KABARBURSA.COM - Tembaga dan bijih besi mencatat kenaikan signifikan, mengikuti tren positif sebagian besar komoditas industri. Kenaikan ini terjadi setelah Gubernur Federal Reserve (The Fed), Jerome Powell, mengindikasikan kemungkinan pemangkasan suku bunga pada bulan depan, sebuah langkah yang dipandang akan mendorong pertumbuhan ekonomi global.
Rabu 31 Juli 2024, bank sentral memutuskan untuk mempertahankan suku bunga pada level saat ini. Namun, sinyal yang diberikan oleh para pembuat kebijakan menunjukkan bahwa mereka semakin dekat untuk menurunkan biaya pinjaman.
Pengetatan moneter yang dilakukan oleh Fed sejak 2022 telah memberikan dampak negatif pada permintaan komoditas industri baik di pasar domestik maupun internasional.
Setelah bulan Juli yang penuh tantangan bagi logam, di mana hampir semua kontrak utama London Metal Exchange (LME) mengalami kerugian bulanan, sinyal positif ini memberikan harapan baru. Data ekonomi yang buruk dari China sebagai konsumen logam terbesar di dunia dan kurangnya stimulus besar untuk menanggulangi hal tersebut, telah menekan harga komoditas.
Namun, Kamis 1 Agustus 2024 sentimen negatif semakin meningkat dengan munculnya laporan indeks aktivitas manufaktur China yang menunjukkan kontraksi untuk pertama kalinya dalam sembilan bulan.
Politbiro China berjanji awal pekan ini untuk meningkatkan belanja konsumen, meskipun rincian kebijakan yang lebih spesifik belum diungkapkan.
Pada pukul 10.27 waktu Singapura, tembaga tercatat naik sebesar 0,5 persen di LME, mencapai USD9.267,50 per ton. Aluminium mengalami kenaikan sebesar 1,4 persen, sementara seng dan timbal juga menunjukkan tren positif. Bijih besi naik 0,6 persen di Singapura.
Nasib Tembaga dan Besi RI
Neraca perdagangan Indonesia pada bulan Juni 2024 kembali mencatat surplus sebesar USD2,39 miliar. Surplus ini terdiri dari surplus sektor nonmigas sebesar USD4,43 miliar dan defisit sektor migas sebesar USD2,04 miliar. Dengan hasil ini, Indonesia mempertahankan tren surplus yang telah berlangsung selama 50 bulan berturut-turut sejak Mei 2020.
Menurut siaran pers dari Kementerian Perdagangan 17 Juli 2024 lalu, neraca perdagangan kumulatif pada semester pertama tahun 2024 (Januari-Juni) mencatat surplus sebesar USD15,45 miliar. Meskipun surplus ini lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang mencapai USD19,92 miliar, pencapaian semester I 2024 terdiri dari surplus sektor nonmigas sebesar USD25,55 miliar dan defisit sektor migas sebesar USD10,11 miliar.
Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan mengungkapkan keyakinannya bahwa tren surplus ini dapat terus dipertahankan, meskipun terjadi penurunan dibandingkan tahun lalu. “Momentum ini harus dimanfaatkan untuk meningkatkan ekspor melalui berbagai strategi,” tegasnya.
Beberapa strategi yang diusulkan mencakup penguatan transformasi struktur ekspor dan perluasan pasar ekspor ke ASEAN, Timur Tengah, Afrika, serta Amerika Latin. Kementerian Perdagangan juga akan memperkuat peran perwakilan perdagangan luar negeri dan digitalisasi perdagangan.
Selama bulan Juni 2024, negara-negara mitra dagang utama seperti India, Amerika Serikat (AS), dan Filipina menyumbang surplus perdagangan terbesar, total mencapai USD3,16 miliar. Sebaliknya, Singapura, Tiongkok, dan Australia menjadi penyumbang defisit terbesar dengan total defisit mencapai USD2,27 miliar.
Ekspor Melempem
Ekspor Indonesia pada Juni 2024 tercatat sebesar USD20,84 miliar, mengalami penurunan 6,65 persen dibandingkan bulan sebelumnya, meskipun naik 1,17 persen dibandingkan Juni tahun lalu. Pelemahan ekspor pada bulan ini disebabkan oleh penurunan ekspor nonmigas sebesar 6,20 persen dan migas sebesar 13,24 persen dibandingkan bulan Mei 2024.
Zulkifli Hasan menjelaskan bahwa penurunan kinerja ekspor terjadi di hampir seluruh sektor. Pertambangan mengalami kontraksi terdalam sebesar 25,09 persen, diikuti oleh sektor pertanian dengan penurunan 1,49 persen, dan industri pengolahan dengan penurunan 1,44 persen.
“Penurunan harga komoditas global, terutama komoditas ekspor utama Indonesia, memengaruhi dinamika ekspor pada Juni 2024. Harga batu bara turun 4,87 persen, nikel 10,67 persen, tembaga 4,84 persen, serta emas 1,05 persen,” jelasnya.
Beberapa produk dengan penurunan ekspor terdalam pada Juni 2024 antara lain logam mulia dan perhiasan (HS 71) turun 45,76 persen; nikel dan barang daripadanya (HS 75) turun 25,20 persen; serta ampas/sisa industri makanan (HS 23) turun 19,56 persen.
Namun, di tengah penurunan tersebut, beberapa produk nonmigas mengalami peningkatan ekspor dibandingkan bulan sebelumnya. Produk-produk tersebut termasuk lemak dan minyak hewan/nabati (HS 15) yang naik 68,06 persen; barang dari besi dan baja (HS 73) naik 46,33 persen; serta timah dan barang daripadanya (HS 80) yang naik 38,82 persen.
Nilai impor Indonesia pada Juni 2024 tercatat sebesar USD18,45 miliar, turun 4,89 persen dibandingkan bulan Mei, tetapi meningkat 7,58 persen dibandingkan Juni 2023. Penurunan impor bulan ini disebabkan oleh penurunan impor nonmigas sebesar 8,83 persen dan kenaikan impor migas sebesar 19,01 persen.
Penurunan signifikan terjadi pada bahan baku/penolong sebesar 3,41 persen dan barang modal sebesar 14,51 persen. Sedangkan, impor barang konsumsi mengalami kenaikan sebesar 2,48 persen.
Penurunan impor terbesar terjadi pada telepon pintar, pesawat udara, dan mesin untuk membuat pulp. Sementara itu, barang konsumsi dengan kenaikan terbesar termasuk bahan bakar kendaraan bermesin diesel, vaksin manusia, dan sepatu karet/plastik.
“Kontraksi impor bulanan dipengaruhi oleh penurunan aktivitas manufaktur dalam negeri pada Juni 2024, tercermin dari penurunan Purchasing Managers’ Index (PMI) menjadi 50,70 dari bulan sebelumnya sebesar 52,1,” ungkap Zulkifli Hasan.
Selama semester pertama 2024, total impor Indonesia tercatat sebesar USD109,64 miliar, naik tipis 0,84 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Kenaikan ini didorong oleh meningkatnya impor migas sebesar 8,22 persen meskipun impor nonmigas mengalami kontraksi sebesar 0,49 persen. (*)