KABARBURSA.COM - Setelah resmi dilarang sejak 20 tahun silam, pemerintah di akhir kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) kembali membuka keran ekspor bagi pasir laut. Adapun penanda dibuka kembali ekspor pasir laut mengacu pada Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 20 Tahun 2024 dan Permendag Nomor 21 Tahun 2024.
Kedua Permendag tersebut merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 yang mengatur tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut pada Mei tahun lalu. Lantas kebijakan tersebut menuai pro dan kontra di tengah publik, lantaran aktivitas pengerukan sedimentasi laut yang dikhawatirkan akan mengganggu mata pencaharian nelayan.
Adapun pelarangan ekspor pasir laut sebelumnya dilakukan pada masa kepemimpinan Presiden Megawati Soekarnoputri dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Kemudian di akhir kepemimpinan Presiden Jokowi, keran ekspor pasir laut kembali dibuka.
Menanggapi pro dan kontra ekspor pasir laut, Anggota Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Firman Soebagyo menuturkan, setidaknya terdapat dua persoalan ihwal pasir laut. Pertama, sedimentasi yang menyebabkan pendangkalan laut sebagaimana yang terjadi di Kabupaten Demak. Pendangkalan tersebut dinilai turut mempengaruhi hasil tangkapan nelayan sekitar.
"(Di Demak) itu sudah terjadi pendangkalan yang sedemikan rupa sehingga air laut itu malah melimpah masuk ke dalam kampung. Kapal lewat saja itu tidak secara bebas memiliki jalur, sehingga jalur itu hanya satu, pun itu nanti kalau suatu saat sudah terjadi sedimentasi itu akan mengalami soal yang sangat sulit bagi nelayan untuk mencari ikan," kata Soebagyo saat dihubungi KabarBursa, Senin, 16 September 2024.
Persoalan kedua, Soebagyo menyebut ada oknum yang mengeksploitasi sedimentasi laut demi keuntungan pribadi. Dia mengungkap, aktivitas pengerukan pasir laut secara ilegal terus berlangsung meski ada pelarangan. Bahkan, dia menyebut ada oknum yang melindungi aktivitas ilegal tersebut.
"Terlepas diizinkan dan tidak diizinkan, itu ternyata kan ada orang yang melakukan ekspor secara ilegal. Secara ilegal, yang ekspor itu juga dibeking oleh oknum-oknum tertentu," ungkapnya.
Bukan Objek Tambang
Menurutnya, untuk menghindari pendanggalan, normalisasi laut harus dilakukan secara terus-menerus. Dalam proses ini, kata Soebagyo, negara bisa menuai pendapatan melalui kegiatan ekspor pasir laut.
Akan tetapi, Soebagyo menekankan, proses pembersihan sedimentasi laut tidak diasosiasikan sebagai kegiatan penambangan. Artinya, hal-hal yang mengganggu penghidupan dan ekosistem laut perlu dilakukan secara sigap dan tepat sasaran.
"Ada batas-batas tertentu, ada toleransi tertentu, sampai di mana boleh (dikeruk). Karena kalau nggak juga, disedot juga (sedimentasi) oleh oknum. Nah maksud saya posisi itulah yang di ekspor, bukan terkemudian dijadikan obyek tambang. Kalau dijadikan obyek tambang, ini kontrolnya susah, karena nanti laut itu pun kalau terlalu dalam digalikan, akhirnya muncul kembali masalah, rusaknya ekosistem," ungkapnya.
Di sisi lain, kebijakan pasir laut juga memastikan aktivitas pengerukan sedimentasi terbebas oknum-oknum ilegal. Karenanya, pengesahan ekspor sedimentasi laut diperlukan dengan batas-batas yang perlu ditetapkan secara cermat.
Sejauh ini, Soebagyo menyebut ekspor pasir laut secara ilegal telah berlangsung sejak lama. Meski tak menyebut angka kerugian negara, dia meyakini ekspor ilegal cukup besar merugikan negara.
"Ini kita bikin formal saja, resmikan saja, tetapi harus ada batas-batas tertentu, jangan sampai itu nanti malah merusak ekosistem. Harus ada keseimbangan di situ," tegasnya.
Dengan normalisasi sedimentasi laut, Soebagyo meyakini, aktivitas tangkap ikan akan lebih optimal. Pasalnya saat ini, pendangkalan laut sebagaimana yang terjadi di Demak sudah cukup mengkhawatirkan.
"Nelayan ini bisa terbantu karena kalau sudah terjadi sedimentasi kapal nggak bisa lewat seperti di Dembak itu. Itu yang namanya jam 3 itu, laut sudah mulai surut itu, kapal sudah nggak bisa lewat. Hanya ada satu jalur dan air itu masuk ke dalam kampung karena kedalaman laut sudah tidak normal lagi," tutupnya.
Pontensi Kerusakan Ekosistem Laut
Diberitakan sebelumnya, Kepala Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB University, Yonvitner, mengatakan kegiatan pengerukan sedimen laut berpotensi mengganggu ekosistem laut.
“Terjadi perubahan habitat biota benthic, yaitu peningkatan bahan tersuspensi di perairan yang dapat meningkatkan endapan material pada ekosistem perairan,” kata Yonvitner kepada KabarBursa, Selasa, 10 September 2024.
Menurut dia, kondisi tersebut bisa menyebabkan tertutupnya polip karang dan potensi kematian jika menjangkau ekosistem terumbu karang. Selain itu, daerah perikanan yang digarap masyarakat, terutama daerah yang beririsan dengan penangkapan, juga bisa terganggu.
“Daerah pemanfaatan sedimen sebagian besar berada di bawah 12 mill dari permukaan laut yang menjadi daerah penangkapan nelayan tradisional (nelayan kecil) yang berbasis izin provinsi. Potensi lepasnya karbon akibat pembersihan akan menyebabkan karbon yang tersedimentasi lepas ke perairan,” jelasnya.
Lebih lanjut Yonvitner juga menerangkan dampak jangka panjang dari kegiatan ekspor pasir laut. Menurutnya, struktur dasar laut dapat mengubah pergerakan arus dan gelombang hingga risiko pada abrasi pantai.
“Komitmen mengurangi emisi dengan menangkap karbon akan kontraproduktif dengan kegiatan pengerukan yang melepaskan karbon. Dua pekerjaan yang kontraproduktif,” kata dia.
Dalam konteks negara kepulauan, lanjut dia, ada potensi perubahan garis pantai dan pulau, serta risiko dampak yang lebih besar dari keuntungan yang didapatkan. Yonvitner juga melihat Singapura akan menjadi peminat pasir laut untuk kebutuhan reklamasi untuk pembangunan pelabuhan yang berpotensi menjadi salah satu hub pelabuhan terbesar di dunia.
“Sementara pelabuhan Indonesia terus tertinggal dan makin tidak berdaya,” pungkasnya.(*)