KABARBURSA.COM - Pemerintah menaikkan tarif royalti bijih nikel melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2025 tentang Jenis dan Tarif Atas Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku Pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
Alih-alih menambah pendapatan negara dari nikel, regulasi ini dikhawatirkan menghambat laju investasi di sektor kendaraan listrik, terutama industri baterai, atau sektor yang digadang-gadang dapat mendorong ekonomi hijau Indonesia.
Rencana menaikkan royalti nikel tersebut dianggap menurunkan minat investor global yang menjadikan Indonesia sebagai pusat rantai pasok EV di Asia Tenggara. Sejumlah pengamat menilai, regulasi ini memicu ketidakpastian di antara pelaku industri karena belum ada kejelasan apakah beban royalti hanya dikenakan di sektor hulu atau diteruskan ke hilir, yakni smelter, baterai, kendaraan listrik.
Jika dilihat dari dampaknya, dampak PP Nomor 19 Tahun 2025 membuat tarif royalti yang sebelumnya tunggal menjadi skema progresif (antara 14-19 persen) bergantung harga mineral acuan (HMA). Saat ini, penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) di sektor minerba mencapai Rp76,9 triliun atau mencapai 62 persen dari target tahunan sebesar Rp124,5 triliun pada Juli 2025.
Sekadar informasi, kebijakan royalti nikel merupakan kelanjutan dari strategi hilirisasi sejak munculnya larangan ekspor bijih mentah pada tahun 2020. Dasar dari larangan ini adalah tarif progresif 14-19 persen hanya berlaku untuk ekspor bijih mentah. Sementara untuk hasil olahan yang berupa nickel matte dan mixed hydroxide precipitate (MHP) dikenai royalti lebih ringan, yakni 2-5 persen.
Tujuan penerapan PP Nomor 19 Tahun 2025 adalah mendorong investor menanamkan modal di dalam negeri agar rantai pasok nikel dari tambang hingga ke baterai mobil listrik dapat terintegrasi. Alih-alih memperbaiki rantai pasok, regulasi ini justru meningkatkan beban ganda bagi pelaku industri.
Saat ini, harga nikel global di London Metal Exchange (LME) per Oktober 2025 berada di kisaran USD18.500 per ton, turun dari puncak USD28.000 per ton pada 2022. Penurunan ini membuat margin penambang makin tipis, sementara beban royalti meningkat.
Smelter yang baru beroperasi menghadapi tekanan biaya bahan baku, sementara penambang kecil terancam tersingkir karena margin keuntungannya menipis. Padahal, di sisi lain pemerintah tengah menggelontorkan subsidi kendaraan listrik sebesar Rp7 juta per unit dan pembebasan PPnBM hingga nol persen untuk mempercepat adopsi mobil listrik nasional.
Berdasarkan data Kementerian ESDM, hingga Juli 2025 terdapat 43 smelter nikel yang telah beroperasi dari total 84 proyek yang direncanakan. Badan Koordinasi Penanaman Modal (BPKM) mengungkapkan, nilai investasi di rantai industri baterai dan EV mencapai USD21,8 miliar. Namun, kenaikan royalti nikel dikhawatirkan menekan margin proyek-proyek baru yang masih dalam tahap konstruksi.
Akademisi dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Yannes Martinus Pasaribu menilai, dampak kebijakan royalti nikel bersifat paradoksal. Menurutnya, di satu sisi kenaikan royalti dapat memperkuat agenda hilirisasi karena kebijakan ini mendorong investor membangun ekosistemnya di dalam negeri. Namun, di sisi lain, royalti nikel mengakibatkan rantai pasok terintegrasi menjadi mahal.
“Jika dulu mereka (perusahaan tambang nikel) seenaknya mengekspor bahan mentah yang rendah sekali nilai tambahnya bagi pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Karena, industri pengolahan ada di negara mereka masing-masing,” kata Yannes kepada KabarBursa.com, Jumat, 10 Oktober 2025.
Yannes menuturkan, dampak regulasi terkait royalti nikel membuat perusahaan yang sebelumnya mengekspor bijih nikel harus menghitung ulang keuntungan jangka panjang untuk reinvestasi karena pasar terbesar baterai EV ada di Indonesia dan ASEAN.
Di lain pihak, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menilai tarif baru royalti nikel tidak memberatkan pengusaha. Direktur Jenderal Minerba Kementerian ESDM, Tri Winarno, menilai penyesuaian tarif royalti adalah untuk perbaikan tata kelola industri pertambangan sehingga pendapatan yang diperoleh dari sektor ini bisa lebih baik.
