KABARBURSA.COM - Bank Indonesia (BI) menggelar Rapat Dewan Gubernur (RDG), Rabu, 18 September 2024 hari ini. Apakah, RDG akan merekomendasikan BI harus menurunkan suku bunga acuan BI Rate?
Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, BI akan menurunkan suku bunga acuan minimal sebesar 25 basis poin (bps) atau 0,25 persen menjadi 6 persen.
Kemudian pemangkasan suku bunga acuan akan dilanjutkan lagi pada RDG BI berikutnya, sehingga sampai akhir 2024, dia memperkirakan BI akan memangkas suku bunga acuan sebesar 50 bps atau 0,50 persen.
“Jadi Bank Sentral Amerika Serikat (AS) menurunkan suku bunga berapa pun minggu depan, tapi yang jelas BI diharapkan melakukan pemangkasan suku bunga minimun 25 bps,” kata Bhima.
Dia menjelaskan, perkiraan ini karena posisi cadangan devisa RI telah mencapai rekor tertingginya pada akhir Agustus 2024, yakni sebesar USD150,2 miliar. Selain itu, saat ini pergerakan nilai tukar rupiah juga lebih stabil, yakni di level Rp15.300 per dolar AS dibandingkan beberapa waktu lalu yang sempat mencapai level Rp16.450 per dolar AS.
“Sehingga tidak ada alasan bagi BI untuk lebih lama menahan suku bunga acuannya,” ucapnya.
BI juga dinilai perlu mendorong penyaluran kredit dengan memangkas suku bunga acuan. Pasalnya, penurunan suku bunga BI akan direspons perbankan dengan menurunkan suku bunga pinjaman baik untuk modal kerja maupun konsumsi.
“Harapannya ada transmisi lebih cepat menurunkan suku bunga KPR (kredit pemilikan rumah),” kata Bhima.
Penurunan suku bunga BI ini, kata Bhima, dapat menjadi stimulus bagi masyarakat terutama kalangan menengah yang saat ini tengah mengalami penurunan daya beli.
Sebab, suku bunga yang rendah dapat meringankan cicilan kredit kelas menengah baik untuk hunian maupun modal kerja. Hal ini selanjutnya dapat mendorong pertumbuhan sektor riil dan penyerapan tenaga kerja.
“Sekarang memang bola ada di BI untuk lebih berani dan agresif dalam menurunkan suku bunga acuan. Momentumnya sekarang, jangan sampai momentumnya terlewat,” ungkapnya.
Hal senada dikatakan Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal. Menurut dia, saat ini menjadi momentum yang tepat untuk BI menurunkan suku bunga acuannya. Sebab, Bank Sentral AS diperkirakan akan menurunkan suku bunga acuan (Fed Fund Rate) sebesar 25 sampai 50 bps pada rapat Federal Open Market Committee (FOMC) yang akan diselenggarakan pada 18 September 2024 waktu setempat.
“Semestinya BI sudah waktunya menurunkan tingkat suku bunga. Sudah tidak ada alasan lagi untuk tidak melonggarkan kebijakan moneternya,” ujarnya.
Hal ini dengan pertimbangan inflasi saat ini sudah sangat rendah. Bahkan Indeks Harga Konsumen (IHK) Agustus 2024 yang tercatat deflasi 0,03 persen secara bulanan (month to month). Kemudian, dia juga mempertimbangkan nilai tukar rupiah yag saat ini mulai menguat dan kondisi domestik maupun eksternal.
“Sudah tidak ada alasan lagi bagi BI untuk tidak menurunkan suku bunga. Ini dilakukan untuk membantu memulihkan sektor riil dan pertumbuhan ekonomi yang sekarang mengalami perlambatan,” tuturnya.
The Fed Pangkas Suku Bunga 25-50 Bps?
Federal Reserve (The Fed) dijadwalkan akan mengumumkan pemangkasan suku bunga acuan pada Rabu, 18 September 2024, waktu setempat. Investor secara luas memperkirakan bahwa penurunan suku bunga akan berada di kisaran 50 basis poin (bps), meskipun ada juga yang memprediksi penurunan yang lebih moderat sebesar 25 bps.
Ekspektasi penurunan suku bunga yang lebih besar ini sebagian besar dipengaruhi oleh laporan ketenagakerjaan bulan Juli 2024 yang memunculkan kekhawatiran akan potensi resesi. Meskipun laporan tersebut menunjukkan adanya pelemahan dalam pasar tenaga kerja, data lanjutan yang dirilis setelahnya tidak memperkuat kecemasan terkait resesi secara signifikan.
Namun demikian, kekhawatiran tetap ada di kalangan pelaku pasar yang merasa The Fed mungkin terlambat dalam mengambil tindakan, yang dapat menyebabkan ekonomi AS mengalami pendaratan keras atau resesi.
Kekhawatiran ini tidak sepenuhnya tanpa dasar, mengingat lambatnya laju penurunan inflasi dan melambatnya pertumbuhan di berbagai sektor ekonomi.
Pertanyaan besarnya adalah, seberapa besar peluang resesi di tengah situasi ini? Ekonomi AS memang menunjukkan tanda-tanda perlambatan, terutama dalam sektor tenaga kerja, namun data saat ini belum cukup untuk menandai terjadinya resesi besar.
