah sejauh mana kebijakan tersebut dijalankan dan bagaimana pemerintahan ini menjaga konsistensi serta memastikan semuanya berjalan secara transparan?
Policy and Program Manager CERAH Wicaksono Gitawan menyatakan, kebijakan ketenagalistrikan menjadi faktor krusial dalam mempercepat transisi energi nasional. Kebijakan ini harus segera diterjemahkan ke dalam dokumen resmi kebijakan energi nasional, agar memiliki kepastian hukum dan arah yang jelas.
“Indonesia memiliki modal untuk mempercepat transisi energi. Namun, political will yang kuat harus diterjemahkan dalam kebijakan yang riil, agar wacana dapat tereksekusi. Oleh karenanya, pemerintah perlu merevisi agar kebijakan-kebijakan yang ada menjadi selaras,” kata Wicaksono kepada media, dalam diskusi CERAH Expert Panel “Menakar Konsistensi Kebijakan Transisi Energi Presiden Prabowo: Bagaimana Indonesia Bisa Mencapai 100 Persen Energi Terbarukan”, di Jakarta, Jumat, 17 Oktober 2025.
“Selain itu, pemerintah harus memperkuat peta jalan dekarbonisasi yang sudah ada,” lanjut dia.
Kebijakan Belum Selaras, Risiko besar Investor
Tidak hanya soal kebijakan EBT, Wicaksono juga menyoroti adanya ketidaksinkronan target bauran energi terbarukan dalam sejumlah dokumen resmi perencanaan nasional. Dalam Kebijakan Energi Nasional (KEN), taret energi hijau ditetapkan sebesar 19-23 persen.
Sementara, Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025 sampai 2034 menetapkan target sebesar 34,3 persen pada 2034.
Inkonsistensi tersebut, menurut dia, berpotensi menimbulkan kebingungan bagi pelaku usaha dan investor yang ingin masuk ke sektor energi hijau.
“Dokumen perencanaan yang tidak seragam akan menyulitkan investor membaca arah kebijakan pemerintah,” ucapnya.
Pemerinta, kata Wicaksono, saat ini masih mempertahankan ketergantungan pada energi fosil, terutama melalui penerapan teknologi Carbon Capture and Storage (CCS) dan co-firing biomassa pada PLTU yang mengandalkan batu bara.
Langkah inilah yang kemudian dipandang Wicaksonp sangat berisiko memperpanjang umur PLTU, meningkatkan deforestasi dan menghambat penetrasi energi terbarukan.
IEEFA: Pensiun Dini PLTU Kunci Transisi Energi
Sementara itu, Research & Engagenent Lead Indonesia Energy Transition (IEEFA) Mutya Yustika mengatakan, PLTU perlu pension dini. Ini menjadi syarat mutlah bagi Indonesia untuk mencapai 100 persen energi terbarukan.
Menurut Mutya, saat ini kapasitas PLTU nasional sudah berlebih dan banyak beroperasi di bawah batas minimal, sesuai perjanjian jual beli Listrik dengan PT PLN. Selain itu, biaya pengadaan batu bara dan perawatan PLTU juga terus meningkat sejak 2020.
“PLN harus mempercepat transisi dari energi berbasis bahan bakar fosil untuk menghindari volatilitas harga. Pensiun dini PLTU dapat membantu Indonesia mengurangi beban ekonomi dan lingkungan di masa depan, mengingat subsidi listrik terus meningkat,” jelas dia.
Menurut dia, Peraturan Menteri ESDM Nomor 10 Tahun 2025 tentang Peta Jalan Transisi Energi Sektor Ketenagalistrikan sebenarnya sudah bisa menjadi landasan kuat. Hanya saja, masih perlu perbaikan karena belum memuat strategi pensiun dini PLTU secara rinci, daftar kelayakan aset, dan progress implementasi yang konkret.
EMBER: Pengadaan Energi Terbarukan Harus Lebih Transparan
Analis senior Iklim dan Energi EMBER Indonesia Dody Setiawan, ikut angkat bicara. Menurut dia, perbaikan proses pengadaan proyek energi terbarukan menjadi langkah penting. Tujuannya, agar target Pembangunan pembangkit energi baru bisa tercapai.
Dody juga menyoroti pelaksanaan mekanisme pengadaan. Dia berpendapat, prosesnya belum sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022, tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik.
“Walaupun mekanisme tender atau penunjukkan langsung sudah diatur paling lama 180 hari, kenyataannya banyak yang melewati batas itu tanpa konsekuensi,” ujar dia.
Ia menyarankan agar Indonesia membangun PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya) dan PLTB (Pembangkit Listrik Tenaga Bayu/Angin) dengan rata-rata kapasitas 868 MW per tahun, dalam lima tahun ke depan. Tujuannya, mengejar target energi hijau.
Sejumlah perusahaan batu bara saat ini mulai beralih ke sektor energi terbarukan. Pemerintah memproyeksikan ada potensi investasi energi hijau yang mencapai Rp1.566 triliun hingga 2035.
Dengan potensi ini, Indonesia sejatinya memiliki modal kuat untuk menjadi pemain utama. Tetapi, sekali lagi, tanpa sinkronisasi kebijakan, transparansi pengadaan dan kepastian regulasi, ambisi ini bisa terhambar di level wacana.(*)