Tri mengklaim pihaknya telah berkoordinasi dengan pihak Kementerian Keuangan terkait kenaikan royalti nikel untuk disesuaikan dengan laporan keuangan perusahaan nikel sehingga tidak memberatkan.
Daya Saing Nikel RI Merosot
Sementara itu, pengamat komoditas dan pasar modal Wahyu Tribowo Laksono menilai, kenaikan royalti nikel harus dilihat dari kaca mata yang lebih besar, yakni Indonesia sebagai produsen nikel terbesar di dunia.
Menurutnya, kenaikan royalti nikel dapat memengaruhi harga dan pasokan global. Meski kebijakan ini untuk meningkatkan nilai tambah nikel dalam negeri, namun ia melihat ada dampak besar yang harus ditanggung, yakni memicu ketidakpastian pasar.
“Negara-negara pembeli, terutama dari sektor industri baterai dan kendaraan listrik bisa mencari alternatif pasokan atau berinvestasi di negara lain jika merasa pasokan dari Indonesia menjadi tidak stabil atau terlalu mahal,” kata Wahyu kepada KabarBursa.com.
Wahyu memperingatkan, kenaikan royalti berpotensi membuat harga nikel Indonesia kurang kompetitif dibandingkan dengan negara pesaing seperti Filipina dan Australia, terutama dalam jangka pendek. Ia menjelaskan, royalti nikel masuk ke dalam komponen biaya produksi yang secara otomatis memengaruhi harga jual.
Meski nikel Filipina kualitasnya lebih rendah dibanding Indonesia, kata Wahyu, namun nikel tersebut tetap dapat menjadi alternatif bagi produsen baterai yang mencari nikel dengan harga murah. Sementara nikel Australia yang memiliki kualitas baik berkat teknologi canggih yang digunakan dalam penambangannya, juga dapat menjadi alternatif yang lebih baik dibandingkan nikel Indonesia yang lebih mahal.
“Jika harga nikel Indonesia naik, Australia bisa menjadi pilihan yang lebih menarik bagi pembeli (nikel) yang memprioritaskan kualitas,” jelasnya.
Kendati demikian, Wahyu menggarisbawahi jika daya saing di pasar nikel tidak hanya ditentukan oleh harga, tapi juga faktor kualitas, stabilitas pasokan dan keberlanjutan juga menjadi pertimbangan penting bagi pembeli global.
Selain menjadi paradoks, pengamat menilai kebijakan pemerintah terkait kenaikan royalti nikel patut dipertanyakan. Karena potensi sumber daya nikel di Indonesia adalah yang terbesar. Padahal negara lain seperti China yang tidak memiliki sumber daya sebesar Indonesia memberikan pembebasan pajak pertambangan kepada produsen bahan baku EV dan memberikan insentif hingga 30 persen untuk investasi pabrik baterai.
Sementara negara lain di Asia Tenggara seperti Thailand juga menempuh kebijakan yang sama, yakni dengan menghapus bea impor komponen EV dan menerapkan tarif royalti mineral di bawah 10 persen.
Wahyu mengungkapkan, dampak kenaikan royalti nikel dapat mengganggu industri smelter dan industri baterai EV. Industri smelter bakal terkendala dengan tambahan biaya operasional smelter sehingga menekan margin keuntungan. “Beberapa smelter mungkin terpaksa menunda ekspansi atau bahkan mengurangi produksi jika biayanya terlalu tinggi,” jelas Wahyu.
Sementara bagi industri baterai EV, akan terganggu karena bisnis ini membutuhkan pasokan nikel yang stabil dan terjangkau dari dalam negeri. Menurutnya, kenaikan harga nikel dapat meningkatkan biaya produksi sehingga menghalangi target pemerintah menjadikan Indonesia sebagai hub produksi baterai EV global.
“Untuk memitigasi dampak ini, pemerintah perlu memastikan bahwa kebijakan royalti tidak hanya meningkatkan pendapatan negara tapi juga mendukung pertumbuhan industri hilir yang berkelanjutan,” jelasnya.
Di tengah ambisi menjadikan Indonesia pusat industri baterai dan kendaraan listrik dunia, kebijakan fiskal seperti kenaikan royalti nikel menjadi ujian konsistensi pemerintah. Tanpa keseimbangan antara penerimaan negara dan daya saing industri, Indonesia bisa kehilangan momentum emas untuk memimpin transisi energi di Asia Tenggara. (*)