KABARBURSA.COM – Pemerintah memastikan sektor minyak dan gas bumi (migas) tidak diwajibkan memenuhi kebijakan retensi atau penahanan devisa hasil ekspor (DHE) sebesar 100 persen selama 12 bulan. Kebijakan ini diputuskan dengan mempertimbangkan karakteristik unik dari industri migas, yang berbeda dengan sektor lainnya.
Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Susiwijono Moegiarso, menyebutkan bahwa sektor migas memiliki pola bisnis dan pembayaran yang khas, termasuk kewajiban pembayaran dalam valuta asing kepada pihak asing.
“Karakteristik bisnis dan pola pembayaran sektor migas itu sangat berbeda dengan sektor lain. Mereka memiliki kontrak-kontrak khusus dengan pihak ketiga, termasuk kewajiban pembayaran dalam valuta asing kepada lender asing,” ungkap Susiwijono di kantornya, Jakarta Pusat, Rabu, 22 Januari 2025.
Menurutnya, pemerintah telah melakukan diskusi intensif bersama Bank Indonesia (BI) terkait keputusan ini. Langkah teknis lebih lanjut juga tengah dirancang untuk memastikan kebijakan tersebut dapat diterapkan tanpa mengganggu operasional sektor migas.
“Kami perlu memastikan sinkronisasi antara kebijakan dan teknis implementasinya, khususnya terkait mekanisme pengecualian untuk migas,” jelasnya.
Meskipun demikian, Susiwijono menegaskan bahwa kebijakan retensi DHE sebesar 100 persen tetap berlaku untuk sektor lain. Namun, sektor migas dikecualikan karena kebutuhan pembayaran dalam valuta asing yang cukup besar untuk kontrak-kontrak internasional.
“Secara umum, kewajiban 100 persen retensi DHE selama 12 bulan tetap berlaku untuk semua sektor. Namun, sektor migas dikecualikan karena sifat bisnisnya. Misalnya, migas memerlukan pembayaran dalam valuta asing yang cukup besar kepada lender dan untuk kontrak-kontrak lainnya,” tambahnya.
Susiwijono memastikan bahwa sektor migas masih mematuhi aturan retensi sebelumnya, yaitu sebesar 30 persen selama tiga bulan, yang dinilai sudah berjalan dengan baik tanpa menghambat aktivitas bisnis.
Namun, pengecualian ini mendapat sorotan dari beberapa pihak, khususnya pelaku usaha dari sektor lain yang masih diwajibkan mematuhi aturan penuh. Asosiasi seperti Apindo mempertanyakan adanya perlakuan berbeda terhadap sektor migas.
“Beberapa asosiasi, seperti Apindo, mempertanyakan perlakuan berbeda ini. Namun, kami berkomitmen untuk menjelaskan secara terbuka mengenai dasar keputusan ini dalam forum-forum diskusi dengan pengusaha,” kata Susiwijono.
Pemerintah juga menegaskan bahwa kebijakan ini tidak akan memengaruhi daya saing sektor lainnya. BI telah menyiapkan instrumen keuangan yang kompetitif untuk eksportir, termasuk suku bunga pinjaman yang lebih rendah.
“Kami pastikan spread bunga instrumen BI dan pinjaman tetap kompetitif dibanding negara lain,” tutupnya.
Peraturan Baru DHE SDA: 100 Persen Devisa Wajib Ditempatkan di Indonesia
Pemerintah Indonesia telah memperbarui kebijakan terkait DHE SDA guna menjaga ketahanan dan stabilitas ekonomi nasional, seiring dengan tantangan geopolitik global yang terus berkembang. Kebijakan terbaru ini bertujuan memperkuat perekonomian dalam negeri dan memastikan kesinambungan pembangunan dengan mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya alam untuk kesejahteraan rakyat.
