KABARBURSA.COM – Koperasi bukan panti asuhan dan negara bukan dermawan yang bisa terus-menerus menalangi semua biaya. Itulah peringatan awal dari Jaya Darmawan, peneliti Celios, soal arah pendanaan Koperasi Desa Merah Putih. Menurutnya, narasi pembiayaan koperasi yang seolah-olah tinggal tunggu dana cair dari pemerintah pusat justru bisa membunuh kemandirian koperasi sejak lahir.
Jaya mengatakan pendekatan pembiayaan Koperasi Desa Merah Putih harus berbasis blended financeyang dikombinasikan dengan pemetaan potensi desa dan kapasitas anggota koperasi itu sendiri.
“Tidak serta-merta koperasi mendapatkan dana yang kesannya gratis dari pemerintah. Itu harus dikunci sejak awal,” kata Jaya dalam forum daring soal kebijakan Koperasi Desa-Kelurahan Merah Putih, Rabu, 4 Juni 2025.
Menurut Jaya, narasi publik yang berkembang cenderung menyesatkan, seolah program ini menjanjikan pembiayaan instan dari pemerintah pusat. Ia menggarisbawahi bahwa pendekatan pembiayaan koperasi perlu disesuaikan dengan lanskap ekonomi desa.
Jaya menyebut bahwa blended finance merupakan solusi paling relevan karena memadukan pendanaan dari APBN, dana sosial, investasi swasta, hingga partisipasi anggota koperasi. “Kalau koperasi memiliki keterbatasan aset untuk jaminan, bisa dilakukan akumulasi kolektif dari anggota. Ini bisa jadi dasar pembiayaan yang berbasis kepercayaan dan tanggung jawab bersama,” ujarnya.
Ia juga menyinggung potensi instrumen pembiayaan seperti mutual fund, pembiayaan berkelanjutan (green financing), dan surat utang koperasi jika model bisnis koperasi dinilai bankable.
NPL Koperasi Masih Tinggi
Tantangan tetap ada. Jaya mencatat angka Non Performing Loan (NPL) koperasi masih berada di kisaran 8,5 persen—angka yang cukup mengkhawatirkan. “Produktivitas koperasi masih belum optimal. Maka pembiayaan harus disesuaikan, jangan hanya top-down,” ujarnya.
Jaya juga menekankan pembiayaan internal dari anggota koperasi perlu diperkuat, bukan hanya mengandalkan bantuan eksternal. Menurutnya, yang dibangun dari koperasi bukan sekadar aliran dana, melainkan komitmen kolektif. Ia menilai hubungan antara negara dan koperasi idealnya bersifat setara dan saling memperkuat, bukan hubungan satu arah yang pasif.
Selain soal pendanaan, perhatian juga diarahkan pada urgensi kehadiran negara dalam menata struktur pasar. Ketimpangan antara koperasi dan ritel besar, khususnya di wilayah pedesaan, dianggap sebagai ancaman serius bagi daya saing ekonomi komunitas. Tanpa regulasi yang adil, koperasi berisiko mati pelan-pelan di hadapan ekspansi ritel modern yang agresif.
Beberapa pemerintah daerah mulai mengambil langkah protektif dengan membatasi perluasan toko-toko waralaba demi menjaga ruang hidup pasar lokal. Celios menilai langkah ini perlu diperkuat secara nasional lewat regulasi yang mendukung terciptanya ekosistem usaha yang adil dan berkelanjutan.
Jaya juga merekomendasikan agar pengembangan koperasi desa berbasis klaster, bukan seragam. Celios menawarkan model empat klaster koperasi: ekonomi, sosial, bio-spasial, dan inovasi. “Dengan klasterisasi, kita bisa tahu mana koperasi yang cocok untuk pangan, mana untuk energi, mana yang fokus ke sosial. Tidak bisa disamaratakan,” katanya.
Ia bahkan melihat peluang besar jika koperasi diberdayakan untuk masuk ke sektor energi terbarukan. “Green financing sangat potensial. Kita bisa kembangkan koperasi energi berbasis komunitas,” ujarnya.
Namun tantangan internal koperasi juga perlu disorot. Jaya menyebut bahwa 68 persen responden survei Celios menilai pengelolaan koperasi masih lemah. Bahkan 77 persen menyebut perlunya pelatihan dan peningkatan kapasitas manajerial.
“Kunci koperasi yang sehat itu di SDM-nya. Pemerintah harus hadir lewat pelatihan dan pendampingan yang masif,” katanya.(*)