Untuk diketahui, bahwa angka lapangan kerja biasanya merupakan indikator ekonomi yang muncul belakangan dalam siklus ekonomi. Meskipun sektor ketenagakerjaan melemah, tingkat inflasi belum turun secara drastis, yang menambah kompleksitas keputusan The Fed.
Tidak dapat dipungkiri bahwa pasar tenaga kerja sedang menghadapi tekanan. Selama lebih dari setahun, berbagai laporan telah menunjukkan adanya pelemahan di sektor ini, meskipun terkadang berita utama memberikan gambaran yang kurang jelas. Bahkan data utama menunjukkan pelemahan yang signifikan. Namun, pelemahan ini belum cukup parah untuk membuat The Fed perlu khawatir secara berlebihan.
Laporan tenaga kerja terbaru memang menunjukkan adanya penurunan di sektor pekerjaan sementara dan jangka panjang, namun total angka pekerjaan baru masih mencapai 140.000, angka yang jauh dari sempurna, tetapi juga tidak terlalu buruk.
Penghasilan per jam rata-rata juga masih naik sebesar 4,1 persen, angka yang tetap tinggi dari perspektif historis. Sementara itu, data ekonomi yang lebih luas masih menunjukkan pertumbuhan, sehingga situasinya tidak seburuk yang mungkin dipikirkan.
Akan tetapi, dengan suku bunga acuan di level 5,25 persen saat ini, banyak yang merasa bahwa suku bunga tersebut sudah terlalu tinggi untuk mendukung pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, mulai menurunkan suku bunga dianggap sebagai langkah yang masuk akal oleh banyak analis.
Model ekonomi terbaru dari The Fed cabang Atlanta memprediksi pertumbuhan ekonomi sebesar 2,5 persen untuk kuartal ketiga tahun ini, sementara inflasi inti PCE tetap berada di level 2,6 persen selama tiga bulan terakhir. Angka-angka ini, meskipun moderat, tidak cukup mengkhawatirkan untuk memaksa The Fed menurunkan suku bunga secara agresif sebesar 50 basis poin.
Namun, pasar keuangan tetap berada dalam kondisi yang gelisah. Bill Dudley, mantan Presiden The Fed cabang New York, bahkan secara terbuka mendorong agar The Fed menurunkan suku bunga sebesar setengah poin, dengan alasan bahwa kebijakan moneter saat ini terlalu ketat untuk mendukung perekonomian.
Menurut laporan yang diterbitkan oleh Financial Times dan Wall Street Journal, The Fed saat ini tengah mempertimbangkan pilihan untuk menurunkan suku bunga sebesar 25 atau 50 basis poin. Situasi ini telah meningkatkan ekspektasi bahwa The Fed mungkin memilih penurunan sebesar 50 basis poin, meskipun belum ada kepastian.
Selain itu, investor juga memproyeksikan penurunan suku bunga sebesar 250 basis poin secara kumulatif selama 12 bulan ke depan, dengan 120 basis poin di antaranya diperkirakan terjadi sebelum akhir tahun ini.
Perkembangan ini menyebabkan dolar AS mengalami pelemahan di pasar valuta asing, sementara Wall Street menikmati pekan terbaiknya sejak Oktober tahun lalu. Meskipun demikian, ada risiko bahwa pasar mungkin salah menafsirkan langkah yang diambil oleh The Fed, terutama jika terjadi pemangkasan suku bunga yang lebih besar dari perkiraan.
Jika The Fed memutuskan untuk menurunkan suku bunga sebesar 50 basis poin, tantangan bagi Ketua The Fed, Jerome Powell, adalah bagaimana ia dapat menjelaskan alasan di balik keputusan tersebut tanpa menimbulkan kekhawatiran akan resesi yang lebih dalam.
Salah satu argumen yang mungkin diusung oleh Powell adalah bahwa pemangkasan suku bunga yang bertahap dapat memberikan perlindungan bagi perekonomian dari perlambatan yang tajam. Namun, jika Powell berhasil meyakinkan pasar tanpa menimbulkan kecemasan, hal ini bisa diartikan sebagai pengakuan bahwa The Fed mungkin telah mempertahankan suku bunga terlalu tinggi terlalu lama.
Apapun keputusan yang diambil oleh The Fed, konferensi pers Powell yang akan diadakan 30 menit setelah pengumuman kebijakan suku bunga diperkirakan akan berdampak signifikan pada pasar keuangan.
Jika The Fed memutuskan untuk tidak menurunkan suku bunga sebesar 50 basis poin, dolar AS kemungkinan akan menguat. Sebaliknya, jika ada penurunan suku bunga yang lebih besar disertai dengan pernyataan yang dovish, dolar dapat terus melemah terhadap yen, dengan potensi pergerakan ke kisaran 138,00 hingga 135,00 yen.
Sebelum pengumuman The Fed, pasar akan mengawasi laporan penjualan ritel bulan Agustus yang akan dirilis pada hari Selasa. Laporan ini diperkirakan akan memberikan petunjuk lebih lanjut mengenai kondisi permintaan konsumen di tengah inflasi yang belum sepenuhnya terkendali. (*)