Menurut Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, kebijakan ini sejalan dengan arahan Presiden Prabowo Subianto dan bertujuan mendukung pengelolaan ekonomi Indonesia dalam menghadapi kondisi global yang penuh ketidakpastian, seperti dilihat dalam program Kabar Bursa Hari Ini di kanal YouTube KabarBursaCom, Rabu, 22 Januari 2025.
Dalam kebijakan terbaru, pemerintah mewajibkan eksportir untuk menempatkan 100 persen DHE SDA di Indonesia minimal selama satu tahun. Kebijakan ini, yang akan berlaku per 1 Maret 2025, menggantikan ketentuan sebelumnya yang mengharuskan eksportir hanya menempatkan 30 persen dari DHE SDA dengan jangka waktu minimal tiga bulan. Airlangga menjelaskan bahwa kebijakan baru ini diharapkan dapat meningkatkan ketahanan cadangan devisa negara dan memperkuat perekonomian Indonesia.
"PP (Peraturan Pemerintah)-nya sedang disiapkan dan dilakukan harmonisasi, serta akan ada koordinasi dengan Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan perbankan. Kami ingin memastikan bahwa kebijakan ini tidak memberatkan eksportir, namun dapat meningkatkan perekonomian nasional," ujar Airlangga di Jakarta pada Selasa, 21 Januari 2025.
Pemerintah juga memperkenalkan berbagai mekanisme yang dapat membantu eksportir dalam memanfaatkan DHE. Salah satunya adalah fasilitas tarif Pajak Penghasilan (PPh) 0 persen atas pendapatan bunga pada instrumen penempatan DHE, yang sebelumnya dikenakan pajak 20 persen untuk instrumen reguler. Selain itu, eksportir dapat menggunakan instrumen penempatan DHE sebagai agunan untuk mendapatkan kredit rupiah dari bank atau Lembaga Pengelola Investasi (LPI).
Menko Airlangga menegaskan bahwa penggunaan instrumen ini tidak akan mempengaruhi batas maksimal pemberian kredit (BMPK) atau gearing ratio perusahaan.
Bagi eksportir yang membutuhkan rupiah untuk kegiatan usaha, mereka juga dapat memanfaatkan fasilitas swap dengan bank atau melalui foreign exchange swap antara bank dengan BI. Melalui mekanisme ini, eksportir dapat mengalihkan valas DHE yang dimiliki menjadi swap jual BI untuk kebutuhan rupiah dalam negeri.
Kebijakan baru ini juga memberikan kelonggaran bagi eksportir dengan nilai ekspor di bawah USD250 ribu per transaksi. Eksportir dengan nilai transaksi di bawah ambang batas tersebut tidak diwajibkan mengikuti ketentuan pengelolaan DHE, yang bertujuan untuk melindungi usaha kecil agar tetap kompetitif di pasar internasional. Langkah ini diambil untuk mendukung usaha kecil yang memiliki modal terbatas agar tidak terbebani dengan kewajiban yang terlalu ketat.
"Peraturan ini tetap mempertimbangkan kondisi usaha kecil, terutama bagi eksportir dengan nilai ekspor yang lebih kecil. Kami ingin kebijakan ini tidak memberatkan, namun tetap berkontribusi pada penguatan ekonomi Indonesia," tambah Airlangga.
Menko Perekonomian itu mengungkapkan bahwa pemerintah akan melakukan sosialisasi lebih lanjut mengenai kebijakan ini kepada seluruh pemangku kepentingan, termasuk Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, dan perbankan. Mereka juga akan mempersiapkan sistem yang dibutuhkan untuk implementasi kebijakan ini, yang akan berlaku efektif mulai 1 Maret 2025.
Dengan diterapkannya kebijakan DHE SDA ini, diharapkan Indonesia dapat meningkatkan cadangan devisa, memperkuat perekonomian nasional, dan memastikan pemanfaatan sumber daya alam untuk kesejahteraan rakyat, tanpa mengorbankan daya saing eksportir Indonesia di pasar global. (*)